Menelusuri lorong-lorong waktu, bersamamu sebagai satu-satunya impian.
Doa menjadi mantra, senjata tersembunyi yang kusimpan,
Menghadapkan wajahku pada takdir, jika suratan terbaik memutuskannya.
Namun, semakin dekat, semakin jauh kita terpisah,
Tali yang dulu erat, kini menjadi benang tipis tanpa arti.
Bahkan senyumanmu terasa dingin, tanpa getaran makna,
Mengundang keraguan, apakah kita hanya berada di pelukan takdir yang bersahaja.
Kabar tentangmu dan yang lain mencuri ruang pikirku,
Rasa penasaran dan keheranan merangkak perlahan.
Namun, di tengah pusaran pertanyaan, sinar harapan menyinari,
Anak seorang bapak memandangku sebagai lambang masa depannya.
Ketakutan menyelinap, melihatmu bersama bayangan itu,
Namun, aku berusaha menyembunyikan denyut kecemasan yang berkobar.
Terus melangkah, meraba jalan di antara kabut keraguan dan bayang-bayang harapan,
Menyongsong takdir yang mungkin menggiringku pada pelukan yang bukan lagi milikmu.