Bagi kita yang hidup di abad-21, tentunya tidak ada yang aneh apalagi spesial dengan pernyataan insiprator kapitalisme diatas. Bahwa laba produksi harus diinvestasikan kembali untuk meningkatkan produksi, itu sudah menjadi kredo ekonomi yang menjadi pegangan sekarang. Seperti itulah ekonomi diatur. Namun bagi masyarakat ekonomi di abad 18, apa yang diungkapkan Smith diatas adalah sesuatu yang menggugat kontradiksi moralitas dan keagamaan, anti mainstream, serta memicu perubahan sosial yang besar.
Kredo ekonomi yang digariskan Smith menggugat perdebatan moralitas dan keagamaan bahwa orang kaya adalah orang yang susah masuk surga. Karena menurut Smith, menjadi kaya itu bukan dengan cara mencuri tapi dengan meningkatkan produktivitas. Menjadi kaya juga berarti membantu orang lain. Karena dengan menjadi kaya, berarti kita akan melibatkan lebih banyak orang untuk bekerja dan merasakan kue ekonomi. Mencari kekayaan memang bentuk egoisme. Namun egoisme adalah altruisme. Â
Ide Smith diatas juga bertentangn dengan kelaziman. Karena pada waktu itu, ekonomi adalah aktivitas linear produksi yang menghasilkan laba. Ekonomi tidak dilihat sebagai aktivitas sirkular dimana produksi menghasilkan laba, kemudian laba tersebut dikembalikan menjadi faktor produksi. Sebelum The Wealth of Nation ditulis, laba produksi dikumpulkan dan ditumpuk. Laba produksi dipakai untuk kegiatan non produktif seperti membeli pakaian sutra, perhiasan emas, mengadakan pesta, karnaval atau turnamen mewah.
Pandangan ekonomi Smith juga membawa perubahan sosial besar yang besar. Bila sebelumnya orang kaya adalah para tuan tanah atau bangsawan, maka selanjutnya orang kaya adalah para enterpreneur. Orang kaya bukanlagi para Land Lord atau Duke yang suka berjalan dari satu jamuan ke jamuan lainnya dengan memakai jas sutra berhiaskan emas, tapi mereka adalah para pemegang saham, direksi, atau pemilik perusahaan yang bergerak dari satu pertemuan ke pertemuan lain atau dari satu pabrik ke pabrik lain. Merekalah yang menjadi penguasa baru di tengah masyarakat. Para enterpreneur.
Di Indonesia, salah satu suku yang dikenal publik mempunyai image sebagai enterpreneur adalah orang Minangkabau. Tradisi merantau masyarakat Sumara Barat serta bertebarannya Rumah Makan Padang di Indonesia, menguatkan kesimpulan bahwa orang Minangkabau sejatinya adalah para enterpreneur.
Namun kalau kita membaca novel Sengsara Membawa Nikmat, justru bukan enterpreneur itulah yang menjadi ciri kuat masyarakat Minangkabau. Sengsara Membawa Nikmat sendiri adalah novel yang pertama kali diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1929. Novel ini ditulis Tulis St.Sati. Seorang Guru dan penulis yang dilahirkan di Bukit Tinggi. Sebagaimana kebanyakan novel Balai Pustaka dengan penulis orang Minangkabau, maka landscape ranah Minang menjadi latar novel ini. Kritik terhadap adat tentang hubungan antara Ayah-Anak-Keponakan, tetap muncul.
Hanya mungkin yang agak berbeda dengan citra orang Minangkabau yang dikenal sebagai enterpreneur, novel ini justru menceritakan konflik para ambtenaar. Midun mungkin menang secara personal dan sosial ketika berkonflik dengan Kacak. Namun secara politis, Midun kalah. Karena yang dihadapi adalah Kacak. Keponakan penguasa nagari (ambtenaar).