Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Bertigadipa : Legatoo, Stacato, Cressendo

12 Juni 2010   17:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:35 157 0
Satu jam sebelum..


Aku yang paling pertama datang tadi tapi selalu meminta giliran terakhir untuk make-up. Ah, kenapa selalu harus menangis setiap eye-liner bawah di goreskan ke mataku? Butuh 10 menit untuk membuatnya kering. Sudah jangan dimarahi, begini adanya. Partitur! Oh bukan, yang terpenting puisi! Sekarang bukan lagi Mozart atau Beethoven, tapi transformasi karya puisi Sapardi Djoko Darmono, Goenawan Mohammad dan komposer Amir Pasaribu. Oh Tuhan, jangan salah, tolong jangan ada yang salah. Tidak bisa latihan lagi, cukup tadi malam aku ingat-ingat yang tersulit, “D minor 7 chord, terdiri dari D, F, A lalu C lalu G, B, D dan F”. Mengingat lagi.. lagi.. lagi..

...

Make-up sudah okeh, tapi sepertinya bagian mata masih kurang menyala. Sepatu yang sekarang rasanya kurang nyaman. Aku putuskan mengganti dengan sepatu yang kedua yang haknya lebih rendah. Nah, ini lebih nyaman. Semoga kakiku tidak kram seperti konser sebelumnya. Make up OK, baju OK, sepatu OK. Sempurna! ya ya, seperti kata Ibu, penampilan prima akan menambah rasa percaya diri. Okeh. Sip. Semua okeh. Vokalisasi dulu.

...

Aku masih berlari-lari di koridor panjang gedung pertunjukan ini. Bangsat, harusnya tadi malam tidak minum kopi! Susah tidur dan akhirnya kesiangan. Masuk ke ruang ganti para pemain. Nah, si Amel tukang make-up itu sudah menungguku tidak sabar. Sambil ngomel-ngomel dia meratakan bedak di wajahku. Amel seperti biasa memaksa memakaikan perona pipi, aku beranjak dari kursi make-up dan menghindar. Gila! Aku belum mau disangka banci. Aku berganti baju dengan cepat. Jas, ah tidak usahlah. Kemeja hitam dengan kancing terbuka dua seperti biasa, itu ciri khasku. Sudah, sepatu juga sudah oke. Tidak ada masalah.

...

Tiga puluh menit sebelum..

Sudah aku pakai baju putihnya. Anggun, cocok untuk duduk di kiri panggung. Cermin cermin! Ya cukup, sempurna! Partitur partitur! Komposisi Preludio, Angel, dan Rondo. Coba sekali lagi, duduk sebentar dan aku mainkan jemari untuk lagu pembuka The Child in The Silent Morning. Imajinasi yang selalu sama hadir di setiap tarian jemariku tentang lagu ini. Lalu buyar saat seseorang memanggil meminta aku tengok panggung. Mengapa sang piano gagah sekali? Lalu penonton mulai berdatangan. Cahaya panggung terlihat sudah mulai menerang. “Allahumma Shali Ala Muhammad Wa’ala Ali Muhammad”, ya itu yang bisa aku ucapkan saat tangan ini mulai gemetar. .

...

Vokalisasi beres. Aku disuruh mengecek panggung sebentar. Tata cahaya panggung yang katanya sedikit diubah itu ternyata tidak terlalu berpengaruh banyak. Aku segera kembali ke backstage meregangkan kaki. Nada-nada tinggi tadi kurang mantap dan goyang. Tidak pitch. Tidak seperti latihan kemarin. Aku buka kembali partitur untuk memastikan nada yang tadi dibunyikan benar. Dan oh iya, aku suka lupa lirik bait terakhir. Tampaknya pintu sudah dibuka dan penonton mulai masuk. Tiba-tiba jantung berdetak makin kencang. Gugup. Gugup. Gugup maksimal.

...

Aku mengintip dari belakang tirai. Undangan sudah berdatangan. Siapa itu? Ah! Itu Ibuku!! Mati aku. Mendadak isi perutku naik semua keatas. Aku mual. Aku bisa menghadapi jutaan penonton, sungguh. Tapi Ibuku? Tidak tidak, ini malapetaka. Kenapa dia tidak bilang-bilang mau datang? Ah ya, kalau dia bilang aku pasti akan melarang. Tanganku gemetar. Aku melakukan pemanasan jari dengan biolaku. Gilaaaa, kaku sekali rasanya. Keringat di wajahku mulai merusak make-up hasil karya Amel, masa bodolah. Gila, efek Ibuku lebih dahsyat dari apapun. Jungkir balik aku dibuatnya.

...

Lima belas menit sebelum..

Ini mengapa aku selalu datang lebih dulu. Dua jam lalu aku duduk di kursi penonton itu, berputar di sekitarnya, lalu naik ke atas panggung untuk sekedar menguasai tempat. Karena ini yang akan selalu terjadi, gugup ketika jam menunjukan segitiga siku-siku sebelum akhirnya tirai terbuka. Dua air mineral sudah habis. Shalawat pun tak pernah henti aku lantunkan karena itu satu-satunya obat penenang. Wanita yang ada di dekatku tidak lagi mengingatkan soal partitur, tapi soal rasa dan jiwa. Katanya nanti aku duduk disana, berkencan dengan si hitam nan gagah tanpa kertas partitur sama sekali. Penonton pun seperti persetan dengan itu, toh mereka hanya ingin telinga membawa damai ke hati mereka. Ibu tak pernah gagal memberi jiwa dalam setiap nada. Akupun harus begitu, tak boleh gagal menyairkan puisi dalam nada. Ibu memang tak pernah gagal menjadi guru terbaikku.

...

Aku berkaca sebentar dan merasa janggal dengan bagian dadaku. Sepertinya terlalu "jatuh". Aku memanggil Ibu meminta pendapatnya. Akhirnya tali braku dikencangkan sehingga dadaku terlihat lebih bervolume. Aku berkaca lagi dan mengambil nafas mencoba menyanyikan bait pertama. Jantungku berdebar sangat kencang. Lirik baris pertama tiba-tiba hilang begitu saja. Dan aku baru ingat. Aji! Apakah Aji datang? Kemarin dia bilang akan datang. Aku segera membongkar tas ibu mencari telpon genggam. Tidak ada pesan atau panggilan dari Aji. Mungkin dia tidak menonton. Aku sedikit gamang.

...

Sudah, aku harus tenang. Tidak ada yang boleh mengacaukan malam ini. Malam perdana aku kembali memegang biola dengan jariku, setelah 2 tahun meninggalkannya. Aku buka buku partitur di dalam tas, tidak ada masalah, sebagian besar sudah kuhafal luar kepala. Kubersihkan biolaku dengan selembar kain putih tipis, mengeratkan getah di keseluruhan panjang bow. Jangan sampai aku harus melakukan itu di atas panggung. Mulutku komat-kamit, membaca shalawat. Biasanya selalu berhasil menenangkan. Aku menarik nafas panjang, malam ini akan menjadi sejarah, bangkitnya seorang aku. Akan kubuat Ibuku bangga.

...

Sesaat sebelum..

Jemari ini yang nanti menari, bukan aku. Aku raih jemari tangan wanita idolaku, menggenggamnya erat, kencang, merundukan kepala sekedar memohon restunya. Lalu dia mengecup keningku mengingatkan lagi bahwa aku membaca puisi dengan nada, maka harus ada jiwa yang menari bersama melodi. Aku pun beranjak kesisi panggung dengan untaian panjang gaun putihku. Aku lihat pasanganku yang bersandang gagah di pusat cahaya. Aku hampiri dia dengan iringan tepuk tangan, lalu dalam hati aku berdoa “Tuhan.. Biarkan malam ini Ibuku mendapatkan hadiah terindah di hari ulang tahunnya. Biarkan puisi dalam nada ini menyanyikan rasa terimakasihku untuk setiap kasih sayangnya. Bismillahirahmannirahim..” Dan jariku pun menari untuk Ibunda.

...

OK. Cukup. Aku harus bisa! Ini konser perdana. Aku bekerja keras untuk bisa sampai ke tahap ini. Persetan dengan baju yang membuat dadaku aneh. Atau sepatu yang membuat kram. Atau Aji yang mungkin tidak akan datang. Ini adalah malamku. Orang akan tahu suaraku. Aku akan tegap melangkah ke panggung. Memberikan semua yang terbaik. Membius telinga yang telah membayar ratusan ribu untuk harmonisasi pita suara ini. Akan aku buat mereka tidak menyesal. Gamang, gugup, cepat pergi! Ini waktunya. Aku telah bekerja keras untuk semua ini. Standing applause adalah milikku. Sambil membuat tanda salib, aku bangkit berdiri. Lihatlah! Ketika namaku disebut, panggung akan jadi milikku.

...

Aku melihat diriku sekali lagi di kaca. Kemeja hitam, celana hitam dan sepatu fantofel hitam mengkilat. Kulihat wajahku di sana, sudah tidak ada takut seperti beberapa menit sebelumnya. Kukeraskan rahangku, kuatur ekspresi wajah agar terlihat meyakinkan. Sempurna. Aku melihat biola di tanganku, biola kesayanganku ini, dan bownya yang terbuat dari ekor kuda, meminta kerja sama yang baik dari mereka. Kemudian bersama para pengisi acara lainnya kami berdoa bersama. Semoga pertunjukan kali ini bisa berjalan sesuai rencana tanpa kesalahan. Malam ini harus sempurna. Aku naik ke atas panggung, Bismillah.. Tirai itu sudah dibuka.

----------------------------------------

Kami bertiga disana, di atas panggung besar dan mewah. Tirai sedang membuka, seorang laki-laki berteriak melalui mikenya..

“Hadirin sekalian, mari kita sambut.. BERTIGADIPA!”

----------------------------------------

Dan Zeina menulis seperti air, mengalir begitu tenang : Legatoo

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun