Kebetulan, Sabtu sore saya baru posting tulisan di Kompasiana, dan saya share ke beberapa grup WA, juga akun twitter saya. Teman saya mengirim pesan sebagai respons atas tulisan yang saya bagikan itu.
Berita yang di-share teman saya adalah tentang baliho Puan Maharani, di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Baliho itu dicoret-coret dengan cat semprot bertuliskan "open bo". Pelaku, pastinya oknum yang enggak bertanggung jawab.
Apakah pelakunya sadar? Vandalisme itu bisa berbuntut panjang, mencoreng muruah kebebasan berekspresi, apalagi bentuknya diskriminasi gender terhadap perempuan.
Atau pelakunya tidak sadar akan dampak yang timbul dari perbuatannya? Wah, kalau itu lebih parah.
Bagaimana seorang perempuan bekerja lebih keras dan berkorban lebih banyak dari laki-laki, tapi reputasi dan kerja kerasnya dihancurkan dengan kalimat "open bo". Buat saya, itu sadis yang mengandung fitnah.
Tapi saya yakin, Puan pasti sudah memaafkan pelaku, karena Puan tahu pelaku juga lahir dari rahim seorang perempuan.
**
Peradaban suatu kaum enggak akan maju jika angka diskriminasinya, apalagi diskriminasi seksual, kekerasan berbasis gender, masih tinggi.
Catatan Komnas Perempuan, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia sepanjang 2020 mencapai 299.911 laporan. Di antaranya adalah 2.134 kasus berbasis gender.
Meski sudah turun 31 persen dibanding kasus tahun 2019 yang mencapai 431.471 laporan, kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun, tetap harus dilawan. Kita harus lepas pembatas, dan berdiri bersama korban.
Semoga kepolisian bisa menangkap pelaku vandalisme di baliho Puan. Supaya terungkap motif dan background-nya.
Kita harus berdiri bersama korban, kebetulan itu Puan...