Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Hilang ..

2 Juni 2011   07:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:57 47 0



Bila kalian ingin tau keadilan tanyakan kepada ke-enam warga desa itu, ketika mereka dihukum oleh Negara karena dianggap sebagai pelanggar tata aturan yang musti diberi pelajaran, supaya lebih tau bahwa keberadaan mereka di Negara kesatuan ini harus tunduk dan patuh pada aturan.

Jalan aspal itu telah bopeng, tidak.. bukan bopeng, mungkin lebih tepatnya itu bukan jalan tapi sebuah lorong menuju sebuah tempat desa yang dianggap oleh sang penguasa sebagai desa yang penghuninya adalah kumpulan orang bar-bar, sehingga dinggap perlu mengirimkan pasukan pengaman bersenjata lengkap untuk mengepung rumah tuhan tempat berkumpulnya penghuni desa.

Perlawanan rakyat desa yang dianggap oleh penguasa sebagai kerusuhan itu sungguh mengejutkan, perlawanan didesa tua itu terjadi seperti bunga api yang menyambar-nyambar sekelilingnya, memercik sedemikian rupa, mendatangi dan menghanguskan perusahaan yang tak pernah permisi pada mereka sebagai pewaris desa. Hasilnya, Negara menganggap ke-enam warga harus diminta pertanggung jawabannya .

Gunawan Muhammad pernah menceritakan dengan ciamik sebuah adegan cerita yang dipanggungkan diparis tepatnya di Place du Louvre, Dario fo seniman asal Italia yang pada tahun 60-an bersama komunitasnya bercerita pada para penduduk Italia tentang keadaan buruk hidup mereka. Bercerita tentang Mistero Buffo (misteri jenaka)yang berisi tentang karya pendek yang menyindir para penguasa dengan cara mereka memanggungkan kehidupan mereka kedalam sebuah cerita.

Pernah mereka bercerita tentang sekumpulan nabi yang setelah minum-minum lalu mabuk dan merperolok siapa saja yang dihadapannya, menceritakan bahwa tuhan seakan-akan digambarkan sebagai sosok yang memilih dengan sesuka hati orang yang akan diberi kekuasaan atau tanah, atau sebaliknya, diberi nasib buruk atau nista. “kalau si manusia mengeluh!” ancam tuhan “Aku akan lemparkan kalian masuk dalam Neraka”.



Penggambaran terhadap perbuatan semena-mena sang penguasa yang dengan sesuka hatinya melemparkan ke-enam warga desa Tua itu kedalam penjara, karena dianggap kumpulan para pengeluh yang membangkang kepada putusan para penguasa.

“Perusahaan itu telah melakukan kebohongan public, Menipu Kami dan sekarang mereka melalui tangan yang lain menghukum kami” nyaring terdengar orasi pria berumur  40an tahun itu, mereka memakai kain merah yang dililitkan dikepala, acungkan tangan dalam barisan perlawan mereka. Perlawanan yang bukan mereka dapatkan dari membaca buku, bukan karena mereka mahir bersilat lidah seperti para kumpulan politisi digedung bundar sana. Tapi karena sebuah sebab : mereka ingin diberi ruang yang lebih besar, dilibatkan dalam mengelola desa mereka, sesuatu yang muncul dari pemandangan yang mereka lihat sehari-hari. Bukan rengekan dari anak kecil yang meminta mainan pada orang tuanya, tetapi sebuah ekspresi kerinduan tuk diakui keberadaannya oleh orang tuanya.. sebuah harap anak bangsa untuk sama dihadapan Negara.

Jauh diseberang sana, ribuan Kilometer jaraknya, ditahun 30-an. Perancis dibawah pendudukan jerman. Rakyat perancis melawan rezim Nazi dengan diam, tidak berkata apa-apa dengan tirani yang ada. Sebuah republic yang dibangun dan direbut oleh masyarakat yang menolak membuka dialog dengan kezaliman saat itu. Yang pada akhirnya kediaman mereka berujung kekerasan yang terorganisir dengan rapi, karena seorang Hitler tak pernah lengser karena Dialog.

Hukuman kepada enam (6) anak bangsa itu dijatuhkan,.. mereka bukan tak percaya pada hukum, tapi system rezim ini nyata-nyata telah mengingkari keadilan hukum. Mereka melawan dengan cara yang tidak diharapkan para penguasa ketika keadilan mereka dilecehkan. “Ketika perjuangan jalur hukum telah selesai, mara rakyat akan menempuh jalan yang lain” ungkap seorang kawan, ungkapan ini pasti tercipta ketika masyarakat terlalu lama ditindas. Ketika kumpulan gerutuan rakyat terhadap rezim berubah menjadi tuntutan yang memburu dan harus segera dijawab. Berbaris berpegang tangan erat wujudkan kemarahannya. Pada titik ini para penguasa tak dapat lagi mempertahankan aturan kosong yang berlogat pertapa suci. Pihan yang tersisa saat ini terjadi : segera menjawab tuntutan rakyat atau mati digilas sejarah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun