Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Bertahan Hidup di Tengah Belantara Jakarta

31 Maret 2014   06:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:16 106 5
[caption id="" align="aligncenter" width="378" caption="Joki 3 in 1"][/caption] Bisa jadi, Jumat sore merupakan waktu yang memunculkan kontradiksi bagi para pekerja  atau karyawan yang harus menjalani rutinitas pergi kerja di pagi hari dan pulang di sore hari. Kontradiksi ini terutama melanda para pekerja di Kota Jakarta. Di satu sisi, timbul rasa senang karena besok merupakan hari libur, dan di sisi lainnya, juga menimbulkan rasa malas karena jalanan pastinya macet semacet-macetnya. Jumat sore, jalanan Kota Jakarta selalu lebih padat dibandingkan sore-sore di hari yang lainnya. Walau sore lainnya pun sebenarnya tidak jauh lebih baik. Jumat sore kemarin, kebetulan berkesempatan pulang menggunakan bus TransJakarta. Ketika awal naik di halte Blok M untuk menuju Kota, penumpang belum terlalu sesak. Paling tidak masih ada beberapa kursi kosong. Namun kondisi itu tidak berlangsung lama. Di halte-halte selanjutnya, penumpang mulai tumpah ruah. Semua seakan mengejar waktu untuk segera tiba di rumahnya masing-masing. Semua rela berdesakan dan berjejalan demi segera memulai saat-saat libur akhir pekan bersama keluarga atau demi alasan lainnya. Bus Transjakarta yang mulanya masih longgar, dan kaki masih bisa selonjor, berubah dengan cepat. Aneka jenis penumpang mulai menyerbu. Kaki pun terpaksa ditekuk tegak untuk memberikan sedikit ruang bagi penumpang yang berdiri di depan. Ada satu penumpang yang menarik perhatian. Seorang ibu yang saya taksir berumur pertengahan 30-an berusaha masuk dan menuju ke arah tempat saya duduk. Di wajahnya tergurat beban, terlihat letih. Ibu itu tidak sendiri, dia masuk bersama dengan anak kecil dalam gendongannya. Sang Ibu terlihat sedikit kerepotan. Anak dalam gendongannya terbangun dan mulai rewel. Selain menggendong anak, tangan kirinya menenteng tas gendong untuk anak kecil. Mungkin berisi perlengkapan sang anak. Tangan kanannya masih memegang sebotol susu. Mulutnya berusaha untuk menenangkan anak dalam gendongannya. Berusaha untuk membujuk anaknya, “Iya, ini kita sudah mau pulang kok, sabar ya, tidur aja… Kita udah di busway..kita pulang… “.  Kata-kata itu dia ulang berkali-kali, berusaha untuk membujuk dan menenangkan anaknya. Spontan, saya langsung berdiri dan memberikan tempat duduk yang saya tempati. Sang Ibu mengucapkan terima kasih berulang kali, “Terima kasih Mbak, terima kasih. Mbak baik sekali. Pegel banget hari ini. Terima kasih ya..”. Akhirnya, anak dalam gendongannya tertidur. Rupanya, Ibu itu senang ngobrol. Dia seakan ingin menumpahkan pengalamannya.  Tanpa diminta, si Ibu melanjutkan omongannya, “Lumayan Mbak hari ini. Dapet orang yang baik-baik semua. Semuanya baik. Lumayan, dapet lebih. Ah, semoga Bapak yang tadi mendapat rejeki yang banyak, mendapat berkah yang lancar dan saya ikut kebagian rejekinya”.  Bingung. Apa maksudnya? Si Ibu masih meneruskan pembicaraannya. Di balik wajah letihnya tergurat rasa gembira. Dia terus mengumandangkan kegembiraannya dan memuji-muji Bapak yang memberinya uang Rp. 50.000,-. Dengan uang itu dia sudah berencana untuk membelikan anaknya susu. Tak lupa dia selipkan doa untuk Bapak yang baik hati tersebut. Mulut Si Ibu terus mengeluarkan kata. Akhirnya, saya mulai paham. Ibu itu baru pulang dari kerjanya. Dia ternyata bekerja sebagai Joki 3 in 1. Saya mulai penasaran. Seperti apa sesungguhnya lika-liku pekerjaan yang satu ini. Pekerjaan yang menjamur semenjak kebijakan 3 in 1 diterapkan dan hingga kini masih langgeng bertahan. Ladang pekerjaan  hasil kreativitas warga untuk mensiasati penerapan suatu kebijakan. Tidak terlalu sulit untuk mengorek keterangan dari mulut Sang Ibu karena pada dasarnya dia hobi cerita. Satu pertanyaan simpel langsung dijawab dengan rangkaian kalimat, berkalimat-kalimat. Dalam waktu yang singkat, dia telah banyak bercerita bahwa dia ngontrak kamar kecil di daerah Kota, hanya berdua bersama anaknya. Sebenarnya dia memiliki dua anak. Anak yang besar masih SD, dititipkan ke kakek dan neneknya di Kota Tasikmalaya. Tiap bulan dikirimi uang untuk biaya hidup dan biaya sekolahnya. Dia merasa pekerjaan sebagai joki 3 in 1 cocok untuknya. Tidak terlalu berat, dapat mengajak serta anaknya, tidak perlu keahlian khusus, dan cukup mudah. Yang diperlukan adalah sedikit nyali untuk berdiri di pinggir jalan bahkan nyaris di badan jalan.   Berupaya mengalahkan rasa takut tertabrak mobil, demi mengalahkan saingan lain, sesama joki 3 in 1. Jika sedang beruntung, dia bisa membawa pulang uang dalam jumlah yang lumayan menurut ukurannya. Namun, jika sedang apes, pernah pula hanya mendapatkan uang Rp. 15.000,00 atau bahkan pernah tertangkap razia, tapi dilepas lagi. Dia menambahkan, menurutnya, “Kerja begini, yang penting rapi dan sopan Mbak..Yang punya mobil pasti memilih yang berpakaian rapi dan kelihatan orang baik-baik. Ada pekerja bank yang biasa menggunakan jasa saya, lumayan rutin, saya biasanya mangkal di Jalan Juanda.” Saya tanya, “ Suaminya mana Mbak?”. Suaminya ternyata kabur entah ke mana, meninggalkan dia seorang diri di belantara Jakarta. Bertahan hidup di tengah himpitan kebutuhan ekonomi. Tapi dia berusaha untuk meyakinkan diri bahwa tanpa suami pun, dia bisa bertahan hidup. Saya tanya lagi, “Kenapa gak pulang ke Tasik?” Jawabannya klise, namun itulah kenyataannya. “Di Tasik saya mau kerja apa? Sawah tidak punya, keahlian tidak ada, modal juga tidak ada”. Hhmmmm. Inilah salah satu potret warga Jakarta. Satu di antara sekian juta warga Jakarta yang menggantungkan hidup dan penghidupannya pada Kota Jakarta. Masih banyak lagi cerita tentang warga  Jakarta lainnya yang tidak kalah perjuangannya. Demi untuk hidup dan berpenghidupan di Kota Jakarta. “Ah, siapa suruh datang Jakarta?”. Jakarta memang gudangnya orang kaya di Indonesia. Peredaran uang di Jakarta lebih dari separuh peredaran uang di Indonesia. Namun masih banyak pula kaum marjinal yang berupaya bertahan hidup di Kota Jakarta. Sebentar lagi, warga Jakarta dan warga lainnya di belahan lain Indonesia akan mencoba untuk menggantungkan harapannya pada para wakil rakyat yang akan dipilihnya. Apakah para calon wakil rakyat perduli pada mereka? Akankah para wakil rakyat yang konon katanya terhormat itu akan memperjuangkan nasib mereka? Ataukah mereka akan semakin larut dengan beban hidup dan semakin terlupakan? Semoga tidak. Sebentar lagi, warga Jakarta dan warga lainnya di belahan lain Indonesia akan mencoba menaruh impiannya pada presiden yang baru. Memimpikan untuk memiliki pemimpin baru yang dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, lebih makmur, lebih sejahtera. Adakah para calon Presiden mau memperjuangkan nasib mereka? Akankah presiden yang baru akan berpihak pada rakyatnya? Ataukah mereka larut dengan kuasa dan kewenangan besar yang dimilikinya? Semoga tidak. Indonesia pasti bisa. Salam. (Del)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun