Kalian berdua kadang terlalu bodoh. Kadang aku suka bertanya, teman-temanku mengapa sebodoh ini? Tapi karena itulah, aku sayang... Aku sayang kalian. (Kadang menjadi bodoh itu menyenangkan, ketidaktahuan yang menenangkan. Entah bagaimana aku tahu, sebodoh apapun aku, masih ada yang akan menyayangiku. Hari itu dia, kami, menyadari bahwa sayang tidak menuntut standard. Ketidaksempurnaan ternyata membuat hidup lebih ringan. Dia jatuh cinta pada relasi virtual kasat mata.)
Mungkin aku yang paling abu-abu. Kita tidak pernah bertemu. Tapi harus percaya, sekalipun tidak pernah bertemu, aku sayang. Sayang sekali. (Warnanya memang abu-abu. Hitam tidak putih tidak. Tapi warna tidak pernah jadi masalah. Bagaimanapun pelangi tercatat berupa tujuh, namun ada ribuan bias warna tidak merata di dalamnya.)
Kamu adalah sosok ibu. Bukan lagi kakak. Kamu mengajari banyak hal. Aku belajar banyak hal. Kamu mengatur keabsurdanmu menjadi sempurna. (Dan dia naif. Naif yang membuat iri. Jendelanya bersih. Butuh tuntunan seorang guru, eh, bukan. Bukan guru. Pembimbing. Menuntun supaya tidak jatuh di lubang yang sama. Karena dia termuda, menjadi kesayangan di antara bertiga, dia paling bercahaya.)
Kalau kamu. Kamu terlalu bodoh. Sangat bodoh terkadang. Tapi kamu pintar berlagak jenius. Lalu bodohmu hilang begitu saja. (Dia menikmati kekonyolan berlabel bego. Dia menikmati kegilaan berlabel bodoh. Dia harusnya belajar, tidak perlu menjadi terbaik untuk menunjukan kejeniusan.)
Aku ambil tissue, ingin menangis rasanya. Ini haru. (Aku ambil kain pel... Aku beri pembersihnya, dan kamu melengkapkan dengan ember. Kalau mengepel, kamu paling bawel, kamu paling
hebring, aku pasti bergaya main
iceskating.) ***
:: Malam itu ada bidadari meluncur di atas es tipis. Terus menembus malam. Mungkin dengan kain pel, mungkin dengan sayap ajaib. Dia belum kembali. Sampai saat ini. :: Di atas dunia, suatu hari bulan July 2010
KEMBALI KE ARTIKEL