"Vita, ayo bangun! Waktunya shalat shubuh." Begitulah aku tiap pagi membangunkan Vita, putri semata wayangku yang tahun ini genap berusia lima tahun. Sekedar untuk membiasakannya bangun di pagi hari. Atau aku akan menyesal seumur hidup jika nantinya Vita tumbuh menjadi anak yang pemalas.
"Ayah, Vita masih ngantuk. Dua menit lagi ya!" Dua jemarinya diangkat ke atas, mencoba bernegoisasi untuk mengulur waktu tidurnya. Kemudian ia menutup wajahnya dengan selimut bermotif Doraemon, tokoh kartun yang menjadi favoritnya.
"Ayah bisa saja menunggumu, Vita. Tapi tidak dengan waktu shubuh. Waktu shubuh sudah ditentukan dan kalau kita telat menjalankan sholat, kemungkinan besar Tuhan akan marah sama kita." Kutarik selimutnya dan beranjak membuka tirai jendela kamarnya.
"Darimana ayah tahu kalau Tuhan akan marah jika kita tidak sholat?" Tanyanya polos.
"Tentu saja ayah tahu, kan semuanya sudah tertulis dalam Al-Qur'an." "Apakah Al-Qur'an itu termasuk perkataan Tuhan?"
"Ya!"
"Lalu Ayah, Tuhan itu seperti apa?"
Barangkali pertanyaan seperti itu merupakan pertanyaan yang sederhana. Namun jika dilontarkan oleh anak seusianya, bisa jadi akan menjadi pertanyaan yang sangat rumit. Terlebih lagi ini menyangkut persoalan Tuhan. Sudah bisa dipastikan untuk menjawabnya harus dibutuhkan kejelian dalam menyampaikannya. Lama aku terdiam, berpikir bagaimana cara mendeskripsikan wujud Tuhan padanya.
"Ayah kenapa diam?" Suaranya membuyarkan lamunanku.
"Sholat dulu baru setelah itu ayah jawab pertanyaan Vita."
"Tapi Vita mau dengar jawabannya sekarang." Tangannya mulai menarik-narik kemejaku. Dan tak ada pilihan lain selain aku harus menjawab pertanyaannya, meski otakku sedikit blank.
"Vita tahu angin?" Tanyaku.
"Ya, tahu."
"Tahu wujud angin seperti apa?"
Ia menggelengkan kepalanya.
"Tapi Vita bisa merasakan kalau angin itu ada kan?" Tanyaku memastikan. Kali ini ia mengangguk pelan.
"Nah, begitu juga dengan Tuhan. Kita tidak bisa melihatnya secara kasat mata, namun kita bisa merasakan kehadirannya kapanpun dan dimanapun jika kita mempercayai-Nya." Celotehku panjang lebar.
Matanya menerawang ke arah langit-langit kamar. Ada kebingungan di raut wajahnya. Jari-jarinya terlihat memainkan bagian kuping boneka yang sedang didekapnya saat itu.
"Jadi ayah, Tuhan itu sebenarnya angin ya?"
Aku sedikit tercengang. Ah, sudah kuduga itu. Untuk mendeskripsikan tentang arti Tuhan pada anak seusianya memang tidaklah mudah. Tapi Vita begitu menyukai pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut tentang Tuhan, hingga terkadang aku suka kewalahan dibuatnya. Seandainya ibunya masih ada di sini, mungkin saja aku tak serepot ini. Yah, ibunya meninggal satu jam setelah ia melahirkan Vita. Dan setiap kali Vita bertanya tentang ibunya, aku akan menjawab bahwa ibunya sudah tenang di rumah Tuhan. Dari situlah bocah lima tahun ini, dengan segala rasa penasaran yang ada dalam benaknya, selalu saja mempertanyakan soal keberadaan Tuhan padaku.
"Ayah, jadi..."
"Sudah cukup Vita. Waktu shubuh hampir habis, sebaiknya kita cepat ambil air wudhu dan sholat." Segera kugendong Vita ke kamar mandi.
"Ayah, apakah Tuhan juga sholat seperti kita?" Kembali ia bertanya padaku. Dan pagi ini rasanya aku mulai dibanjiri keringat kebingungan. Kepolosannya sungguh membuatku sering mati kutu di depannya. Meski begitu, aku tetap bersyukur karena Tuhan telah menganugerahkan anak secantik dan secerdas Vita padaku.