[caption id="" align="aligncenter" width="455" caption="Salah satu mobil murah.Sumber Foto:
http://static.republika.co.id/uploads/images/"][/caption] Syukurlah. Bermunculan tokoh-tokoh yang menolak kebijakan pemerintah pusat terkait dengan mobil murah. Mungkin dalam bahasa yang lebih halus, merasa keberatan dengan kebijakan
low cost green car (LCGC) yang dicanangkan oleh pemerintah pusat. Ada berderet nama-nama tokoh yang berkeberatan, antara lain Jokowi, Ahok, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil, dan beberapa tokoh lainnya termasuk Hatta Rajasa. Seakan terdapat perbedaan di antara sesama jajaran Menteri. Bahkan berbeda dengan Wakil Presiden. Entah apa yang membuat Budiono mendukung kebijakan mobil murah. Mengherankan. Konon katanya, mobil murah lebih ramah lingkungan sehingga menyandang predikat
green car. Benarkah? Tidak sepenuhnya benar. Mobil yang dipatok dengan harga miring tersebut tetap menggunakan bahan bakar minyak yang masih disubsidi pemerintah. Tetap menggunakan bahan bakar fosil. Masih menyumbang polusi udara yang semakin mengkhawatirkan. Mungkin benar jika nanti mobilnya dicat dengan warna hijau. Jadilah
green car. Entah apa yang membuat seorang menteri dapat mengklaim mobil murah memiliki predikat
low cost green car (LCGC). Bisa
low cost karena mendapatkan subsidi bea masuk, Harga mobil menjadi murah pun karena adanya pengurangan kenyamanan bermobil. Amankah? Semoga tidak ada pengurangan faktor keamanan berkendara. Sangat berbahaya. Nyawa taruhannya. Sang Menteri sudah mengeluarkan segala jurus dan dalih demi untuk memuluskan kebijakan mobil murah. Di antaranya, pernyataan mobil murah tidak hanya diperuntukkan untuk Jakarta saja. Memang tidak untuk Jakarta saja. Tapi tidak dapat dipungkiri, warga Jakarta lebih memiliki kesempatan dan kemampuan untuk itu. Kebijakan mobil murah pemerintah pusat sudah jelas kontradiksi dengan kebijakan untuk mendorong penggunaan angkutan umum, kebijakan untuk mengurangi kemacetan Jakarta. Jokowi dan Ahok sudah sangat jelas, berkeberatan. Walau saya sangat menyarankan agar Jokowi-Ahok dapat lebih cerdas, lebih arif, dengan segera menerapkan kebijakan-kebijakan yang paling tidak dapat mengurangi laju pertumbuhan kendaraan pribadi di Ibukota. Saya mendukung penerapan zonasi tarif parkir. Kenakan tarif parkir sesuai dengan zonanya. Juga tetap mendorong kebijakan penyediaan dan penggunaan moda transportasi umum dan massal. Tetap konsisten dengan program MRT, dan moda transportasi massal lainnya. Memang tidak hanya untuk Jakarta, tapi Bandung dan Jawa Tengah pun turut menolaknya. Ridwan Kamil sebagai Walikota Bandung, sudah dengan tegas menyatakan menolak mobil murah. Emil (panggilan Ridwan Kamil) lebih mendorong penggunaan kendaraan umum, bahkan kalau perlu, sepeda. Sesuai dengan yang telah dicontohkannya selama ini. Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah pun senada. Beliau tidak ingin Kota Semarang dan kota-kota lainnya di Jawa Tengah menjadi semakin macet. Dibanjiri oleh mobil murah yang ujung-ujungnya hanya menambah beban subsidi pemerintah. Sang menteri mengeluarkan jurus lainnya. MS Hidayat menyarankan mobil murah untuk menggunakan bensin yang bebas subsidi. Menggunakan pertamax dan sejenisnya. Mulai kelimpungan rupanya. Mulai kontradiksi dengan perkataan sebelumnya. Kalau memang mobil murah diperuntukkan untuk kalangan bawah, mengapa justru harus dipaksa menggunakan BBM non subsidi? Mobil lainnya yang kelasnya sedikit di atasnya tetap diperbolehkan menikmati subsidi? Tetap masih mengganjal di hati. Mengapa subsidi yang digunakan untuk membebaskan bea masuk barang mewah tidak digunakan saja untuk pengadaan transportasi massal? Mengapa tidak untuk pembangunan infrastruktur yang sudah jelas sangat minim? Masih banyak pertanyaan lainnya yang mengganjal. Ah, sudahlah, sudah pagi, harus segera bergegas mempersiapkan hari. Menyongsong pagi. Melakukan hal-hal yang sesuai dengan kemampuan diri. Berilah kesempatan para elit di atas sana untuk berpikir lebih jernih. Biarlah mereka berfikir ulang. Satu hal, semoga mobil murah juga dibuat dengan standar keamanan yang layak. Tidak mengalami pengurangan seperti halnya faktor kenyamanan. Supaya tetap aman. Jangan sampai mengorbankan nyawa. Salam. (Del).
KEMBALI KE ARTIKEL