Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Belajar dari Desa…

4 April 2011   10:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:08 126 0
Perusahaan tambang harus angkat kaki dari desa kami

"Perusahaan tambang harus angkat kaki dari desa kami", kalimat tegas dan jelas yang terucap dari mulut wanita yang terlahir dari rahim kehidupan desa, melli biasanya dia dipanggil masyarakat desanya, sosok yang terlahir 30 tahun silam yang dibesarkan oleh adat istiadat dua desa, ia dilahirkan didesa Pasar Talo dan Membangun keluarganya didesa Penago Baru, kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu.

Harapan warga desa untuk memiliki kesamaan hak dengan masyarakat lainnya dibumi Indonesia, harapan yang dibunuh secara paksa oleh perusahan tambang, "kehidupan kami berubah drastis semenjak perusahaan tambang Famiaterdio Nagara (PTFN) masuk kedaerah kami, debu-debu dan asap pabrik dari aktifitas perusahaan sangat mengganggu kami. Tidak Cuma itu, semenjak 2006 ketika PTFN telah beroperasi, Remis yang biasanya sangat mudah kami temui dan dijadikan salah satu sumber makanan didesa kami hilang bak ditelan bumi, penjajah belanda saja mempunyai sebuah rencana untuk membalas budi terhadap kaum pribumi, tapi perusahaan tambang ini lebih gila dari sang kompeny" jelasnya, dengan raut muka geram menahan marah.

Sosok ini menjadi symbol dari pergerakan kelompok wanita dalam menyelamatkan lingkungan desanya dari ancaman Perusahaan tambang dan pejabat pemerintah rakus uang, sosok yang sangat mudah dikenali dalam aksi demonstrasi tolak tambang, dengan ikat kepala merah bertuliskan KMPL (kelompok masyarakat peduli lingkungan) sambil menggendong anaknya yang masih kecil, berteriak lantang menjelaskan kenapa perusahaan tambang harus angkat kaki dari desanya.

Dimulai dari tahun 2006, Empat tahun lamanya dia berjuang bersama masyarakat desa lainnya menuntut berhentinya aktifitas pertambangan PTFN, halangan rintangan bahkan ancaman pihak perusahaan yang didapati tidak pernah membuat Ia patah arang, mundur kebelakang tak ada dalam kamus hidupnya. Bahkan sogokan uang sebesar 150 juta yang ditawari pihak perusahaan ditolak secara mentah-mentah oleh Ibu dari 3 orang anaknya : Joko (11 Tahun), Atik (9 tahun), Agung (5 Tahun). "Uang tak dapat memberi jaminan bagi masa depan ke 3 anak saya, uang tidak memberi jaminan kepastian hidup putra-putri desa kami, Keselamatan desa Penago Baru dan Desa Rawa indah yang menjadi penopang utama kehidupan masyarakat kami, jadi pergilah kalian perusahaan tambang PTFN dari desa kami" ucapnya berapi-api ketika pihak perusahaan menemui keluarganya.

Perusahaan pertambangan PTFN tidak pernah memberikan kontribusi positif kepada masyarakat, "keberadaan PTFN bisanya Cuma memecah belah persatuan warga desa, tidak ada sumbangsih nyata seperti yang digemborkan oleh pemerintah dalam membantu mensejahterakan warga" katanya lirih kepada media ketika memberi penjelasan tentang keberadaan pertambangan PTFN.

Melli meyakini, bahwa telah terjadi konspirasi antara PTFN dan pemerintah kabupaten dalam melakukan aktifitas pertambangan didesanya, sama sekali tak ada tanggapan dari pemerintah kabupaten, "jangankan berbicara memihak kepentingan masyarakat, mendengarkan keluhan masyarakat saja mereka tak ingin. Pemerintah kabupaten pura buta pura tuli" selorohnya ketika masyarakat menemui pemerintah kabupaten.

Perlahan dan pasti, awan hitam aktifitas pertambangan yang menyelubungi desa Penago Baru dan Rawa Indah mulai terhembus angin, Gerbang keberhasilan perjuangan masyarakat desa berhasil digapai ketika diawal tahun 2010, perusahaan tambang menutup aktifitas pertambangan didesa penago baru, "kekuatan persatuan masyarakat desa berhasil menutup aktifitas pertambangan PTFN, kami berhasil menyelamatkan desa, menyelamatkan anak cucu masa depan kami dari ancaman bahaya tambang" ucapnya bersemangat.

Tak ada yang berubah dari dirinya, ketika pertama kali berjumpa 5 tahun silam. Sosok ibu desa sederhana, yang mampu memelihara kobar semangat perlawanan wanita desa dalam memperjuangkan hak untuk hidup, hak manusia merdeka yang hidup dan cinta kepada desanya.



Kami berjuang mempertahankan hak-hak kami...

Pinggir pantai Seluma, Rawa indah dipenghujung tahun 2008. Sangat cekatan dan terlatih, tangan itu sibuk menurunkan tandan buah sawit dari atas mobil ketimbangan, lalu memisahkan tandan sawit berdasarkan ukuran buah sawit. Tetes keringat jelas terlihat, dan sekali kali diseka dengan pakaian lusuh yang digunakan membalut tubuhnya. Tak ada keluhan yang terlontar dari bibir hitamnya ketika tangannya tertusuk duri, atau kakinya yang tertimpa tandan sawit yang terlepas rengkuhan tangannya. Mak merry, ia dipanggil oleh orang sekitar desanya, ia bersama sang suami tercinta telah dari tahun 2004 Menekuni pekerjaannya sebagai pengumpul buah sawit dari perkebunan warga desanya.

