Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Pilihan

Antara Sistem dan Tuhan

14 Oktober 2014   16:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:05 140 0
"Jadi apa yang kau percayai?" tanya Arief sambil sibuk tengok kanan kiri menghindari berbagai macam kendaraan bermotor yang berseliweran ketika kami sedang menyeberang jalan persis di depan depot sate gulai pak Samin yang sedang ramai-ramainya karena tiba waktu makan siang.
"Entahlah apa yang bisa aku percaya." jawabku ketika kami sudah sampai di seberang jalan.
"Setidaknya kita harus percaya sesuatu kan?" tanyanya pelan sambil berjalan menelusuri trotoar, pertanyaan yang seperti ditujukkan pada dirinya sendiri. Begitu pelannya suaranya hampir-hampir suaranya tertelan oleh teriakan para pedagang kaki lima yang menjajakan barang dagangan mereka. Trotoar ini memang mirip pasar kecil. Semakin hari semakin banyak pedagang berkumpul di sini, menjajakan berbagai macam barang dagangan. Trotoar yang dulu nyaman sekarang berubah semrawut nggak karuan.
"Sejak kecil aku diajarkan percaya pada agama. Tapi entahlah aku tidak tahu pasti sekarang apa aku percaya lagi." jawabku.
"Mengapa?"
"Gila....mereka yang ada di kementerian agama pun melakukan korupsi"
"Itu kan oknumnya bukan agamanya."
"Tapi maksudku mereka sering berceramah kalau kita yang awam agama harus mengikuti orang yang pintar agama. Tapi yang pintar justru korup. Sebagian sih. Tapi yang sebagian itu jumlahnya semakin banyak"
Arief justru terdiam dan menoleh memandang keruwetan pasar kecil yang sudah agak jauh dari tempat kami berada.
"Sistem" katanya pelan.
"Apa?"
"Itu...keruwetan itu adalah akibat dari sistem. Sistem yang sangat bertopang pada barang yang harus dijual dan nilai tukarnya yang diwakili oleh uang.(1) Produksinya pasti sudah sangat berlebih sehingga harganya bisa sangat murah seperti itu dan memunculkan keruwetan di sana-sini untuk menjualnya. Eh kau pernah beli di situ nggak? Gila....50 ribu saja kau bisa dapat baju, jika kau pandai menawar." katanya ketika kami sudah berbelok menelusuri gang sempit yang di kanan-kirinya diapit rumah-rumah petak yang berjejer, berdiri tidak karuan letaknya.
"Ya sistem yang tampak menawarkan keteraturan itu ternyata tidak terencana dengan baik, meskipun itu tidak bisa dibilang kekacauan."
"Kasian mereka." kata Arief pelan sambil menunduk memandang jalan gang yang kotor berdebu.
"Siapa?"
"Orang yang membuat baju itu. Berapa yang mereka dapat dari baju yang akhirnya dijual 50 ribu itu. Kasian mereka. Nilai kerja mereka hanya ditentukan oleh pasar yang bisa sangat kacau. Dan tentu saja nilai kerja mereka akan ditekan serendah mungkin untuk mendapatkan keuntungan maksimal pemilik usahanya.(2)"
"Ah itu bukan sikap manusia. Itu bertentangan dengan apa yang diajarkan Tuhan" kataku berusaha menyangkal.
"Tuhan? Apa yang kau lihat di sini. Tuhan? Bukan .....ini sistem. Sistem ini yang nyata. Sistem yang membuat orang beragama itu mengucap syukur untuk gaji UMRnya. Seakan-akan UMR itu sudah atas restu Tuhan." katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Perkampungan ini memang berada tidak jauh dari kompleks industri. Kebanyakan penduduk di sini bekerja sebagai pekerja level paling bawah di pabrik-pabrik dengan cerobong-cerobong asapnya yang menjulang tinggi.  Siang hari seperti ini perkampungan ini seperti berhantu karena begitu sepi. Hampir semua orang dewasa, baik laki-laki dan perempuan bekerja. Anak-anak mereka yang biasanya berperawakan kurus kadang tampak berkeliaran di jalan-jalan gang yang sempit bertelanjang dada tanpa ada pengawasan orang tua atau jika ada yang mengawasi pengawas itu hanyalah nenek atau kakek mereka yang mengawasi kelincahan mereka sambil duduk terkantuk-kantuk dan sekali-kali berteriak mengingatkan anak-anak itu.
"Dan sistem juga yang membuat kita harus belajar ini itu. Dan sistem juga yang membuat guru-guru beberapa mata pelajaran berjalan mendongak ke atas sambil menghentakkan sepatu mereka ke lantai, menunjukkan betapa pentingnya mereka. Dan sistem juga yang membuat kita harus dibombardir dengan kata ujian, ujian, ujian." kataku pelan.
"Hahahahaha....Dan sistem juga yang membuat pak Harso guru seni itu selalu berjalan menunduk lesu ya? potong Arief sambil tertawa.
"Ah pak Harso memang sudah sepuh(3)."
"Ya setidaknya memang sistem yang membuat beberapa guru membusungkan dada."
"Aku pikir seni sama matematika sama-sama penting. Apa hebatnya orang pintar matematika kalau tidak bisa mengapresiasi keindahan karya seni."
"Memang siapa yang menentukan hebat tidaknya seseorang?. Siapa yang menentukan siswa teladan atau tidak? Siapa? Tuhan?" tanya Arief tiba-tiba.
".....Sistem" jawabku pelan.
"Sebaik-baiknya aku bermain gitar seperti Stevie Ray Vaughan(4). Aku yakin aku tidak akan dipanggil maju ke podium setelah upacara dan dipamerkan di depan siswa-siswa lain."
"Stevie....siapa?"
"Ah sudahlah. Jadi kalau ingin orang tuamu bangga karena anaknya disebut siswa teladan ikuti sistem itu. Jauhi kanvas dan kuasmu. Percuma."
Sebagai teman dekatku, Arief tahu pasti kalau aku memiliki obsesi rahasia. Melukis seperti Rembrandt(5). Keinginan rahasia yang aku simpan rapat-rapat karena orang tuaku, terutama ayah, memiliki obsesi lain. Sebagai anak pertama aku harus kuliah di jurusan teknik Universitas Negeri terkenal. Ya teknik....itu harga mati. Tiba-tiba aku mendesis pelan, "......sistem."
"Apa?" tanya Arief heran.
"Ah sudahlah. Aku hanya bertanya-tanya apakah sistem ini begitu kuatnya sehingga kita tidak bisa melawannya. Sistem ini seakan-akan menggilas semuanya.(6)" kataku berbohong karena bukan itu yang merisaukanku.
"Begitu kuatnya hampir seperti Tuhan."
"Ah kau"

(Bersambung)

Keterangan:
(1) Produksi komoditas dimana semua produksi ditujukan untuk menghasilkan produk untuk dijual bahkan tenaga kerja buruh juga dianggap komoditas.
(2) Menurut Marx, penjelasan pemaksimalan keuntungan kapitalis terletak pada eksploitasi tenaga kerja
(3) Sepuh adalah bahasa jawa sopan untuk "tua"
(4) Stevie Ray Vaughan adalah guitaris blues yang sangat berpengaruh pada tahun 1980an. Stevie Ray Vaughan meninggal dunia karena kecelakaan.
(5) Rembrandt Harmenszoon van Rijn adalah pelukis terkenal kebangsaan belanda.
(6) Teori penyeragaman atau disebut "levelling" oleh Soren Kierkegaard.

(Kisah diatas fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama dan tempat bukan karena kesengajaan penulis.)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun