Kedudukan Amil di tengah masyarakat terbilang strategis, karena tugasnya meliputi peristiwa penting masyarakat, mulai dari kelahiran, pernikahan, hingga kematian.
Menilik strategisnya posisi Amil tersebut, maka tugasnya di bidang pernikahan diakui oleh Pemerintah melalui berbagai regulasi yang diterbitkan dengan sebutan "P3N" (Pembantu Pegawai Pencatat Nikah), kemudian diubah menjadi "P4" (Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan), dan kembali lagi menjadi "P3N" (Pembantu Pegawai Pencatat Nikah).
***
Kedudukan Amil dalam Lintasan Sejarah
Berdasarkan penelitian sejarah yang dilakukan oleh Ibnu Qoyim Ismail (1997:67), sebutan "Amil" itu diperuntukan bagi Penghulu yang bertugas di Tingkat Desa. Selain sebutan "Amil", nama lain yang disematkan kepada seseorang yang memangku tugas kepenghuluan di Tingkat Desa itu adalah Modin, Kaum, Kayim, dan Lebe.
Secara lengkap, tingkatan jabatan Penghulu di Jawa dapat digambarkan sebagai berikut:
Tingkat Pusat:Penghulu Ageng
Tingkat Kabupaten:Penghulu Kepala/Hoofdpenghulu/Hooge Priester/Penghulu Landraad/Khalifah
Wakilnya:Ajung Penghulu/Ajung Khalifah
Tingkat Kawedanaan:Penghulu/Naib dan Wakilnya Ajung Penghulu
Tingkat Kecamatan:Penghulu/Naib
Tingkat Desa:Modin/Kaum/Kayim/Lebe/Amil.
Pada masa kekuasaan tradisional Jawa (Ismal,1997:69), tugas yang diemban oleh Penghulu cukup luas, terlebih lagi Penghulu saat itu adalah sebagai pelaksana pemerintah di bidang kehakiman. Bidang kehakiman ini tidak terbatas pada masalah pernikahan, perceraian, talak, dan rujuk serta kewarisan, zakat, wakaf saja, akan tetapi yang menyangkut pidana dan perdata pun merupakan bagian dari pekerjaan Penghulu bersama Jaksa. Tempat dan ruang kerjanya terletak di serambi masjid, sehingga di masa itu dikenal sebutan Pengadilan Serambi (Masjid).
Saat Pemerintah Belanda berkuasa, peran Penghulu dibatasi dan dikurangi secara berangsur-angsur, antara lain dengan membentuk Pengadilan Negeri (landraad) dan memindahkan sebagian kegiatan Pengadilan Serambi ke Landraad.
Belakangan, pasca kemerdekaan, seperti bisa dilihat dalam UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, Penghulu disebut juga sebagai Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Dan dalam perkembangannya kemudian, untuk membedakannya dengan Penghulu tingkat kecamatan, Amil selaku Penghulu tingkat desa disebut juga sebagai Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N). Istilah P3N/PPPN inilah yang hingga kini tetap bertahan untuk menyebut Amil/Lebe/Kayim/Kaum/Modin yang bertugas membantu masyarakat dalam urusan pernikahan, mulai dari hulu hingga hilirnya.
Kedudukan P3N dalam Regulasi
Sekalipun soal P3N ini sudah diatur dalam regulasi jauh sebelum PMA No. 11/2007 tentang Pencatatan Nikah terbit, namun untuk keperluan pembahasan soal ini ulasannya akan dimulai dari PMA No.11/2007 dan peraturan turunannya sampai dengan terbitnya regulasi terkini, yakni PMA No. 20/2019 tentang Pencatatan Pernikahan.
Disebutkan dalam Pasal 1 Butir 4 PMA No. 11/2007 tentang Pencatatan Nikah, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) adalah anggota masyarakat tertentu yang diangkat oleh Kepala Kantor Departemen Agama (Kandepag) kabupaten/kota untuk membantu tugas Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di desa tertentu. Proses pengangkatannya (juga pemberhentian dan penetapan wilayah tugasnya) dilakukan dengan Surat Keputusan Kepala Kandepag kabupaten/kota atas usul Kepala KUA dengan mempertimbangkan rekomendasi Kepala Seksi yang membidangi urusan agama Islam. Adapun Posisi Kepala Desa/Lurah hanya sebagai pihak yang diberi tembusan pemberitahuan keputusan tersebut (Pasal 3: Ayat 1-3).
Sekalipun menurut PMA tersebut, pengangkatan dan pemberhentian P3N itu di-SK-kan oleh Kepala Kandepag kabupaten/kota, namun dalam kenyataannya legalitas SK itu tidak selalu digubris oleh Kepala Desa. Indikasinya, saat ada pergantian Kepala Desa, selain mengganti perangkat desa, Kepala Desa yang baru pun biasanya mengganti P3N juga. Akibatnya, pasca Pilkades, P3N seringkali mendatangi KUA untuk mengadukan nasibnya sekaligus mempertanyakan kekuatan legalitas SK dari Kepala Kandepag (sekarang, Kan.Kemenag) yang padahal belum habis masa tugasnya.
Sehubungan demikian, pada tanggal 10 Februari 2009 terbit Instruksi Dirjen. Bimas Islam No. Dj.II/113/2009 tentang penggunaan Dana PNBP Nikah Rujuk dan Penataan P3N. Dalam butir kedua instruksi tersebut, Dirjen. Bimas Islam menginstruksikan kepada Kepala Kanwil Depag Provinsi se-Indonesia agar melakukan penghentian pengangkatan P3N yang telah habis masa khidmatnya dan tidak mengangkat P3N yang baru, kecuali daerah-daerah yang sangat memerlukan, itu pun harus dengan persetujuan tertulis dari Dirjen. Bimas Islam.
Untuk memperjelas maksud P3N dalam PMA No.11/2007 sekaligus menghapus keberlakuan Instruksi Dirjen. Bimas Islam No. Dj.II/113/2009, pada tanggal 26 Januari 2015 terbit Instruksi Dirjen. Bimas Islam No. DJ.II/I/2015 tentang Pengangkatan P3N.
Instruksi Dirjen Bimas Islam tahun 2015 di atas ditujukan kepada Kepala Kanwil Kemenag se-Indonesia, yang antara lain berisikan keharusan memperhatikan tiga hal dalam penerbitan rekomendasi pengangkatan P3N, yaitu:
1.KUA Kecamatan tersebut masuk dalam tipologi D1 (daerah di pedalaman dan atau wilayah pegunungan) dan D2 (daerah terluar/perbatasan negara, dan atau kepulauan) yang ditetapkan oleh Kepala Kanwil Kemenag Provinsi dan tidak dapat dijangkau oleh Pegawai Pencatat Nikah karena terbatasnya SDM dibanding dengan luas wilayahnya;
2.P3N berdomisili di desa dimaksud;
3.Kemampuan dan kompetensi calon P3N di bidang hukum dan administrasi pernikahan.
Berdasarkan Instruksi Dirjen. Bimas Islam tersebut, P3N dari KUA Kecamatan tipologi A, B, dan C dihapus, karena tidak termasuk dalam kategori P3N sebagaimana dimaksud dalam PMA 11/2007, sehingga dengan sendirinya pengangkatannya (juga pemberhentian dan penetapan wilayah tugasnya) tidak lagi oleh Kepala Kandepag kabupaten/kota, melainkan diserahkan kepada Kepala Desa/Lurah.
Pada tanggal 27 Agustus 2018 terbit PMA No.19/2018 tentang Pencatatan Perkawinan menggantikan PMA No.11/2007 yang dinilai sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat sehingga perlu disempurnakan. Dalam PMA No.19/2018, istilah P3N diganti menjadi P4 (Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan) yang diberi pengertian sebagai anggota masyarakat yang diangkat oleh Kepala Kantor Kemenag kabupaten/kota untuk membantu tugas Penghulu dalam hal pelaksanaan akad dilaksanakan di daerah terdalam, terluar, dan di daerah perbatasan.
Rincian teknis tentang P4 tertuang dalam Keputusan Dirjen Bimas Islam No.977 tahun 2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan P4. Dalam Bab II Kep.Dirjen. Bimas tersebut disebutkan bahwa P4 memiliki tugas membantu penghulu dalam menghadiri dan menyaksikan peristiwa perkawinan serta berkedudukan pada KUA Kecamatan tipologi D1 dan D2 dengan jumlah maksimal 5 (lima) orang/KUA.
Adapun syarat untuk diangkat menjadi P4 (Bab III) adalah sebagai berikut:
1.Tokoh Agama/Masyarakat;
2.Laki-Laki;
3.Memiliki kemampuan dalam fikih munakahat;
4.Berdomisili di wilayah Kecamatan tersebut;
5.Memiliki kemampuan untuk melakukan pemanduan perkawinan, khutbah perkawinan, dan penasihatan perkawinan.
Setahun berselang, tepatnya 30 September 2019, PMA No.19/2018 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Digantikan oleh PMA No.20/2019 tentang Pencatatan Pernikahan. Dalam PMA ini, sebutan P4 dikembalikan lagi menjadi PPPN/P3N dengan menyandang pengertian sebagai pegawai ASN atau anggota masyarakat yang ditugaskan untuk membantu Penghulu dalam menghadiri peristiwa nikah (Pasal 1 Butir 8).
Disebutkan dalam Pasal 18 Ayat 1 dan 2: "Dalam hal keterbatasan Penghulu, Kepala KUA dapat menugaskan PPPN." "Ketentuan lebih lanjut mengenai PPPN ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal".
Namun sayang, ketentuan lebih lanjut mengenai P3N ini belum terbit Kep.Dirjen.Bimas Islam-nya. Berdasarkan informasi yang Penulis terima (12/04), soal tersebut baru mau dibahas pada tanggal 14 April 2021 mendatang di Serpong, Tangerang Selatan. Namun, bila nanti terbit, diperkirakan semangatnya tidak jauh berbeda dengan Kep.Dirjen. Bimas Islam No. 977 tahun 2018, yakni diperuntukkan khusus bagi KUA Kecamatan tipologi D1 dan D2.
Kesimpulan
Berdasarkan kajian terhadap beberapa regulasi tentang P3N di atas, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1.Merujuk Pasal 1 Butir 8 PMA No. 20/2019 tentang Pencatatan Pernikahan, istilah untuk menyebut petugas yang membantu Penghulu dalam menghadiri peristiwa nikah adalah P3N/PPPN (Pembantu Pegawai Pencatat Nikah), bukan lagi P4 (Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan);
2.Sekalipun belum terbit Kep.Dirjen. Bimas Islam sebagai aturan teknis P3N sebagaimana dimaksud dalam PMA No.20/2019 tentang Pencatatan Pernikahan, namun diyakini semangatnya tidak akan jauh berbeda dengan Kep.Dirjen Bimas Islam sebelumnya (Kep.Dirjen. Bimas Islam No. 977 tahun 2018), yakni terbatas bagi KUA Kecamatan tipologi D1 dan D2;
3.Pada dasarnya, sekalipun tugasnya saling beririsan, Amil dengan P3N itu berbeda. Amil diangkat, diberhentikan, dan ditetapkan wilayah tugasnya oleh Kepala Desa/Lurah. Tugasnya pun tidak sebatas membantu mengurus pernikahan saja, melainkan juga pemulasaraan jenazah, penghimpunan dan pendistribusian zakat, serta kegiatan keagamaan lainnya di tingkat dusun/desa. Sedangkan P3N diangkat, diberhentikan, dan ditetapkan wilayah tugasnya oleh Kepala Kantor Kemenag kabupaten/kota, dan itu pun khusus untuk KUA Kecamatan tipologi D1 dan D2. Adapun untuk KUA Kecamatan tipologi A, B, dan C jabatan P3N sudah ditiadakan. Tugas P3N sebatas membantu Penghulu dalam menghadiri peristiwa nikah.
Saran/Rekomendasi
1.Agar selaras dengan regulasi yang ada, maka kebijakan pengangkatan, pemberhentian, dan penetapan wilayah tugas Amil sebagai P3N tetap diserahkan kepada Kepala Desa/Lurah.
2.Sekalipun di-SK-kan oleh Kepala Desa/Lurah, kendali pembinaannya ada pada Kemenag c.q KUA Kecamatan. Sehingga Kemenag berhak memberikan pedoman persyaratan sebagai standar dasar dalam rekrutmen Amil sebagai P3N oleh Kepala Desa/Lurah, agar tidak asal pilih.
3.Persyaratan Dasar dalam rekrutmen Amil sebagai P3N antara lain diusulkan oleh Pengurus Cabang APRI Kabupaten Karawang dalam Raker I pada tanggal 1-2 April 2021 di Subang sebagai berikut:
a.Laki-Laki;
b.Tokoh Agama/Masyarakat berusia maksimal 60 Tahun;
c.Menguasai Baca Tulis Al-Qurn dengan Baik;
d.Memahami Fiqh Munakahat dengan Baik;
e.Berdomisili di wilayah Desa tersebut;
f.Berakhlak Baik;
g.Diutamakan lulusan Pondok Pesantren/Madrasah.
***
REFERENSI
ISMAIL, Ibnu Qoyim., Kiai Penghulu Jawa Peranannya di Masa Kolonial, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, Cet. 1
UU No.22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk jo UU No.32 Tahun 1954
PMA No. 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan
PMA No.19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan
PMA No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah
Keputusan Dirjen. Bimas Islam No. 977 tahun 2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan P4 (Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan)
Instruksi Dirjen. Bimas Islam No. DJ.II/I/2015 tentang Pengangkatan P3N (Pembantu Pegawai Pencatat Nikah)
Instruksi Dirjen. Bimas Islam No. Dj.II/113/2009 tentang penggunaan Dana PNBP Nikah Rujuk dan Penataan P3N