Senyum puas terlihat jelas terlihat ketika aktifitas sehari-harinya telah selesai dikerjakannya, sapa lembut namun melihatkan ketegasannya dalam bersikap keluar dari mulutnya dan mulai membuat coretan dibuku sakunya lalu memberikan lembaran uang kepada penjual buah sawit yang juga tersenyum puas, tak ada paksaan tak ada tekanan dari proses jual beli yang terjadi didesa ini, desa yang dianggap udik bagi sebagian masyarakat, desa yang dianggap tertinggal dan musti dibangunkan oleh sebagian kalangan.

Suasana desa yang sangat jauh dari intrik antar warga, berubah ketika perusahaan tambang PTFN mulai melakukan aktifitas pertambangan, warga terbelah menjadi 2 kubu, warga yang pro dengan PTFN karena dijanjikan akan dipekerjakan, dan kelompok anti tambang, karena menganggap PTFN tidak pernah memberikan efek positif kepada desa secara umunya. "saya menginjakkan pertama kali kedesa rawa indah ini tahun 1994, tak ada yang bisa diandalkan dari desa ini, jauh dari perhatian pemerintah kabupaten" ujar ibu dari 3 anak ini, Merry (20 tahun), Desy (16 Tahun) dan Agus (14 Tahun).

Dengan ketekunan warga, dan sikap prinsip senasib sepenanggungan, karena mayoritas warga didesa Rawa Indah adalah pendatang, denyut kehidupan desa Rawa Indah mulai berdetak, roda perekonomian masyarakat mulai berputar dan memberikan kontribusi positif pada peningkatan ekonomi warga desa. "PT Famiaterdio Nagara mengambil ketentraman kami, perusahaan tambang itu tak pernah bertemu dengan kami dan tiba-tiba saja datang menghancurkan pesisir pantai kami" ungkapnya pertama kali ketika bertemu dengan WALHI Bengkulu. Ikut duduk bercerita dengan kelompok pemuda dan bapak-bapak desa Rawa Indah ketika berdiskusi, sesekali menyela diskusi, berbagi informasi yang diketahuinya, sekaligus memberikan solusi dan pendapatnya mencari jalan penyelesaian permasalahan yang sedang dialami masyarakat desanya.

Bersama sang suami tercinta, Pak Jaya (ketua front selatan yang dibangun masyarakat bersama WALHI Bengkulu), mulai bahu membahu bersama warga lainnya, mendiskusikan tindakan-tindakan nyata yang harus diambil untuk menghentikan proses penambangan PTFN. "Kita harus bersatu, PTFN harus bertanggung jawab kepada warga, yang membangun daerah ini kita bersama-sama bukan mereka. Tolak PTFN dan kelompok-kelompok yang ingin menghancurkan keharmonisan warga kita" sebut maryam berapi-api, dengan raut muka menahan marah. Ya, Maryam namanya, sosok yang dilahirkan di Lumajang, Jawa Timur, 37 tahun silam.

Segala bentuk intimidasi lansung, berupa ancaman, terror kepada keluarganya, atau bahkan janji pemberian sejumlah uang oleh pihak perusahaan untuk menghentikan proses penolakan warga terhadap keberadaan tambang dianggap angin lalu. "itu cara mereka untuk memecah belah warga, mereka menghalalkan semua cara untuk mengganggu konsentrasi kita, sudah harga mati, perusahaan tambang itu harus angkat kaki dari desa ini, tak ada tawar menawar dalam hal ini" sela maryam, ketika mengadakan diskusi desa menyikapi tawaran-tawaran yang diberikan oleh PTFN kepada suami dan pemuda desa Rawa Indah dan Penago baru yang menolak keberadaan tambang.

Memelihara semangat bermodalkan keinginan kuat tetap menjaga desanya, salah satu upaya yang dilakukan maryam adalah aksi turun kejalan, menyuarakan aspirasinya tentang penolakan perusahaan tambang PTFN. Dengan ikat kepala merah, bertuliskan KMPL (kelompok masyarakat peduli lingkungan) dengan tinju tangan kiri menjulang keangkasa "pemerintah kabupaten harus segera menutup tambang, bila bupati takut, kami yang akan menutup paksa aktifitas pertambangan PTFN" orasinya tegas terdengar, membangkitkan semangat warga dalam melawan rezim korup pemerintah kabupaten.

Maryam sosok wanita Desa yang datang dari negeri lain, yang menjadi ikon wanita desa dalam mempertahankan desanya dari ancaman perusahaan tambang penjarah kekayaan alam desa, salah satu sosok wanita desa yang dijadikan symbol keberhasilan perjuangan perempuan. Ya "bila pendatang saja ingin mempertahankan keselamatan desa kita dari perusakan perusahaan tambang PTFN, kenapa kita penduduk asli desa hanya diam berpangku tangan, kita harus tolak aktifitas penghancuran alam desa kita" celetuk warga dalam berbagai kesempatan rembug desa.

"Kami akan tetap mempertahankan desa, memperjuangkan hak kami sebagai warga Negara, keberhasilan kami mengusir aktifitas perusahaan tambang akan menjadi penyemangat bagi kami dalam memperjuangkan hak-hak yang wajib dipenuhi oleh Negara" ungkap maryam, ketika PTFN menutup aktifitas pertambangan di desa Penago Baru dan Rawa indah kabupaten Seluma.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun