Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

SAMU: Saung Angklung Mang Udjo

11 Desember 2009   07:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:59 1911 0
Samu adalah kepanjangan dari Saung Mang Udjo. Saung  yang terletak di Jl. Padasuka 118, Bandung  ini didirikan sejak 1966 oleh Udjo Ngalagena dan istrinya Uum Sumiyati sebagai sanggar seni , tempat pertunjukan, tempat pendidikan budaya sekaligus sebagai objek wisata andalan Jawa Barat. Sesuai amanat Daeng Soetikna untuk memperkenalkan angklung ke seluruh dunia maka angklung merupakan produk budaya yang dikembangkan oleh saung ini. Saung ini dibuka untuk pengunjung mulai dari jam 15.30 hingga 17.30 wib, dengan tiket masuk sebesar Rp 50.000,-. Setelah membayar tiket, kita akan mendapat brosur/katalog yang menjelaskan pertunjukan yang akan kita saksikan, seuntai kalung dengan liontin angklung, dan sebotol soft drink. Sore itu, saat kami bertiga masuk, pertunjukan sudah setengah dimulai. Saat itu, wayang golek sedang dipertunjukkan. Pertunjukan ini merupakan sajian pembuka. Di tengah pertunjukan, selubung meja di depan dalang pun dibuka untuk menjelaskan bagaimanakah caranya dalang memainkan wayangnya. Wayang ini pun dimainkan dengan iringan angklung dan beberapa alat tambahan seperti kendang, dst. Setelah itu, mc, seorang anak muda yang menggunakan celana batik dan selendang batik memperkenalkan pertunjukan berikutnya yang disebut Arumba, alunan serumpun bambu. Arumba ini digunakan sebagai helaran untuk mengiringi acara semacam khitanan (sisingaan) dan tarian kuda (kalo di Jawa disebut jathilan). MC tersebut membawakan acara dengan bahasa Inggris, mengingat tampak beberapa wisatawan asing yang hadir di sore itu. Di tangan wisatawan asing tersebut, tampak tergenggam katalog dalam bahasa Inggris. Hal ini menunjukkan bahwa saung ini dikelola cukup profesional sebagai objek wisata. Helaran disajikan untuk mengiringi pertunjukan sisingaan, yaitu pertunjukan di mana anak yang khitan dinaikkan dalam patung singa untuk kemudian diarak keliling kampung. Pertunjukan ini dikuti banyak anak dan remaja. Mereka menari dan berkeliling panggung dengan iringan angklung yang bernada gembira. [caption id="attachment_36519" align="alignleft" width="300" caption="Sisingaan dengan iringan helaran"][/caption] Tampak banyak anak kecil yang diikutsertakan dalam pertunjukan ini. Sesuai dengan umurnya, maka mereka  pun bergerak seenaknya, di luar pakem  saat latihan. Khas anak-anak memang dan ini justru menarik simpati dari pengunjung. Ada kalanya mereka justru maju saat teman yang lain mundur, ada kalanya mereka dengan santainya menarik dan melorotkan  rok batiknya, ada kalanya mereka bahkan berantem dengan sesamanya. Khas anak-anak. Meski demikian, hal ini tidak merusak pertunjukan justru malah mengesankan kealamiannya. Tak jarang kan kita temui dalam berbagai pertunjukan, anak-anak harus berlaku dewasa, harus menampilkan kesempurnaan dalam penampilannya. Namun hal ini tak tercermin dalam pertunjukan sore itu. Anak -anak tetap menampilkan mereka dalam diri sesungguhnya, sesuai usianya. Setelah sesi helaran tersebut, disusul dengan pertunjukan tari topeng. Tari topeng adalah tari khas Cirebon. Tari ini dibawakan oleh dua remaja, yang kebetulan adalah kembar. Satu yang unik dari tarian ini adalah topeng tidak dilekatkan dengan tali namun digigit dengan mulut. Hampir sama dengan reog Ponorogo. Berikutnya adalah tari Jaipong dengan iringan angklung. Jaipongan adalah tarian khas Sunda. Selama ini jaipong yang kita tahu adalah jaipong  dengan iringan gamelan. Namun di SAMU,  jaipongan ini bisa juga diiringi angklung. Tari ini dibawakan oleh 3 remaja putri. [caption id="attachment_36524" align="alignleft" width="225" caption="Belajar angklung dari Mr.Udjo Jr. Gambar dok.pribadi"][/caption] Setelah pertunjukan tersebut, tibalah saat belajar angklung bersama, dengan instruktur sang pemilik saung, yaitu Mang Udjo jr. Muncullah beberapa anak membawa angklung untuk dibagikan kepada para penonton. Masing-masing angklung bernada berbeda, dari do hingga do tinggi. dengan demikian, penonton terbagi ke dalam beberapa kelompok berdasarkan tangga nada. Kebetulan aku dan ketiga temanku mendapat angklung bernada la. Tidak beruntung, karena dalam berbagai komposisi yang dimainkan, tidak banyak nada la. Di awal, Mang Udjo jr memberikan tips bagaimana cara memegang dan menggetarkan angklungnya. Kemudian, dia memberikan kode kepada masing-masing kelompok, kapan angklung nada do harus digerakkan, kapan re harus digetarkan, dan demikian seterusnya. Setelah mencoba beberapa saat, mulailah kami memainkan beberapa komposisi, dengan panduan kode tangan dari Mang Udjo Jr. Maka, mengalunkan lagu burung kakak tua, I have a dream dan seterusnya dari saung itu. Dan sensasi yang menyenangkan bagi kami, para penonton, yang sebagian besar belum pernah memegang angklung apalagi memainkannya. Benar-benar pengalaman yang menyenangkan ! Selanjutnya, sesi terakhir, penutupan diisi dengan menari bersama. Sayangnya, dan sayangnya, penonton yang diajak untuk menari bersama dengan anak-anak tersebut dominan wisatawan asing, sementara yang domestik seperti kami ini dilewatkan.  Hiks, padahal kami sudah siap lho, mengenang kembali masa anak-anak, menari-nari dengan iringan angklung.. :-) Setelah itu, kami pun beranjak ke toko souvenir yang ada di bagian depan saung. Di dalamnya, menjual berbagai macam souvenir, mulai dari kaos, blangkon, kain batik, miniatur wayang golek dan tidak lupa juga angklung ! Setelah puas mengubek-ubek souvenir, kami pun beranjak pulang. Tak lupa pula mengambil foto di luar saung. Menjelang magrib, kami berjalan ke pertigaan Padasuka untuk mencari angkot, meneruskan perjalanan untuk menikmati senja di gedung sate. What a nice visit.. Note: Satu masukan saya untuk pengelola toko souvenir SAMU, bagaimana jika pembungkus plastik untuk souvenirnya diganti dengan kantong kertas. Sekaligus untuk membangun citra green juga kan.. selaras dengan produk budaya yang mereka angkat, angklung, yang juga berasal dari alam :-)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun