Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Jadi, Kota Jakarta Ada di Mana?

5 Juni 2014   19:21 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:11 154 2
[caption id="" align="aligncenter" width="384" caption="Senayan City"][/caption] Marilah sejenak kita lupakan hiruk pikuk Pilpres yang sebentar lagi mampir. Terkadang, bosan juga melihat berita di TV yang tayangannya hampir didominasi dengan berita Pilpres. Terutama di antara dua stasiun berita yang mulai terlihat dengan jelas dan terang, sangat tidak berimbang. Masih ditambah dengan berbagai media sosial maupun group di HP yang topiknya gak jauh dari situ. Kompasiana ikut-ikutan, tidak mau ketinggalan. Berita seputar pilpres banyak berseliweran. Belum cukup? Obrolan di kantor pun masih seputar situ. Sekali-kali, boleh dong teriak, “Bosan……! Gak ada topik yang lainkah? ”. Tapi tenang…saya janji gak akan golput kok… Hanya perlu sedikit penyegaran. Tidak melulu bahas politik. “Jadi bahas apa dong…..?”. Mari kita tengok Kota Jakarta. Kota yang banyak diumpat sekaligus tetap dicinta. Kota yang masih dijadikan tempat hidup dan berpenghidupan bagi penghuninya. Dapat dipastikan, hampir semua penduduk Jakarta, pernah mengeluarkan umpatan atau paling tidak kekecewaan atau keluhan tentang Jakarta. Paling tidak, pasti pernah mencetuskan kekecewaan atau protes terkait banjir, macet, bising, got mampet, atau tentang sampah. Kota Jakarta merupakan ibukota Negara sekaligus dinilai sebagai kota metropolitan. Konon, Jakarta juga merupakan surga bagi penggila belanja di tanah air. Berbagai tempat belanja berjejalan menghiasi kota. Konon, Kota Jakarta merupakan kota metropolitan dengan jumlah mall terbanyak di dunia. Lebih dari 130 mall bertebaran di Jakarta. Tersebar hingga pelosok Jakarta. Lingkungan perumahan skala kecil pun bisa memiliki mall yang mentereng. Bahkan dalam satu ruas jalan bisa ada 2 Mall besar sekaligus. Pertumbuhan dan perkembangan mall di Kota Jakarta beberapa tahun ke belakang di luar kendali. Banyak lahan yang semula peruntukannya bukan untuk kawasan komersial atau yang pada awalnya merupakan kawasan permukiman, beralih fungsi menjadi kawasan perdagangan. Bahkan, kawasan yang semula memiliki fungsi untuk kawasan resapan air dan ruang terbuka hijau dapat berubah wujud menjadi mall atau kawasan komersial lainnya. Masih untung Jokowi-Ahok segera menyadarinya. Setidaknya, pertumbuhannya mulai melambat. Jakarta sudah tidak terlalu jor-joran mengeluarkan ijin untuk pendirian mall. Jakarta butuh ketegasan. Tegas menerapkan rencana tata ruangnya. Saya bukan orang yang anti mall. Masih tetap membutuhkan dan sesekali melakukan aktivitas jalan-jalan dan belanja di mall. Hanya masih dalam kadar yang wajar. Terkadang fenomena menjamurnya mall tersebut menumbuhkan kegelisahan tersendiri. Benarkah Jakarta membutuhkan mall sebanyak itu? Apakah kebutuhan akan mall memang sebanyak itu? Apakah orang-orang ke Jakarta melulu untuk berbelanja? Apakah budaya konsumerisme sudah sedemikian parah melanda Jakarta? Haruskah selalu menghabiskan waktu bersama keluarga di mall? Yang lebih aneh adalah penamaan mall-mall yang ada. Semua seakan berkiblat ke dunia di belahan Barat sana. Seolah paradigma modern yang tertanam dan memiliki daya jual tinggi harus berpatokan ke sana. Cobalah tengok dan cermati nama-nama mall yang ada di Jakarta. Hampir semua mall diberi label nama-nama berbau asing. Paling tidak, memiliki penggalan kata dari Bahasa Inggris. Mungkin supaya terlihat keren dan modern. Istilah square, town square, park, trade center, village, atau city banyak berseliweran. Mungkin akan ada nada yang berkomentar, “Ah, itu sih kamu aja yang kepo…sirik….Gak ada salahnya kan? Supaya lebih menjual…Kalau kamu punya mall pasti melakukan hal yang sama”. Memang gak ada salahnya, sudah jadi hak mereka karena belum ada aturannya. Hanya, terkadang tergelitik juga. Ada banyak label square. Cilandak Town Square, Mangga Dua Square, Kelapa Gading Square, Dharmawangsa Square, Cibubur Square, Rawamangun Square, Blok M Square, dan banyak square yang lainnya. Mengapa semua seolah latah menamainya square? Atau seperti juga, “Mengapa semua harus dinamakan trade center? Atau, “Mengapa harus dinamakan Pejaten Village, Pluit Village? Village-nya dari mana?”. Mari kita tersenyum. Ada Senayan City, Kuningan City, Season City, Gandaria City, Thamrin City, dan terakhir ada Kota Kasablanka. Dinamakan kota, “Kotanya di sebelah mana?” Yang dimaksud Senayan City, Kuningan City, Thamrin City, dan sebagainya itu tidak lebih dari bangunan mall. Ok lah, dulu mungkin merencanakan untuk mewujudkan yang namanya konsep “compact city” atau mix used building, sehingga diberi tambahan label “city”. Tapi gak tepat juga, hehehe… Kota di dalam kota? Di antara sekian banyak city, lalu Jakarta City nya di mana? Kota Jakartanya di mana? Ha..ha…ha… Lebih lucu lagi Central Park… Isinya gak jauh juga dari definisi mall. Tetap isinya pusat perbelanjaan. Pertanyaannya, “Park-nya di mana?”. Ah, sudahlah… anggap saja ini intermezzo tengah hari di tengah suasana menjelang pilpres. Dari seseorang yang sedang kepo… Hehehe… (Del)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun