Selidik punya selidik, ternyata mungkin isunya adalah pendidikan. Masalahnya, sejak tahun 1950-an, jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan jumlahnya selalu dibawah jumlah laki-laki yang mengenyam pendidikan (secara memadai). Rasio jumlah perempuan dan laki-laki pada tingkat pendidikan primer dan sekunder boleh jadi sama - tapi jadi berbeda drastis pada tingkat pendidikan tertier. Rasio jumlah laki-laki lebih besar, tentunya.
Bukan gagasan baru yang menyatakan pendidikan adalah gerbang emas bagi siapa saja.R.A. Kartini adalah salah satu pelopor wanita, yang menyadari bahwa hak untuk pendidikan adalah hak setiap manusia, bukan hanya hak-hak kelas sosial tertentu atau jenis kelamin tertentu. Sayang, ia harus menelan pil pahit dari ayah dan suaminya sendiri: menikah dijodohkan pada usia muda dan dijadikan istri kedua, sementara niatnya melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi juga dibatalkan oleh ayahnya. Tapi, gaung suara R.A Kartini menggerakan perempuan-perempuan Indonesia yang lain. Dewi Sartika adalah salah satunya. Nasib Dewi Sartika jauh lebih baik dibanding R.A. Kartini, karena selalu didukung oleh anggota laki-laki keluarganya: ayah, paman, dan suami. Dewi Kartika sadar bahwa selama penjajahan Belanda, nasib perempuan Indonesia sangat miskin. Mereka sangat tergantung pada laki-laki, dan tidak kebebasan sama sekali. Ia berkata: "Menurut pendapat saya, dalam hal pendidikan perempuan tidak begitu jauh berbeda dari laki-laki. Pendidikan yang berkualitas baik akan meningkatkan pengetahuan moral perempuan pribumi Perempuan bisa. Mendapatkan bahwa jenis pengetahuan sekolah". Jadi, pada tahun 1902 Dewi mendirikan sebuah sekolah yang mengajarkan keterampilan perempuan seperti menjahit, merenda dan memasak, membaca dan menulis.
Menurut saya ya, RA Kartini dan Dewi Sartika merefleksikan dua kondisi posisi perempuan Indonesia pada waktu itu. Di satu sisi, hal ini menunjukkan upaya kesetaraan perempuan dalam pendidikan selalu diprakarsai oleh wanita priyayi. Sebagai bangsawan, mereka diberi hak istimewa oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mengenyam pendidikan. Di sisi lain, kondisi mereka sekaligus merefleksikan norma arus utama dalam masyarakat yang cenderung membatasi ruang lingkup kehidupan perempuan, yang terutama diterapkan dalam norma-norma keluarga. Masyarakat memberikan pria kehormatan dan tanggung jawab untuk menjadi pencari nafkah keluarga, sekaligus juga pemilik perempuan - sebagai aset. Masyarakat memberi kuasa pada laki-laki melalui institusi keluarga hak untuk untuk menentukan kehidupan perempuan. Hanya laki-laki murah hati, yang dengan senang hati mengizinkan wanita menjadi rekan setara mereka. Padahal, ya sebenarnya tidak tidak setara juga - karena kesetaraan perempuan diperoleh atas ijin laki-laki, bukan karena kebebasan pilihan perempuan.
Tapi saya pikir masa keemasan gerakan perempuan Indonesia ada pada era Gerwani. Gerwani adalah divisi perempuan dalam tubuh Partai Komunis Indonesia. Semua kegiatan Gerwani ditujukan untuk membangun kapasitas perempuan berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. Gerwani berjuang keras mendorong perempuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam mendefinisikan "Indonesia". Mereka sangat militan dalam hal ini: mereka pergi ke desa-desa, pemberantasan buta aksara yang dialami hampir oleh setiap perempuan di seluruh Indonesia.
Gerwani menyatakan diri sebagai lembaga pendidikan bagi perempuan Indonesia. Mereka memobilisai perempuan Indonesia secara aktif, terutama mereka yang berasal perempuan miskin perkotaan sampai termasuk perempuan petani di desa-desa pedalaman.
Salah satu kegiatan mereka memerangi buta aksara perempuan sedang membaca koran PKI, Harian Rakyat dan Berita Gerwani. Kemudian setelah itu mereka akan membahas beberapa artikel yang mereka dipilih dari surat kabar. Program yang dijalankan oleh Gerwani, tidak hanya mendorong perempuan untuk melek huruf, tapi juga mendorong mereka untuk kritis dan aktif secara politik. Menurut saya, visi Gerwani yang sangat jauh ke depan, dibandingkan dengan organisasi perempuan lain pada waktu itu. Visi Gerwani itu tidak hanya mengirim wanita Indonesia ke sekolah untuk dapat membaca. Dalam visi mereka, sekolah dan kemampuan untuk membaca hanya alat untuk mencapai cakrawala yang lebih luas: untuk menjadi aktif secara politik, memiliki standar hidup yang lebih tinggi, untuk memiliki keterampilan kepemimpinan, dan menjadi mitra kerja sama berlaku untuk pria: "kami mendirikan kelas keaksaraan begitu banyak. dan kami berjuang untuk hak-hak politik perempuan sehingga perempuan lebih akan menjadi anggota parlemen nasional atau regional atau bahwa mereka bisa menjadi kepala desa atau menteri semudah pria" (Wieringa, 2002, hal 11).
Lucunya, pada jamannya, Gerwani dimusuhi oleh organisasi perempuan lain karena dianggap menantang keyakinan mereka mengenai definisi "perempuan Indonesia yang baik". Visi Gerwani adalah menjadikan perempuan Indonesia menjadi ibu rumah tangga yang militan. Ketika Soeharto mengakhiri Partai Komunis Indonesia (Partai Komunis Indonesia, PKI), ia juga menghancurkan gerakan perempuan Indonesia, dengan membungkan perempuan menggunakan stigma-stigma aib sosial pada karakteristik perempuan tertentu. Sasaran utama Soeharto adalah Gerwani. Soeharto menciptakan mitos seputar Gerwani untuk merendahkan perempuan yang berwawasan maju dan luas: Gerwani adalah pelacur PKI: "Di Halim, konon perempuan Gerwani ditelanjangi dan menari tarian mesum di depan para pemberontak, kemudian mereka mengiris, mencongkel keluar mata para jendral dengan silet, dan lalu mengiris alat kelamin mereka. Setelah mayat-mayat itu dibuang di sumur dalam (di Lubang Buaya terkenal atau "Lubang Buaya") wanita-wanita Gerwani berpesta seks dengan semua pemberontak yang ada di situ" (Pohlman, 2004).
Pada akhir tahun 1965 dan awal 1966 banyak anggota Gerwani, keluarga anggota Gerwani dan kerabat mereka dipenjara dan ditahan tanpa proses pengadilan. Beberapa dari mereka pergi tanpa ada kabar berita, beberapa dari mereka dibebaskan sebagai eks Tapol. Pada titik ini, saya melihat ketakutan rezim Soeharto dan militernya terhadap "perempuan yang sadar". Gerwani adalah alasan paling baik bagi Soeharto untuk melumpuhkan perempuan Indonesia.
Mengganti gerakan perempuan Gerwani, Soeharto mengesahkan beberapa organisasi perempuan di bawah departemen di Indonesia dan juga di bawah tentara Indonesia: Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi (Wieringa, 1992, Blackburn, 2004). Dharma Wanita adalah organisasi perempuan, yang anggotanya adalah para istri pegawai negeri yang bergabung dengan partai pemerintah, Golkar (Golongan Karya). Dharma Pertiwi adalah organisasi perempuan, yang anggotanya adalah para istri tentara Indonesia. Kedua organisasi perempuan menjalankan pemerintahan PKK (Program Bimbingan Keluarga, Program Pengembagan Keluarga) untuk perempuan di seluruh Indonesia, termasuk di tingkat akar rumput. Di bawah program PKK, organisasi perempuan Indonesia mendidik dan memberdayakan perempuan Indonesia untuk menjadi perempuanan Indonesia yang ideal.
Mengacu pada definisi Soeharto, emansipasi adalah kontribusi perempuan Indonesia tanpa pamrih kepada pemerintah Indonesia dalam pembangunan nasional melalui segala aspek: politik, ekonomi, sosial dan budaya dengan mendukung keluarga mereka (suami dan anak-anak) sebagai unit politik terkecil di negara.
Lalu pada tahun 1978 Soeharto memperkenalkan sebuah terobosan untuk perempuan Indonesia, dengan menghadirkan departemen baru: Departemen Kementerian Peranan Wanita. Bukannya menjadi institusi yang mampu meningkatkan kesadaran perempuan dalam hak-hak perempuan, departemen ini malah mendorong perempuan untuk "kembali ke kandang emas" dalam rumah tangga: menjadi istri dan ibu yang baik.
Buat saya, Soeharto membangun sistemnya sendiri untuk mengontrol perempuan Indonesia, menjaga mereka di dalam rumah. Kedua Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi adalah organisasi perempuan Indonesia di bawah kendalinya. Di bawah rezim militer, Soeharto mempertahankan organisasi perempuan sebagai agen bawahan untuk mendukung karir suami. Keanggotaan Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi memberikan penghormatan kepada para istri, untuk bergabung dengan karir suami mereka - yang bagi saya hanya merupakan agenda sistematis manipulatif untuk memberlakukan budaya ikut suami (Suryakusuma, 1991).
Di bawah rezim Soeharto, perempuan digiring kembali dalam praktik perempuan sebagai manajer rumah yang tidak memiliki hak istimewa ataupun kekuatan: "Kehormatan mereka adalah pencapaian menjadi seorang Ibu yang baik. Kekuasan dan kehormatan tetap merupakan hak istimewa laki-laki" (Nieuwenhuis, 1987, hal 43).
Organisasi perempuan yang baru tidak memperjuangkan hak-hak perempuan seperti apa yang diperjuangkan oleh Gerwani dulu. Selama masa pemerintahannya, Soeharto menciptakan emansipasi wanita yang palsu: mendukung karir laki-laki di tempat kerja dan menjalankan lima peran utama sebagai perempuan (Pimpinan Daerah Pertiwi, 1974 p. 4 dikutip di Sullivan 1991):
1. Sebagai penyokong setia dan pendukung keluarganya
2. sebagai pengurus rumah tangga
3. sebagai penghasil generasi masa depan
4. sebagai agen sosialisasi utama keluarga
5. sebagai warga negara Indonesia
Oleh karena itu dalam banyak kasus, agar tetap mampu memenuhi gambaran ideal wanita Indonesia yang tepat, banyak perempuan Indonesia menyerahkan hak mereka sebagai manusia tanpa sadar, menyerah prioritas kepada suami mereka atau anak-anak: "Saya sudah menikah vey muda dan tidak diperkenankan untuk menyelesaikan sekolah menengah. Aku selalu sangat aktif, tetapi karena suami saya adalah orang penting aku tidak bisa menerima pekerjaan rendah status "(Ibu Sumarli, nama samaran seperti dikutip dalam Wieringa,. 2001 hal 24).
Blackburn berargumen bahwa salah satu alasan mengapa perempuan Indonesia ingin berpendidikan adalah karena mereka percaya bahwa pendidikan dapat mendukung menjadi ibu yang lebih baik. Selain itu, pada beberapa perempuan pendidikan dilihat sebagai alat untuk memberikan kekuasaan otonomi untuk memilih suami.
Ini adalah ideologi Ibuisme, yang mencuci otak seluruh bangsa. Hegemoni juga dipertegas dengan disahkannya UU perkawinan tahun 1974 yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama dan kepala rumah tangga sedangkan perempuan sebagai manajer rumah dan pengasuh utama anak-anak. Sebagai kesimpulan, Soeharto membangun penjara sistematis untuk mengontrol perempuan Indonesia, mendorong mereka untuk percaya nasib mereka yang terbaik adalah di wilayah domestik. Menurut saya ya, sampai tingkat tertentu, ideologi ini mendorong perempuan Indonesia untuk menjadi "wanita ideal" dan menciutkan nyali mereka untuk memasuki tingkat pendidikan tinggi "ah, untuk apa sekolah tinggi-tinggi, tujuan mulia saya adalah sebagai istri dan ibu" - dan mereka (menjadi) percaya bahwa pendidikan yang baik akan menuntun mereka menjadi istri dan ibu yang baik. Kontribusi mereka yang terbaik bagi negara adalah untuk mendukung suami mereka di rumah dan membesarkan anak-anak dengan baik.
Menurut saya, ideologi ibuisme inilah yang jadi salah satu sebab mengapa perempuan enggan bersekolah tinggi, mengapa perempuan Indonesia enggan menjabat posisi yang tinggi dalam pekerjaan, mengapa tidak banyak perempuan Indonesia memberikan kontribusi dalam pembangunan infrastruktur internet.