Pilpres 2014 melahirkan banyak pendukung fanatik dari kedua kubu calon presiden. Fanatik artinya keyakinan atau kepercayaan yang terlalu kuat terhadap suatu ajaran (politik, agama, dsb). Fanatik itu subjektif, bukan objektif. Subjektif artinya melihat suatu hal hanya berdasarkan rasa, bukan fakta. Fanatik itu emosional, bukan rasional. Di sini logika dan akal sehat telah mati, tercekik oleh emosi.
Dalam hal dukung mendukung capres, fanatisme hanya bisa melihat kelebihan capres yang didukung, tanpa bisa melihat kekurangannya. Sebaliknya, fanatisme hanya bisa melihat kekurangan capres lawan, tanpa bisa melihat kelebihannya.
Bagi pendukung fanatikJokowi , yang terlihat hanyalah kelebihan Jokowi dan kekurangan Prabowo. Artinya apapun yang dilakukan oleh Jokowi akan terlihat baik, dan apapun yang dilakukan oleh Prabowo akan terlihat buruk. Begitu pula bagi pendukung fanatik Prabowo, yang terlihat hanyalah kelebihan Prabowo dan keburukan Jokowi. Artinya apa pun yang dilakukan oleh Jokowi akan kelihatan buruk, dan apa pun yang dilakukan oleh Prabowo akan terlihat baik.
Fanatisme ini sepertinya berlanjut walaupun pemilu presiden telah usai, dan Jokowi telah resmi menjadi presiden Indonesia. Para pendukung fanatik bermetamorfosis menjadi Jokowi liker (pro Jokowi) dan Jokowi hater (anti Jokowi). Para Jokowi liker selalu mendukung kebijakan Jokowi. Sementara Jokowi hater selalu menentang setiap langkah Jokowi.
Bagi rakyat Indonesia yang belum terjebak ke dalam salah satu kubu pendukung fanatik, ada baiknya berfikir secara logis. Artinya, dalam mendukung atau menentang kebijakan Jokowi janganlah membabi buta. Dukunglah jika kebijakan itu benar, dan kritiklah jika kebijakan itu salah. Jika meminjam istilah SBY, Tidak waton suloyo (tidak asal membantah).
Indonesia, 21 November 2014