Teroris memang mematikan nyawa orang, mencabut hak hidup orang lain.Sepintas terlihat buruk, melanggar HAM, menikam kemanusiaan.Tapi, mari kita renungkan lagi, apakah hidup yang bagaikan “kerakap tumbuh di batu,” (hidup segan, mati tak mau), terutama bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang terus miskin karena negara tidak mampu memperbaiki nasib hidup mereka karena uang negara yang mustinya tercurah secara merata, secara adil, kepada masyarakat kecil, dikorupsi oleh para koruptor itu masih baik?Pertanyaan saya: apakah kematian selalu buruk jika kematian itu cepat atau lambat juga akan mengakhiri hidup kita?Jika kematian selalu dipahami sebagai hal buruk, mengapa semua kita akan mati, yang berarti akan berakhir dalam keburukan?
Jika pada akhirnya pikiran kita dapat terbuka bahwa kematian tak selalu buruk, jika kematian yang tampak buruk di mata kita melalui “bahasa kekerasan” a la teroris itu ternyata sudah takdir bagi akhir hidup seseorang, bisa apa kita?Kalau kita percaya bahwa kematian seseorang itu bukan sesuatu yang ‘kebetulan’, melainkan sudah digariskan oleh Tuhan YME, mengapa kita ributkan cara kematian oleh karena serangan bom?Tidakkah sikap demikian itu memperlihatkan cara pandang kita yang telah terjebak pada cara pandang sekuler yang meniadakan Tuhan sebagai pihak yang punya otoritas tunggal untuk mengakhiri hidup seseorang?
Manusia Bukan Sasaran Utama Para Teroris
Persoalannya, saya pikir, bahwa manusia membunuh manusia secara acak dan membabi buta.Tapi, nanti dulu, pembunuhan tersebut bukan karena demi uang sebagaimana dilakukan oleh para perampok sadis yang “melacurkan rasa kemanusiaan dirinya” demi uang bagi kepentingan sedikit orang yang amat terbatas.Sementara, bom bunuh diri, misalnya,adalah sebagai cara untuk melakukan penekanan kepada pihak pemerintah atau penguasa yang cenderung “buta-tuli” dan abai pada harapan dan kehendak sebagaian rakyatnya.Abai, berarti bahwa komunikasi telah gagal terjadi di antara setidak-tidaknya kedua belah pihak.Karena tidak ada komunikasi, tidak ada percakapan, tidak ada dialog, maka bahasa yang digunakan bukan bahasa verbal lagi, dimana pikiran bias membuat pihak lain mengetahui duduk persoalan, tapi bahasa kekerasan dalam berbagai bentuknya.Apakah sah?
Menurut pandangan umum, bahasa kekerasan tentu tidak sah, tapi bagi para teroris itu bahasa paling efektif dan efisien.Sayang bahwa korban berjatuhan sebagai dampak langsung atau tidak langsung dari tindakan-tindakan yang diambil oleh para teroris.Tapi, bagaimana dengan Amerika yang melakukan invasi ke Irak yang juga tak dapat bebas dari salah tembak hingga jatuh korban rakyat sipil?Apakah memerangi bangsa lain dan menimbulkan korban jiwa dan kehancuran yang jauh lebih besar daripada aksi teroris bukan sebuah kekerasan?Tetapi mengapa mereka tidak disebut teroris meskipun sebutan demikian ditudingkan oleh kelompok-kelompok perlawanan? Saya cenderung percaya bahwa tujuan utama teroris bukan pertama-tama ditujukan pada para korban tetapi pihak lain, yakni pihak berkuasa.Korban manusia “hanyalah” sasaran-antara karena sebatas itulah yang dapat dilakukan oleh kelompok teroris yang cenderung kecil, “lemah” (dibandingkan dengan kekuatan negara), untuk memberikan perlawanan kepada negara yang dinilai lalim.
Jika Teroris Biadab, Bagaimana dengan Para Koruptor yang Politisi?
Kita semua bisa memaklumi jika teroris disebut biadab, terutama bagi pihak-pihak yang secara langsung dirugikan dan mereka yang peka dengan nurani kemanusiaannya.Tapi, saying, kepekaan tersebut baru sebatas tertuju pada ‘penampakan kematian’ yang berdarah-darah, tubuh yang berkeping-keping, badan yang hangus, dan berbagai akibat yang mungkin terjadi.Mengapa hanya sebatas penampakan?Mengapa pikiran lupa menilai bahwa penderitaan yang mengenaskan juga dapat muncul pada rakyat miskin, korban kebijakan para politisi, pimpinan negara dan jajarannya?Mengapa kita menjadi begitu terbiasa menyaksikan kemiskinan di sekitar kita sebagai dampak langsung atau tidak langsung dari tindakan para koruptor yang menggila, merajalela, dan kadang-kadang diperlakukan lunak oleh aparat penegak hokum, bahkan dilindungi dan “dibebaskan”?Apakah para politisi yang terpelajar yang mengkhinati amanat kekuasaannya, tanggungjawabnya kepada rakyat banyak tidak berbuat keji?Tidak biadab?Jika sebagian teroris tdk mampu berpikir mendalam karena mereka berpendidikan rendah, itu adalah akibat dari kebodohan.Tapi bagaimana jika orang berpengetahuan dengan sengaja melakukan kesalahan?
Mari kita jangan hanya terpaku pada kenyataan kematian lahiriah yang berdarah-darah dan tampakan-tampakan fisik yang terlalu mudah ditangkap pancaindra kita.Akan tetapi, mari pula dengan akal pikiran kita menilai bahwa di balik tindakan koruptor yang menggerogoti hak kemakmuran pada rakyat sesungguhnya juga biadab karena telah mengorbankan hari depan manusia-manusia lemah yang nasibnya amat bertumpu pada para politisi, pimpinan-pimpinan dalam berbagai bidang, yang sudah semestinya merupakan pihak yang paling bertanggung jawab untuk membantu memberdayakan mereka untuk dapat menjadi manusia dengan derajat yang selalu lebih baik dari sebelumnya, bukannya abai dan membiarkan mereka dalam penderitaan, sementara mereka sibuk memikirkan bagaimana kursi kekuasaan selama mungkin dikuasainya.
Kita perlu mengubah dan memperluas cara pandang.