Batam merupakan salah satu kota yang diproyeksikan untuk menjadi pusat kegiatan dan pusat pertumbuhan di luar Pulau Jawa. Menengok PP No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Batam merupakan salah satu Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan juga Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN). Dengan label PKN yang disandang, Batam sebagai kawasan perkotaan memiliki fungsi melayani kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa provinsi. Posisinya sebagai PKSN juga menempatkannya sebagai kawasan perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara. Lokasi dan fungsinya yang strategis menyimpan potensi yang besar sebagai pusat pertumbuhan. Batam sejak lama sudah dihujani dengan beragam kebijakan dan program pendorong pertumbuhan. Sejak awal, pihak Otorita Batam gencar melakukan berbagai program pembangunan untuk menyuntikkan doping pertumbuhan. Hasilnya sudah mulai tampak, walau dirasa belum optimal. Pengembangan Batam untuk memantapkannya sebagai pusat pertumbuhan mengundang berbagai upaya pembangunan dan pengeksploitasian. Banjirnya program pembangunan yang melanda Kota Batam, bukannya tanpa menyisakan masalah. Batam tak henti dirundung masalah. Beragam permasalahan saling terkait satu dengan yang lain. Mulai dari masalah kelembagaan, terkait dualisme kewenangan antara Otorita Batam (BP Batam) dan pihak Pemerintah Kota. Lanjut dengan permasalahan terbengkalainya ruko-ruko dan pusat-pusat perdagangan sejalan dengan meredupnya Batam. Atau permasalahan penyediaan air bersih dan menjamurnya “Ruli”, atau rumah liar, seperti disampaikan pada artikel sebelumnya (
http://regional.kompasiana.com/2013/08/24/batam-kota-pusat-pertumbuhan-yang-dipenuhi-ruli-586133.html ). Beragam permasalahan yang menimpa Kota Batam sungguh sulit untuk diurai. Perlu kesungguhan dan tekad sekuat baja. Butuh sifat ksatria pemimpinnya. Ksatria baja hijau atas nama kelestarian lingkungan. Permasalahan lingkungan di Kota Batam yang tidak kalah mengusik adalah kerusakan mangrove di sepanjang pesisir Batam. [caption id="" align="aligncenter" width="310" caption="Kerusakan Mangrove di Pesisir BatamSumber Foto: wwwllpklhkepri.blogspot.com"][/caption] Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir umumnya. Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove di Pesisir Kota Batam secara kasat mata telah mengalami kerusakan yang disebabkan oleh penyebab langsung maupun karena faktor-faktor pemicu lainnya. Salah satu penyebab rusaknya ekosistem mangrove di Pesisir Kota Batam adalah pencemaran air laut terutama karena ulah manusia yang tanpa sadar lingkungan melakukan pembuangan limbah baik limbah cair maupun limbah padat. Jika kita melihat Pantai Nongsa, sampah-sampah tersebar pula di sepanjang pesisir pantai. Selain itu, yang tak kalah membuat miris adalah beragam proyek pembangunan, alih fungsi lahan, maupun penebangan kayu mangrove. Seperti halnya dengan ekosistem lain, ekosistem mangrove memiliki sifat homeostatis, yaitu sifat ekosistem yang selalu mencari keseimbangan (ekuilibrium) baru yang dinamik. Artinya, jika ekosistem tersebut mengalami gangguan, selama gangguan tersebut tidak melampaui daya lentingnya, maka ekosistem tersebut akan mampu pulih kembali. Daya lenting (
resilience) adalah kemampuan suatu sistem untuk pulih kembali setelah menyerap gangguan/informasi dari luar. Hanya yang menjadi masalah adalah jika gangguan tersebut telah jauh melampaui daya lentingnya, tentu yang akan terjadi adalah ketidakseimbangan ekosistem, kerusakan ekosistem, bahkan hilangnya ekosistem tersebut. Untuk mengatasinya, Jalinan pola hubungan manusia dengan lingkungan alam harus disertai dengan kearifan serta rasa tanggung jawab dari manusia itu sendiri sebagai makhluk dominan dalam memanfaatkan alam lingkungannya. Ilmu pengetahuan dan teknologi bersifat netral, menjadi bermanfaat atau merusak lingkungan, sangat tergantung pada manusia yang menerapkannya. Manusia yang pada dasarnya memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan subsistem lainnya harus dibekali dengan kearifan serta rasa tanggung jawab dalam mengelola lingkungan baik sebagai jaminan kelangsungan hidup maupun pemenuhan kehidupan. Kesadaran individu dalam masyarakat mengenai lingkungan hidup dan kelestariannya merupakan hal krusial karena perusakan lingkungan merupakan hal yang sulit dihindari. Kesadaran masyarakat yang terwujud dalam berbagai aktifitas lingkungan maupun aktifitas kontrol lainnya sangat diperlukan. Dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam ekosistem mangrove di Pesisir Kota Batam, harus memperhatikan faktor keberlanjutan (sustainability). Untuk mewujudkan lingkungan perkotaan yang berkelanjutan, diperlukan upaya keras dari semua stakeholder. Yang tidak kalah penting adalah upaya penegakan hukum yang nyata. Tanpa penegakan hukum, semua usaha akan menjadi sia-sia. Pada kasus Kota Batam, penegakan hukum diperlukan terutama menyangkut pemberian ijin pendirian perumahan yang dilakukan oleh para pengembang yang mengambil lahan pada kawasan hutan mangrove yang sebenarnya diperuntukkan untuk kawasan lindung. Salam. (Del)
KEMBALI KE ARTIKEL