Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Pilihan

Jilboober: Fenomena Penyeragaman?

14 Agustus 2014   15:41 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:34 276 4
Fenomena jilboob atau pemakaian Jilbab yang dipadu dengan pakaian seksi marak dibahas di media, terutama media online. Sebenarnya fenomena ini bukanlah fenomena baru. Jilbab yang dikombinasikan dengan pakaian seksi ini muncul bersamaan dengan semakin maraknya tren pakaian ketat sekitar permulaan tahun 2000an(1). Berbagai tanggapan bermunculan mulai dari yang permisif sampai yang menolaknya dengan tegas.

Artikel ini tidak akan membahas persoalan apakah pemakaian jilbab yang dianggap sebagai simbol relijius boleh dipadukan dengan pakaian ketat yang dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap nilai-nilai relijius. Juga tidak akan dibahas di artikel ini kontroversi seputar pemakaian jilbab(2) karena sudah banyak artikel yang membahasnya. Artikel ini sebaiknya dikategorikan sebagai uraian singkat mengenai hipotesis awal:Jilboobers adalah sebuah fenomena penyeragaman.

Penyeragaman disini lebih diartikan sebagai proses "levelling" yang disampaikan oleh Soren Kierkeegard yaitu sebuah proses sosial dimana individualitas mengalami tekanan pada titik dimana keunikkan individu menjadi kabur dan menghilangkan kebermaknaan dalam eksistensi individu.(3) Penyeragaman disini memiliki kaitan erat dengan budaya masa (mass culture) yang memaksa individu untuk menyesuaikan diri dan mengalah pada kekuatan yang mendominasi.

Tren yang muncul dalam masyarakat adalah wujud nyata pengaruh kekuatan sosial yang mendominasi atau sedang dalam proses mendominasi. Pada tahun 1990an penggunaan pakaian ketat mulai dijumpai tetapi masih belum bisa dikatakan tren. Setelah masuk tahun 2000an, pakaian ketat bisa dikatakan mulai menjadi tren di kalangan remaja dan populasi penggunanya semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Proses sosial ini tentu memiliki kekuatan pendorong dibaliknya dan kekuatan sosial inilah yang akan dibahas dan ditelusuri lebih jauh

Setelah tumbangnya rezim Orba dan dimulainya era reformasi, kebebasan informasi menjadi ciri dari jaman baru yang dinikmati oleh bangsa Indonesia. Seiring dengan euforia kebebasan informasi, bermuncullah media-media informasi elektronik. Sebagai akibatnya informasi bisa bergerak cepat dan mencakup wilayah yang jauh lebih luas. Informasi yang ditampilkan juga semakin beragam. Kebebasan informasi ini tentu saja menjadi lahan subur bagi tumbuhnya budaya konsumtif sehingga permintaan akan produk semakin meningkat.

Ketika permintaan meningkat suplai harus diimbangi. Tidak membutuhkan waktu lama untuk membuat masyarakat menyadari apa yang dulunya lahan persawahan berubah menjadi deretan pabrik-pabrik manufaktur. Senyuman menghiasi wajah-wajah yang berangkat bekerja pagi-pagi ke dan pulang di sore hari   dari pusat-pusat industri tersebut. Jalan-jalan menuju ke pusat-pusat industri tersebut menjadi penuh sesak pada saat jam kerja mulai dan berakhir. Jejeran-jejeran dan kerumunan-kerumunan sesak menyampaikan pesan kebahagiaan, bahagia karena apa yang mereka butuhkan bisa terpenuhi. Selain itu imajinasi kepemilikan pun semakin menyenangkan dengan munculnnya lembaga-lembaga keuangan yang memudahkan mewujudkan imajinasi-imajinasi itu.

Tetapi tidak membutuhkan waktu  lama juga untuk membuat masyarakat mulai berpikir, "Ada yang salah?" Pendidikan menjadi semakin praktis pragmatis. Budaya tradisional ditinggalkan. Batasan etika menjadi semakin kabur. Dan kekaburan etika ini menjadi bahan bakar untuk eskalasi dan peningkatan populasi penggunaan pakaian ketat dan seksi yang penggunaanya tidak hanya terbatas pada wilayah-wilayah yang menjadi simbol-simbol kapitalisme tetapi sudah merambah ke wilayah-wilayah  yang seharusnya menjadi benteng terakhir dari serangan kapitalisme, wilayah agama.

Untuk berkuasa industrialis kapitalistik membutuhkan penyeragaman pola pikir publik yang didefinisikan sebagai pola pikir yang tidak membahayakan eksistensi mereka atau justru menjadi lahan subur bagi eksistensi mereka. Tetapi mereka tidak perlu bersusah payah melakukan kampanye untuk mewujudkan penyeragaman ini karena surga yang ditawarkan oleh sisten kapitalisme dengan sendirinya akan memunculkan penyeragaman itu sendiri karena hilangnya kemampuan individu untuk membentuk identitas.

Kehilangan kemampuan membentuk identitas ini muncul dari peradaban palsu yang dibangun oleh sistem kapitalisme. Individu-individu dipaksa untuk beradab ketika berada di tempat-tempat kerja tetapi sistem penghargaan yang diberlakukan di tempat-tempat kerja tidak mencerminkan peradaban dan kemanusiaan. Para pelajar diajarkan untuk beradab di sekolah tetapi sistem pendidikan memandang mereka tidak lebih dari sumber daya yang dipersiapkan untuk sistem-sistem raksasa produksi. Kondisi ini memunculkan tekanan-tekanan penyeragaman yang membutuhkan pelampiasan.

Peradaban palsu yang membutuhkan pelampiasan inilah yang menjauhkan diri individu dari esensi kemanusiaannya. Kesopanan dan tata aturan dalam berpakaian akhirnya dikalahkan oleh kemunculan sifat asli manusia, bukan esensi kemanusiaan manusia, sebagai wujud dari pelampiasan terhadap sistem. Dan dari konteks pelampiasan inilah fenomena jilboober muncul sebagai upaya individu untuk melakukan pelampiasan sekaligus menjaga keseimbangan spiritual dalam proses tekanan penyeragaman dari budaya palsu. Keseimbangan yang ironisnya memakai simbol relijius. Dan dari kontradiksi inilah persoalan seputar jilboober bermunculan.

Para penjaga nilai-nilai relijius pun sadar akan bahaya penyeragaman ini sebagai wujud dari budaya palsu. Tetapi  serangan ini berjalan dengan cepat dan proses penyeragaman yang muncul tidak membutuhkan kampanye intensif aktif karena penyeragaman muncul dengan sendirinya. Para penjaga ini sadar bahwa mereka harus melakukan serangan balik dengan melakukan penyeragaman juga. Sehingga kemudian muncullah lawan dari penyeragaman diatas dengan wujud kampanye kode berpakaian relijius yang sesuai dengan apa yang diajarkan. Karena efek penyeragaman diatas sangat kuat maka kata-kata wajib perlu dimasukkan dalam kampanye perlawanan. Wajib dan mutlak. Proses internalisasi diri dan kesadaran sebagai wujud dari proses penafsiran yang dialektis membutuhkan waktu lama dan tidak efisien. Mulailah bermunculan gerai-gerai yang menjual pakaian-pakaian yang sesuai dengan kode berpakaian relijius. Mulailah bermunculan mode-mode yang semakin beragam dengan alasan daya tarik. Mulailah bermunculan kategori-kategori kualitas dan pricing. Mulailah bermunculan fashion show untuk kode berpakaian seperti ini. Dan ironisnya kampanye penyeragaman relijius ini tidak disadari masuk dalam perangkap kapitalisme.

Keterangan:
1) Pengamatan pribadi bukan hasil data statistik.
2) The Quran admonishes Muslim women to dress modestly and cover their breasts and genitals. The Quran has no requirement that women cover their faces with a veil, or cover their bodies with the full-body burqua or chador. Some claim that the Qur'an does not mandate Hijab. (sumber: Wikipedia)
3) Levelling at its maximum is like the stillness of death, where one can hear one's own heartbeat, a stillness like death, into which nothing can penetrate, in which everything sinks, powerless. One person can head a rebellion, but one person cannot head this levelling process, for that would make him a leader and he would avoid being levelled. Each individual can in his little circle participate in this levelling, but it is an abstract process, and levelling is abstraction conquering individuality. (Soren Kierkegaard - The Present Age).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun