Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Memulai Tradisi Ikut Merayakan Hari Raya Agama Lain Secara Sosial

24 November 2024   12:33 Diperbarui: 24 November 2024   12:34 50 1
Menghidupkan Sisi Spiritual Manusia (12)

MEMULAI TRADISI IKUT MERAYAKAN HARI RAYA AGAMA LAIN SECARA SOSIAL

Oleh Denny JA

"Bagaikan untaian benang dalam satu kain batik, perbedaan menjadikan kita kuat.
Tanpa warna dan pola yang beragam, takkan ada keindahan yang utuh."

Kita tidak harus serupa untuk saling memahami. Perbedaan adalah jembatan, bukan jurang yang memisahkan.

Perbedaan agama sering kali dipandang sebagai batas yang memisahkan manusia. Namun, kutipan di atas mengajak kita untuk merenung lebih dalam: bukankah perbedaan dapat menjadi peluang bagi kita untuk saling belajar dan berbagi?

Dalam konteks hari raya agama, perbedaan tersebut dapat menjadi momen yang indah untuk mempererat kebersamaan. Hari raya bukan hanya soal ritus keagamaan, tetapi juga tentang empati, koneksi sosial, dan perayaan nilai-nilai universal yang dimiliki bersama.

Hari Raya sebagai Social Gathering

Sebuah riset oleh Pew Research Center pada tahun 2021 menunjukkan bahwa 81% non-Kristen di Amerika Serikat ikut merayakan Natal. Ini adalah bukti bahwa Natal, meskipun akar utamanya adalah perayaan kelahiran Yesus Kristus (Nabi Isa), telah menjadi simbol kebersamaan universal.

Lampu-lampu indah, pohon Natal, dan momen berbagi hadiah menjadi bagian dari budaya yang melampaui batas agama.

Di sebuah kota di Amerika Serikat, Ani Zonneveld, seorang Muslimah dan pendiri organisasi Muslim Progresif, mengadakan perayaan Natal di rumahnya.

Ia mengundang teman-teman dari berbagai latar belakang agama untuk berkumpul, menyanyikan lagu-lagu Natal, dan berbagi hidangan.

Bagi Ani, perayaan ini bukan tentang keyakinan religius, tetapi tentang merayakan nilai-nilai universal seperti cinta dan kebersamaan.

Suasana hangat dan penuh tawa memenuhi ruangan, menunjukkan bahwa perbedaan agama tidak menghalangi persahabatan dan saling menghormati.

Kisah ini mencerminkan bagaimana perayaan Natal dapat menjadi momen inklusif yang merangkul semua orang, terlepas dari latar belakang kepercayaan mereka.  (1)


Fenomena serupa terjadi pada bulan Ramadan. Puasa sering diikuti oleh non-Muslim yang ingin merasakan pengalaman spiritual ini.

Restoran khusus berbuka puasa dipenuhi oleh orang-orang dari berbagai latar belakang agama, menunjukkan bagaimana Ramadan telah menjadi lebih dari sekadar ibadah Islam.

Di Dubai, Gina Valbuena, seorang ekspatriat Kristen asal Filipina, memutuskan untuk berpuasa selama bulan Ramadhan.

Sebagai anggota aktif parokinya, Gina melihat puasa sebagai kesempatan untuk diet, membangun kekuatan mental, kesabaran, dan ketahanan.

Meskipun bukan seorang Muslim, ia merasakan kedamaian dan kebersamaan yang mendalam selama menjalani puasa. Pengalaman ini memberinya perspektif baru tentang pengendalian diri dan empati terhadap sesama yang berpuasa.

Kisah Gina menunjukkan bahwa nilai-nilai universal seperti disiplin dan solidaritas dapat melampaui batasan agama, menciptakan jembatan pemahaman antarumat beragama.  (2)

Hari raya agama lainnya juga menjadi momen kebersamaan sosial. Hari Raya Nyepi di Bali, misalnya, bukan hanya dihormati oleh umat Hindu, tetapi juga menjadi simbol refleksi bersama bagi penduduk dan wisatawan.

Pada Hari Raya Nyepi di Bali, Ireda dan Jasmin, turis asal Perth, Australia, mengalami keheningan total untuk pertama kalinya.

Mereka menghabiskan hari dengan bersantai di hotel, menikmati ketenangan yang jarang ditemui. Ireda mencuci pakaian, sementara Jasmin menikmati tidur nyenyak tanpa gangguan.

Meskipun awalnya tidak menyadari bahwa semua aktivitas akan berhenti, mereka menemukan kedamaian dalam keheningan tersebut.

Pengalaman ini memberikan mereka perspektif baru tentang refleksi diri dan menghargai momen tenang. Ini menunjukkan bahwa tradisi Nyepi dapat memberikan makna mendalam bagi siapa saja, terlepas dari latar belakang agama. (3)

Waisak, perayaan umat Buddha, diikuti oleh ribuan pengunjung di Candi Borobudur, menciptakan suasana spiritual yang menginspirasi banyak orang tanpa memandang agama mereka.

-000-

Tiga Alasan Memulai Tradisi Merayakan Hari Raya Agama Lain

1. Membangun Empati Antariman

Merayakan hari raya agama lain membuka ruang bagi kita untuk memahami nilai-nilai yang mendasari agama tersebut.

Empati bukanlah sekadar teori; ia terbangun melalui pengalaman langsung. Saat kita ikut berbagi kebahagiaan atau refleksi dalam hari raya agama lain, kita melatih diri untuk melihat dunia dari sudut pandang mereka.

2. Menegaskan Kesatuan dalam Keberagaman

Di tengah dunia yang sering kali terpecah oleh isu agama, tradisi ini mengingatkan kita bahwa keberagaman bukanlah ancaman.

Sebaliknya, ia adalah kekayaan. Melalui perayaan sosial lintas agama, kita menegaskan bahwa identitas keagamaan kita tidak perlu menjadi alasan untuk memisahkan diri dari komunitas yang lebih besar.

3. Merayakan Nilai-Nilai Universal

Setiap agama membawa pesan kebaikan, kasih sayang, dan keadilan. Merayakan hari raya agama lain secara sosial adalah cara untuk menghormati nilai-nilai ini tanpa terikat pada ritus keagamaan tertentu. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap esensi universal yang dimiliki semua agama.

Tentu saja, ada kritik terhadap gagasan ini. Beberapa pihak mungkin berargumen bahwa ikut merayakan hari raya agama lain dapat dianggap sebagai pengaburan identitas keagamaan.

Namun, penting untuk dipahami bahwa social gathering pada hari raya agama lain tidak berarti kita mengadopsi ritus keagamaan tersebut.

Merayakan Natal tidak berarti kita menjadi Kristen, sebagaimana berbuka puasa di Ramadan tidak menjadikan kita Muslim.

Kebersamaan ini justru melampaui perbedaan ritual, fokus pada nilai-nilai kemanusiaan yang lebih besar. Ini adalah cara untuk saling menghormati tanpa kehilangan identitas pribadi.

-000-

Hari ini, dunia mengenal lebih dari 4200 agama, masing-masing membawa cerita, tradisi, dan nilai-nilainya sendiri.

Namun, jika kita melangkah mundur ke dalam sejarah, kita akan menemukan bahwa semua agama besar di dunia baru muncul dalam 1% terakhir dari sejarah Homo sapiens.

Homo sapiens telah ada selama lebih dari 300.000 tahun, tetapi agama-agama seperti Hindu, Yahudi, Kristen, dan Islam baru muncul dalam rentang 2500 tahun terakhir.

Sebelum itu, manusia sudah mengenal konsep kebaikan dan keburukan melalui hubungan sosial mereka. Artinya, agama-agama yang ada saat ini adalah warisan budaya yang berkembang untuk menjawab kebutuhan manusia pada zamannya.

Dalam berbagai tulisan dan orasi, saya menyatakan  "Agama adalah warisan kultural milik kita bersama." Agama tidak hanya dimiliki oleh penganutnya, tetapi oleh seluruh umat manusia yang menjadi bagian dari sejarahnya.

Merayakan hari raya agama lain adalah bentuk pengakuan terhadap warisan ini, sebuah cara untuk menghormati perjalanan panjang manusia dalam mencari makna.

Menghormati Agama dengan Cara Baru

Kita hidup di era baru peradaban. Teknologi, globalisasi, dan akses informasi telah mengubah cara kita memandang dunia.

Menghormati agama hari ini bukan lagi hanya tentang memisahkan diri untuk menjaga batas-batas identitas.

Sebaliknya,  ia tentang mengembangkan empati terhadap sisi esoteris agama dan melakukan universalisasi atas prinsip-prinsip kebaikan dan keadilan yang dikandungnya.

Tradisi ikut merayakan hari raya agama lain adalah langkah maju dalam perjalanan ini. Ia mengajak kita untuk melampaui sekat-sekat eksklusivitas, menemukan titik temu dalam nilai-nilai universal yang menghubungkan kita sebagai manusia.

"Empati adalah bahasa universal. Saat kita merayakan kebahagiaan orang lain, kita sedang menciptakan dunia yang lebih damai."

Esoterika, Forum Spiritualitas, yang saya dirikan bersama teman- teman mulai mentradisikan perayaan hari raya aneka agama secara lintas iman.

Sejak dua tahun lalu (2022), forum ini secara sosial merayakan hari raya dan hari besar tak hanya Islam, Kristen, Budha, tapi juga Brahma Kumaris, Syiah, Ahmadiyah, KhongHuCu, dan Hari Rumi.

Aneka agama adalah simfoni peradaban; setiap keyakinan adalah melodi, dan hanya dengan mendengar semuanya, kita dapat memahami harmoni yang lebih besar.

"Aneka agama adalah mosaik cahaya di malam gelap; setiap keyakinan adalah satu lilin yang menerangi jalan. Ketika kita merayakan lintas iman, kita saling menyulut cahaya, menciptakan dunia yang lebih terang."***

Jakarta 24 November 2024

CATATAN

(1) Penganut Non-Kristen merayakan Natal

Natal Kini Dirayakan Juga oleh Non-Kristen, Mengapa? - Pewarta Indonesia

(2) Ramadhan juga dilakukan oleh non-Muslim

Semangat Non-Muslim yang Ikut Berpuasa pada Bulan Ramadhan | Republika Online

(3) Nyepi di Bali diikuti juga oleh non-Hindu

Pengalaman Pertama Turis Australia Ikut Nyepi di Bali

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun