Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cinta yang Selalu

23 Februari 2014   18:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:33 33 0
Malam belum berakhir. Malam belum selesai. Sama saja, ya!

Embun mulai turun, kesenyapan beriring dengan kelenggangan mencium malamku di hari keduapuluh tiga bulan Februari. Kutulis sebuah puisi tentang kesepian yang kian. Kesedihan yang tak juga usai. Kuseduh kopi hitam cangkir keramik yang kau belikan dulu, oleh-oleh dari Bali, katamu waktu itu.

Harum kopi membuatku terlena. Cinta pertama memang senantiasa lama tertambat. Meski perahu sudah berlabuh di berbagai pelabuhan. Tak juga surut ingatan itu. Rindu pada senyum kecilmu yang malu-malu merekah. Bagai kelopak bunga mawar yang mekar ketika senja di hari pertama bulan januari.

Pada isakmu yang tertahan ketika aku cemburu di senja yang berkabut itu. Sungguh bebal, aku tak juga merasa cintamu begitu sungguh. Mengingatnya aku senantiasa merasa kabut tak pernah pergi dariku. Mengapung. Mengawang. Tak jarang mengepung. Hingga napasku terasa sesak.

Sesal kemudain, memang tiada berguna.

Begitulah, pelabuhan demi pelabuhan, hanya perhentian sesaat. Senantiasa ingin bergegas  menjumpaimu, namun seperti senja yang kehilangan pelangi di musim kemarau ketika gerimis membasuh bumi. Kekecewaan ataupun penyesalan, memang, sepertinya tiada guna.

"Cinta bukan segalanya," katamu sedikit terisak.

Kalimat yang lalu, batinku.

Kulihat jendela sedikit berkabut, ia tak mau menatapku lama. Matanya sering menatap jendela yang berkabut, selebihnya menundukkan kepala. Apakah menahan air mata, ataukah mencoba menahan isak yang naik dari dada. Entahlah. Atau, tidak keduanya.

Bukan hal yang mudah memadamkan ingatan masa silam yang senantiasa berjaga, dari rasa sesal serta rasa rindu yang senantiasa menyungkup. Pelabuhan demi pelabuhan tak juga membuatku merasa pulang. Selalu merasa ada yang hilang. Hilang.

Kesedihan ataupun kemuraman, boleh jadi, bukan hal yang utama. Rasa sesal, atau selebihnya, pula, barangkali bukan hal yang membuat kita merasa sedih.

Adakah yang lebih menyedihkan dari rasa kehilangan ? Adakah yang lebih bisa disesali dari rasa kehilangan?

Aku ingat percakapan yang tak selesai di rumahnya ketika senja, hari ketigabelas bulan maret. Di luar gerimis tak juga surut.

"Hari ini sesungguhnya sudah tak lagi jamannya kita bicara tentang cinta yang dulu. Jaman sudah berbeda, kita sudah bukan yang dulu lagi. Meski, boleh jadi kita masih memiliki perasaan yang sama seperti dulu."

Lantas setelah itu kita tak sanggup lagi untuk berkata-kata. Percakapan selesai begitu saja. Sementara senja telah berangkat sejak sejam lalu. Aku ingin berkata-kata lebih panjang lagi, namun semaunya menyesak di dada.

Ia mengisak  dalam diam. Tanganku terhenti di udara ketika hendak membelai pundaknya. Matanya  mengisyaratkan "jangan."

Adakah yang lebih menyedihkan ketika hasrat urung sebelum sampai, walau hanya sedetik.

Malam hampir selesai, kuminum kopi sambil  berdiri, berjalan ke teras. Entah cangkir keberapa. Embun menempel di dedaunan. Dingin menyerbu. Langit masih berkabut. Ini waktu yang tak biasa untuk mengingatmu. Di teras rumah yang sedikit berdebu. Ada yang akan lenyap. Kelak.

Hanya sebuah ingatan , kata-kata yang tak juga sudah.

Berapa purnama, tak mampu kujawab dengan pasti. Ingatan bukanlah ilmu pasti.

Ya !

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun