Berakhir sudah drama skandal spionase yang melibatkan Ryan Fogle. Agen CIA berusia 29 tahun yang pada pekan lalu tertangkap sedang melakukan percobaan perekrutan terhadap orang Rusia itu pada akhirnya telah meninggalkan Moscow pada hari minggu lalu. Sebagian besar kalangan, khususnya komunitas intelijen, berpendapat bahwa peristiwa ini merupakan kesuksesan bagi intelijen Rusia karena keberhasilannya dalam mendeteksi aksi spionase. Sebaliknya, menjadi pukulan telak bagi intelijen AS, khususnya CIA, hingga berujung pada suatu huge embarrassment dalam bentuk kegagalan intelijen.
Pada tanggal 14 Mei 2013 di Moscow, Rusia, FSB telah berhasil menangkap seseorang yang bernama Ryan Fogle. Ketika diciduk oleh FSB, sosok ini tertangkap basah dalam keadaan sedang menyamar, bahkan menggunakan wig atau rambut palsu dan mempergunakan kompas. Sumber resmi FSB mengatakan bahwa Fogle sedang berusaha untuk melakukan perekrutan (recruitment attempt) terhadap ofisial Rusia, yaitu anggota FSB (Federalnaya Sluzhba Bezopasnosti – Federal Security Service) atau dinas kontra-intelijen Rusia guna dijadikan mata-mata. Dari fakta ini jelaslah dapat dikatakan bahwa sasaran Fogle merupakan high value target, yang baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang dapat mendukung tindakan spionase, khususnya bagi kepentingan CIA.
Lalu, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan “spionase” itu sendiri? Berdasarkan buku Encyclopedia of Espionage, Intelligence & Security oleh Lee Lerner, diketahui bahwa istilah “spionase” berasal dari bahasa perancis, yaitu “espionage” yang berarti “to spy” atau untuk memata-matai. Spionase merupakan penggunaan peran mata-mata atau praktek memata-matai, dengan tujuan untuk memperoleh informasi mengenai rencana, aktivitas, kapabilitas, atau sumber daya dari pihak musuh atau kompetitor. Glenn Hastedt dalam buku Espionage (2003), menjelaskan bahwa spionase merupakan proses pengumpulan informasi secara rahasia yang dimungkinkan untuk dilakukan dengan cara-cara teknis (technical meaning) atau penggunaan agen dengan menginfiltrasi organisasi kunci dengan tujuan memperoleh dokumen atau materi-materi yang bernilai tinggi.
Namun demikian, masih juga banyak kalangan dan bahkan pengamat-pengamat berkualifikasi tinggi yang ternyata masih mengasosiasikan istilah “spionase” dengan Perang Dingin (Cold War). Dikatakan juga bahwa kegiatan spionase saat ini tidaklah lagi dilakukan mengingat Perang Dingin telah usai. Pendapat ini tentunya pada dasarnya keliru dan justru bahkan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman serta misleading informasi. Padahal, selama suatu negara masih eksis dan memiliki tujuan dan strategi nasional dengan diiringi potensi ancaman yang selalu mengikuti arah pencapaian tujuan nasional tersebut, maka akan selalu diperlukan informasi intelijen guna menangkal dan menetralisir berbagai bentuk ancaman terhadap negara. Di sisi lain, tindakan kontra-intelijen juga diperlukan bagi negara untuk mengatasi berbagai ancaman spionase dari pihak luar atau asing (foreign country). Dengan demikian, tidaklah tepat apabila dikatakan bahwa spionase berakhir seiring dengan selesainya Perang Dingin, namun pertarungan di dunia spionase merupakan pertarungan yang tidak pernah berakhir sepanjang negara-negara yang terlibat di dalamnya masih eksis dengan beragam kepentingan nasionalnya, termasuk hubungan AS-Rusia dalam kasus Ryan Fogle.
Kasus terkuaknya spionase yang dilakukan oleh Agen CIA Ryan Fogle menjadi contoh terbaru dan teraktual dalam dunia spionase modern. Dari informasi yang secara resmi dikeluarkan oleh FSB, Ryan Fogle diketahui memiliki cover atau kedok sebagai staff kedutaan yang bekerja sebagai sekretaris ketiga di departemen politik di kedutaan AS di Moscow. Pada saat tertangkap, Ryan Fogle sedang berada dalam penyamaran (in disguise) serta sedang dalam proses untuk merekrut seorang ofisial FSB. Dan hal yang membuat Fogle tidak bisa mengelak adalah surat instruksi yang ditulis secara detail dan spesifik yang tadinya ditujukan untuk calon yang akan direkrut. Dikarenakan Fogle menggunakan cover sebagai staff kedutaan yang dapat dikategorikan sebagai official cover maka agen CIA tersebut tidaklah dapat dikenakan hukum di Rusia sehingga harus dinyatakan sebagai Persona Non Grata. Dengan kata lain, atas terdeteksinya tindakan spionase yang telah diketahui otoritas Rusia, maka Fogle harus meninggalkan Rusia sesegera mungkin.
Dalam hubungan AS-Rusia, terungkapnya aksi Fogle seolah mengingatkan akan terungkapnya tindakan spionase pada tahun 2010 dari agen-agen Rusia yang telah lama bertempat tinggal di AS yang berjumlah 10 (sepuluh) orang. Adapun kesepuluh orang tersebut berstatus sleeper agent, dimana perannya sebagai mata-mata belumlah aktif sepanjang belum ada perintah dari pusat intelijen, dalam hal ini Moscow untuk menjalankan peran spionase masing-masing. Otoritas AS, dalam hal ini FBI (Federal Bureau of Investigation) telah berhasil melacak keberadaan kesepuluh agen Rusia tersebut beserta bukti-bukti yang menguatkan keterlibatan mereka dengan intelijen rusia. Berbeda dengan kasus Ryan Fogle yang memiliki samaran sebagai staff diplomatik, kesepuluh agen Rusia tersebut tidaklah memiliki kekebalan hukum karena menggunakan non official cover (NOC) atau samaran tidak resmi (dengan menggunakan identitas palsu dan membaur dengan masyarakat AS dalam jangka waktu yang teramat lama, red) sehingga dapat dikenakan proses hukum di AS. Terlebih lagi, FBI berada di bawah departemen kehakiman AS (US Department of Justice) sehingga dibawanya kasus spionase Rusia tersebut ke meja hukum menjadi prioritas, sekaligus menjadi efek jera bagi negara yang menginisisasi pengiriman agen-agen tersebut. Namun demikian, langkah deportasi terhadap kesepuluh agen Rusia yang tertangkap tersebut pada akhirnya dilakukan setelah tercapainya kesepakatan antara pihak intelijen AS dengan Rusia untuk saling menukarkan sejumlah mata-mata. AS menyanggupi permintaan tersebut dengan keinginan untuk mendapatkan kembali 4 (empat) mata-matanya yang telah lama ditahan di Rusia. Pada akhirnya dipertukarkanlah kesepuluh mata-mata Rusia dengan keempat mata-mata AS di bandara Vienna, Austria yang dianggap sebagai proses pertukaran mata-mata dengan jumlah yang terbesar sejak berakhirnya era Perang Dingin. Dalam kasus ini, intelijen AS mengalami keberhasilan, sedangkan Rusia di pihak lain seolah dipermalukan di ranah internasional.
Pada kasus terkuaknya tindakan Fogle tersebut, keadaan justru berbalik. Rusia, dalam hal ini FSB menjadi pihak yang seolah di atas angin, sedangkan AS dalam hal ini CIA menjadi pihak yang sangat dipermalukan. Hal ini juga diperkuat dengan fakta bahwa pada tahun 2012 lalu, otoritas FSB juga sebenarnya telah menangkap agen CIA yang diketahui juga sedang melakukan percobaan perekrutan mata-mata, yaitu Benjamin Dillon, seorang sekretaris ketiga dari Kedutaan Besar AS di Moscow, namun oleh FSB, hal tersebut sengaja tidak dipublikasikan secara luas. Pada akhirnya Dillon dideportasi oleh otoritas Rusia. Rangkaian tindakan FSB tersebut sebatas ditujukan sebagai peringatan keras bagi intelijen AS bahwa demi tercapainya kerjasama intelijen AS-Rusia yang lebih baik, tindakan spionase ini sangatlah kontra-produktif. Setidaknya itulah pernyataan resmi dari FSB, walaupun pada dasarnya dalam dunia intelijen tidak pernah dikenal istilah “friendly intelligence services” sebagaimana diungkapkan juga oleh mantan CIA, Ray McGovern dalam wawancara di Russian Today.
Apapun konsekuensi yang telah menyertainya, tindakan spionase Ryan Fogle ini dapat menjadi cerminan teraktual bahwa tindakan spionase sebagai salah satu aktivitas intelijen akan masih terus berlangsung seiring dengan dinamika kepentingan nasional suatu negara (national interest), pertarungan geopolitik, serta ancaman-ancaman bagi keamanan nasional terhadap negara-negara yang terlibat, khususnya bagi AS dan Rusia. Terlepas dari dampak politik ataupun gangguan stabilitas hubungan diplomatik antar AS-Rusia, dan juga disamping kasus-kasus spionase antara AS-Rusia lainnya yang selama ini telah terjadi, terungkapnya tindakan Ryan Fogle seolah juga menjadi balasan (retaliation) dari intelijen Rusia terhadap AS atas terungkapnya kesepuluh mata-mata Rusia di AS pada 2010 lalu. Dan benarlah apa yang dikatakan oleh analis senior intelijen Inggris, Glenmore Trenear – Harvey, bahwa “spies are very effective until they get discovered, then there’s huge embarrassement”, dalam hal ini America’s shame and Moscow’s gain. Dunia spionase adalah pertempuran yang tidak pernah berakhir (neverending battle).