Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Meniti di Batas Zona Hidup Layak

24 Juni 2013   12:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:30 802 0
PT Certis, telah menutup salah satu bisnisnya di Indonesia yang mempekerjakan lebih dari 2.500 karyawan setelah bisnisnya berkurang akibat ditinggalkan  customernya karena menaikkan harga produk (jasa) sebagai kebijakan atas kenaikan Upah Minimum Propinsi (UMP) DKI dari  Rp 1.500.000 tahun 2012 menjadi Rp 2.200.000 di tahun 2013 (red : UMP 2,2)

Tidak semua customer PT Certis menolak kenaikan harga tersebut. Terbukti dengan masih bersedianya sebagian customer untuk tetap menggunakan jasa PT Certis walaupun dengan volume bisnis kurang dari separuh bisnis PT Certis sebelumnya.  Hal ini menjadi bukti bahwa penentuan besaran kenaikan harga produk PT Certis tak  bisa dianggap tidak wajar karena sebagian customer bisa memahami kondisi  PT Certis, berhadapan dengan pembayaran upah pekerja yang cukup signifikan naiknya di mana gaungnya sedang membahana pada saat PT Certis menerbitkan surat resmi kenaikan harga.

Kuat dugaan kalau customer yang menolak kenaikan harga PT Certis beranggapan bahwa PT Certis masih memiliki pilihan lain selain menaikkan harga dengan harapan dapat menemukan perusahaan lain, kompetitor PT Certis yang menerapkan kebijakan yang berbeda dengan kebijakan PT Certis.

Sebelum UMP 2.2 ditetapkan, dalam tubuh internal PT Certis sendiri telah dihadapkan dengan segudang masalah efisiensi. PT Certis bekerja keras menekan biaya operasional yang terkadang berbenturan dengan kesejahteraan karyawan. Tahun 2012 bagi PT Certis diwarnai maraknya demonstrasi karyawan. Sehingga dengan bertambahnya beban baru di 2013 yakni UMP 2.2, maka menekan biaya operasional sepertinya tidak banyak memberi pengaruh bahkan bisa dianggap telah dilakukan secara maksimal di tahun 2012.

Akhirnya PT Certis terjepit dalam dua pilihan kepentingan. Berpihak pada customer dengan tetap memberikan harga lama yang murah atau berpihak pada karyawannya sendiri sekaligus memenuhi ketentuan UMP 2,2. Pilihan yang akhirnya diambil adalah dengan merealisasikan UMP 2,2 dan menaikkan harga produk/jasa yang dianggap setara dengan kenaikan UMP tersebut.

Seiring dengan mengecilnya skala bisnis, perusahaan berhasil melakukan pengurangan karyawan dengan menyisakan jumlah karyawan yang dianggap sebanding dengan sisa bisnis yang ada. Operasional  perusahaan sempat berjalan normal kembali, namun dalam selang waktu kurang dari tiga bulan perusahaan kembali menyampaikan hal yang cukup mengejutkan bahwa bisnis yang tersisa akan segera ditutup di seluruh Indonesia.

Sulit memahami mengapa bisnis yang mungkin masih bisa dijalankan dan ditumbuhkan kembali akhirnya  benar benar ditutup. Namun dengan berjalannya proses PHK hingga lancarnya pencairan pesangon karyawan, di mana PT Certis  memperlakukan karyawannya menjalani proses PHK bak customernya sendiri, seakan memberi jawab bahwa kebijakan Certis menutup bisnisnya tak usahlah dipersoalkan lagi. Karena mungkin salah satu alasan yang cukup dipertimbangkan adalah keberadaan karyawan yang sempat bertahun tahun tidak mendapatkan status yang jelas hingga bom waktu itu meledak, PT Certis tidak bisa menghindari ribuan  karyawan tersebut secara  otomatis harus diangkat secara massal menjadi karyawan tetap. Cepat atau lambat, perusahaan akan berhadapan dengan masalah pembayaran pesangon dan dana pensiun karyawan.  Tentunya hanyalah para petinggi group Certis yang berpusat di Singapura yang tahu semua alasan penutupan bisnis mereka sendiri.

Menelaah proses ini berjalan, kita tidak bisa menuding begitu saja Pemda DKI yang mengabulkan tuntutan serikat buruh sebagai penyebab berakhirnya bisnis PT Certis karena Pemda DKI dalam menentukan UMP  berpedoman pada angka KebutuhanHidup Layak(KHL) di mana untuk DKI Jakarta sebesar Rp 1.800.000 Suatu angka yang tak bisa ditekan turun dengan manipulasi karena hukum alam menggariskan bahwa hidup di bawah angka KHL adalah tidak layak.

KHL 1.800.000 yang setara dengan UMP 2.200.000 seharusnya dipahami oleh seluruh lapisan, kelompok dan golongan masyarakat lainnya bahwa seluruh komponen bangsa ini memiliki hak untuk hidup layak. Dalam kasus PT Certis, peran Pemda DKI memberi ruang hidup yang layak bagi pekerja di Jakarta sudah berjalan benar yang dilanjutkan oleh  PT Certis dengan tidak menunda realisasi UMP 2,2 tersebut. PT Certis bersedia meneruskan ketentuan pemerintah kepada para pekerjanya, yang tak lain adalah unsur dari masyarakat Indonesia yang dalam Undang undang dasar, disebutkan bahwa  negara wajib memberikan penghidupan yang layak kepada rakyatnya.

Namun  estafet paket kehidupan tersebut berhadapan dengan persoalan yakni pada saat yang sama PT Certis harus menaikkan harga yang ternyata ditolak sebagian besar customer. Customer PT Certis sendiri terdiri dari sejumlah bank yang  hampir mewakili bank bank berskala kecil hingga besar di Indonesia. PT Certis dan perusahaan sejenisnya (red : vendor ) memiliki peran di balik layar industri perbankan Indonesia. Pelayanan yang memuaskan oleh vendor kepada bank akan menjadi pula pelayanan yang baik oleh bank kepada  nasabahnya.

Memang dapat dipahami kalau bank pun berhadapan dengan efisiensi yang memaksa bank untuk  memilih jasa vendor yang memberikan produk jasa yang lebih murah. Namun sekiranya bisa dipahami bahwa langkah PT Certis menaikkan harga bukanlah didasarkan pada tingkat kualitas pelayanan namun hanyalah penyesuaian atas kenaikan UMP. Maka sekiranya bank eks customer PT Certis menemukan harga vendor lain yang lebih murah maka bank perlu tahu apakah vendor tersebut telah merealisasikan UMP 2,2.

Mungkin dianggap wajar jika bank meninggalkan vendor yang dianggapnya mahal dan beralih ke vendor yang disangka murah. Namun ada sisi lain yang tidak boleh luput dari pertimbangan bank adalah apakah produk jasa yang mereka nikmati dari vendor yang dianggapnya  menguntungkan  dihasilkan oleh tangan tangan yang sudah hidup di atas standar hidup yang dianggap layak ?

Sebagian bank sepertinya sulit memahami bahwa kenaikan harga produk jasa oleh  PT Certis, di dalamnya tersirat pesan kemanusiaan dari Gubernur dan Wagub DKI, Jokowi-Ahok yang imbas dan efek dominonya  seharusnya tidak perlu dihindari. Menentukan pilihan di antara vendor vendor dalam area yang sama di saat menghadapi terjangan badai UMP yang sama pula bukan semata mencari celah untuk mendapatkan vendor yang berpeluang mengabaikan ketentuan UMP 2013 namun juga berpotensi membiarkan vendor yang menggaji pekerjanya di bawah UMP akan tumbuh dengan subur.

Sungguh ironis jika hal ini terjadi karena dibalik kemegahan gedung gedung aset properti milik bank yang megah atau  iklan iklan berukuran jumbo yang hampir rutin dimuat di media cetak, digital atau iklan televisi long duration terdapat sekelompok anak bangsa yang memiliki peranan penting kualitas pelayanan perbankan, ternyata hidup di bawah garis kehidupan layak yang berharap mendapatkan jam jam lembur demi memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka dengan mengorbankan  tenaga dan jam tidur yang sedikit tersisa. Ditambah lagi dengan dampak kenaikan harga BBM yang baru saja diumumkan pemerintah 22 Juni 2013.

Akhirnya kita mungkin menarik kesimpulan yang berbeda beda namun bagi saya pribadi hanya bisa mendoakan semoga bisnis Certis tetap berkembang di belahan dunia lainnya karena dalam negeri saya sendiri sepertinya tidak punya ruang untuk bertahan hidup karena turut berperan  dalam memberi ruang kesejahteraan hidup yang layak bagi pekerjanya di negeri yang katanya kaya dan subur ini.

Semoga pula menjadi pelajaran bagi pelaku usaha betapa riskan menggaji pekerja dengan upah minimum karena badai tuntutan hidup layak itu akan terus menghempas justru dari dalam tubuh perusahaan yakni dari pekerja itu sendiri yang hanya bisa meniti di batas zona hidup layak.

Tulisan ini dibuat bukan atas nama PT Certis, bukan pula atas nama karyawan dan serikat pekerja yang ada di Certis namun pandangan pribadi saya sendiri,  mantan karyawan PT Certis

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun