Gunung Muria, pada dasarnya merupakan pegunungan yang tersusun atas beberapa gunung dan memiliki beberapa puncak, yaitu Argo Wiloso, Abiyoso, Argo Jembangan dan puncak tertingginya adalah puncak Songolikur. Gunung Muria ini berketinggian 1602 m di atas permukaan air laut dan terletak di antara ketiga kabupaten: bagian selatan dan baratnya masuk ke dalam Kabupaten Kudus, bagian utara dan baratnya masuk Kabupaten Jepara. Sedangkan bagian timurnya termasuk dalam Kabupaten Pati, yaitu Kecamatan Gembong dan Tlogowungu, dan sebagian lereng utaranya masuk kecamatan Cluwak dan Gunungwungkal.
Zaman dahulu, entah abad ke berapa, Gunung Muria diperkirakan berada pada pulau yang terpisah dari Pulau Jawa. Diperkirakan, daerah yang sekarang masuk wilayah Batangan, Pucakwangi Winong dan sekitarnya, serta sebagian tepi Semarang dulunya adalah selat. Seiring waktu berjalan, selat ini mengalami pengangkatan menjadi daratan. Hmm, mungkin inilah yang menjelaskan mengapa air tanah di beberapa daerah Pati tersebut di atas berasa agak asin ya..
Lebih jauh menurut Bung Wiki, gunung ini terakhir meletus pada 160 sebelum Masehi, lebih dari 300 tahun yang lalu. Jadi bolehlah dibilang bahwa pegunungan ini sudah tidak aktif lagi.
Seperti umumnya gunung-gunung di Indonesia, maka gunung Muria juga menjadi objek pendakian para remaja pecinta alam. Perjalanan naik GM dari Pati biasanya dimulai dari daerah Gembong atau daerah Jolong. Biasanya ketika berada di daerah ini, rasa dingin sudah bisa dirasakan. Namun saat terakhir aku ke sana, suhunya tidak terlalu berbeda dengan suhu di kota Pati yang dataran rendah. Udara dingin baru terasa jika anginnya berhembus.
Menurut penuturan warga yang kutemui, hal ini terjadi sejak kanopi di lereng Muria makin terbuka. Mulai tahun 1998, lereng Muria ini mengalami penjarahan massif, sama seperti daerah kehutanan lainnya. **Jadi teringat kegiatan survivalku di lereng Muria waktu SMA yang hampir batal karena diadakan bersamaan dengan terjadinya perambahan kopi PTPN. Waktu itu, keadaan terasa mencekam. Di perjalanan kadang kita temui aparat keamanan yang bersiaga dengan senjata.
Penggundulan hutan ini juga jelas terlihat dari kota ketika kemarau tiba. Gunung Muria yang biasanya biru, kini tampak dihiasi bercak coklat dimana-mana (hal serupa sebenarnya juga terlihat di gunung Patiayam). Hutan jati yang dulu kutemui dalam perjalanan Pati-Jepara sekarang juga musnah. Digantikan tanaman reboisasi yang baru setinggi 2-3 meter.
Dari yang kubaca di sini, luas hutan keseluruhan Gunung Muria mencapai 69.812,08 ha, terdiri dari wilayah Kabupaten Jepara 20.096, 51 ha, kemudian 47.338 ha masuk wilayah Kabupaten Pati dan 2.377,57 ha berada dalam wilayah Kabupaten Kudus. Dari luas itu, yang telah mengalami kerusakan sebanyak 38.308 ha, detailnya meliputi: 13.252 ha hutan yang berada dalam kabupaten Jepara, 23.807 ha berada di kawasan Pati dan 1.249 ha berada di kabupaten kudus. Hiks, yang di Pati paling luas kerusakannya bow.. :(
Salah seorang penduduk yang bermukim di sekitar lereng menceritakan bahwa tak hanya perambahan kopi dan kayu yang sering terjadi di lereng Muria ini, namun juga perambahan pakis. Hal ini terjadi karena booming tanaman anthurium yang memerlukan pakis sebagai media tanam. Usaha ini cukup menggiurkan, tidak memerlukan modal besar dan tersedia melimpah di alam. Menurut tuturan, ada seorang pengepul pakis yang berhasil membeli motor thunder dari usaha ini. Hadowh, lagi-lagi lingkungan jadi korban dari desakan ekonomi.
Efek penggundulan lereng Muria tak hanya dirasakan dari kenaikan suhunya saja. Namun juga terlihat dari debit air yang ada di dua waduk yang berada di lereng Muria, yaitu Waduk Seloromo Gembong dan Waduk Gunung Rowo. Menurut Om Wiki, waduk Gunung Rowo yang telah dibangun Belanda sejak 1828 dan memiliki luas +320 Ha ini harusnya mampu menampung air sekitar 5,5 juta meter kubik, dan menyediakan suplai air bagi Waduk Seloromo (waduk yang dibangun 2 tahun setelah pembangunan Gunung Rowo). Kedua waduk ini diharapkan mampu mengairi sawah seluas sekitar 10.000 hektar, yang tersebar di wilayah Kecamatan Margorejo, Gembong, Wedarijaksa, Juwana, Tlogowungu, dan Pati. Namun kini, dua waduk yang harusnya terisi penuh airnya, tampak semakin merana. Kering kerontang. Bahkan sebagian dasarnya kini jadi padang penggembalaan sapi. Bisa dipastikan pendangkalan ini juga akan mempengaruhi kegiatan pertanian secara signifikan.