Pasal 20 ayat 5 ini menjadi menarik akibat "drama sinetron" yang ditunjukkan fraksi partai demokrat. Pada awalnya fraksi demokrat ini gigih mendukung opsi pilkada melalui DPRD, padahal pemerintah melalui kemendagri cenderung memilih opsi pilkada langsung oleh rakyat.
Fraksi demokrat mulai memperlihatkan akrobatik politiknya setelah presiden esbeye dalam sedikitnya dua kesempatan dengan cukup tegas menguraikan bahwa pilkada langsung oleh rakyat adalah merupakan yang paling baik .
Seperti kita ketahui , kubu yang mendukung pilkada melalui DPRD adalah kubu koalisi merah putih menguasai suara mayoritas (demokrat, golkar, PAN, PPP, Gerindra dan PKS) dan kubu yang mendukung opsi pilkada langsung oleh rakyat adalah minoritas (PDI Perjuangan, PKB dan Hanura).
Dengan berpindahnya fraksi demokrat ke kubu yang mendukung pilkada langsung oleh rakyat, maka berubahlah peta di DPR. Dengan kata lain , fraksi demokrat adalah fraksi yang menentukan kubu siapa yang kalah atau menang.
Akrobat politik yang dimainkan fraksi demokrat ternyata cukup canggih. Berpura pura mendukung pilkada langsung oleh rakyat tetapi mengajukan 10 syarat yang tidak dapat ditawar.
Fraksi demokrat tidak perlu berlama lama untuk menentukan sikap, dengan cepat mereka memutuskan bersikap netral dan menyatakan walk-out dari sidang paripurna dengan alasan syarat yang mereka ajukan tidak mendapat respon dari sidang. Sinetron yang luar biasa.
Kemudian , sang sutradara dari luar negeri dengan santun dan bijaksana menyatakan kekecewaannya bahwa opsi pilkada langsung oleh rakyat ternyata kalah di sidang paripurna .
Dengan masa jabatan kurang dari satu bulan, mudah mudahan inilah sinetron terakhir dari presiden esbeye.