Lalu bagaimana jika wanita tersebut tidak hamil tapi menginginkan sesuatu sedemikian rupa juga? Apa tetap bisa disebut sedang ngidam? Rasanya iya, tapi ngidam dalam tanda kutip.
Hal itulah yang saya alami 9 tahun yang lalu. Tepatnya usai menonton film Tabula Rasa. Tiba-tiba saya ingin makan gulai kepala ikan saat itu juga. Iya, saat itu juga. Sudah hampir tengah malam loh.Semua itu gara-gara film. Iya. Karena menonton film Tabula Rasa. Film Indonesia pertama yang mengangkat tema kuliner. Kuliner Nusantara dari ranah Minang. Iyes, masakan Padang.
Siapa yang tak mengenal masakan Padang? Rumah makan Padang. Secara umum saya sudah sering makan di rumah makan Padang. Masakan Padang memang terkenal enak dan lezat.
Namun sampai kepingin makan saat itu juga baru sesekalinya. Sudah seperti orang ngidam. Mana pula yang diingin gulai kepala ikan. Tengah malam cari dimana coba?
Kalau macam rendang atau ikan bakarnya masih adalah di rumah makan Padang yang 24 jam. Tapi gulai kepala ikannya agak sangsi. Siang hari saja kerap tak kebagian.
Memang benar. Sudah sulit mencari di sekitar rumah. Akhirnya harus meluncur ke kawasan Senen. Di sana ada kuliner nasi Kapau.
Lengkap deh tuh mau lauk jenis apa saja. Masalahnya tengah malam dari Tangerang ke Jakarta. Seperjuangan sekali bukan? Itulah "ngidam" gara-gara film.Film Tabula Rasa memang top banget. Keren, keren. Bisa menghipnotis orang lewat makanan yang disajikan. Pantas 4 piala citra berhasil disabet.
- Kategori Sutradara Terbaik (Adriyanto Dewo)
- Kategori Pemeran Utama Wanita Terbaik (Dewi Irawan)
- Kategori Pemeran Pendukungnya Pria Terbaik (Yayu Unru)
- Kategori Penulis Skenario Terbaik (Tumpal Tampubolon)
Film Tabula Rasa yang rilis pada 24 September 2014 ini berkisah tentang persahabatan dan perjuangan dalam mempertahankan usaha rumah makan Padang yang nyaris bangkrut.
Adalah Mak Uwo yang diperankan oleh Dewi Irawan, Natsir diperankan oleh Ozzol Ramdan dan Pramanto yang diperankan oleh Yayu Unru, tiga orang yang mengelolah rumah makan Padang milik Mak Uwo.
Konflik muncul ketika Mak Uwo dan Natsir membawa Hans, pemuda asal Papua yang ditemuinya di jalan untuk ikut bekerja di rumah makan mereka. Pramanto sebagai juru masak di sana merasa keberatan.
Tapi Mak Uwo tetap mempertahankannya. Hans seorang pemain sepak bola di daerah asalnya. Cita-citanya untuk menjadi pemain sepak bola terkenal kandas usai ia mengalami cedera parah.
Ia merasa bingung dan putus asa. Tidak tahu akan menjadi apa setelah ini? Ia pun memutuskan untuk pergi ke Jakarta. Sampai akhirnya ditolong oleh Mak Uwo dan Natsir yang menemukannya tergeletak di bawah jembatan.
Pramanto memilih keluar dari rumah makan tersebut. Parahnya ia memilih bekerja di rumah makan sebelah dengan resep Mak Uwo. Tak pelak pelanggan berpindah ke warung sebelah. Mak Uwo merasa dikhianati.
Kondisi rumah makan Mak Uwo terancam bangkrut. Namun dengan kerja keras dan semangat untuk mempertahankan masakan yang sudah menjadi tradisi turun-temurun, rumah makan Mak Uwo akhirnya bisa bangkit lagi.
Dengan juru masak si Hans pemuda asal Papua dan menu andalan gulai kepala ikan. Rumah makan Mak Uwo bisa bangkit dan terkenal lagi. Kelezatan gulai kepala ikan hasil resep Mak Uwo membuat penasaran Pramanto.
Ia mengutus orang untuk membeli gulai tersebut. Kisah Pramanto mencicipi gulai tersebut terasa sentimentil. Segala rasa berkecamuk dari sepiring gulai kepala ikan.
Usai menonton film tersebut spontan langsung ingin makan gulai kepala ikan juga. Ternyata efek tontonan sangat luar biasa sekali pengaruhnya. Untung hanya sepiring gulai kepala ikan. Kalau selain itu entahlah. (EP)