Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen | Bisakah Ramadhan Kali Ini Diundur?

10 April 2020   15:22 Diperbarui: 10 April 2020   15:59 128 6
Kemarin, saat melintas di jalan yang sering aku lalui. Aku melihat beberapa pedagang mulai menggelar lapaknya. Tak seperti biasanya. Ini bukan jadwal pasar malam. Berbagai macam kue khas Indonesia mereka sajikan. Tak tertinggal pedagang mie hun dan minuman dingin olahan dari buah. Dan sebuah lapak penjual bingka kentang bakar, yang sempat menjadi andalan. "Kok rame?" batinku.

Menjelang siang tadi. Kondisi berubah. Sepi. Hanya beberapa kendaraan yang lewat. Nampak seorang pedagang es keliling sedang membersihkan gerobaknya. Beberapa pedagang yang lain tak nampak berjualan. Berbeda dengan yang kemarin. Suasana kini sepi. "Kok sepi?" sambil aku terus perhatikan sekeliling.

Beberapa kantor-kantor pemerintah, swasta menuliskan sepanduk besar. Penundaan layanan. Libur sampai batas yang tidak ditentukan. Lantas aku teringat dengan Ramadhan. Suasananya persis aku jumpai dalam beberapa hari ini.

Ramadhan kala itu, kita bisa menikmati indahnya libur panjang. Pergi ke masjid, dengan bekal catatan 'Buku Ramadhan' kemudian merangkum hasil ceramah. Yang aku ingat, belum saja sang Imam selesai melaksanakan sholat sunah. Saat sedang memberikan salam dengan menghadap ke kanan. Belum usai menengok ke kiri. Kami langsung mengambil star untuk berlari. Ibarat sebuah kode. Mata kami menatap tajam. Saat salam berarti tanda pak imam telah tunai dalam ibadah.

Kami pun mengambil aba-aba, berlari sekencang mungkin, saling mendorong. "Aku dulan pak ustad. Aku dulaun yang ditanda-tangani," sambil riang pak ustad ikut tersenyum.

"Siapa yang mau dulan?" ujar pak ustad.

"Saya. Pak ustad?" anak-anak yang lain berhambur.

"Aku, pak ustad." sambil mengacungkan jari, aku pun tak ingin kalah seperti teman-teman yang lain.

"Siapa yang mau duluan ditandatangani?" Pak ustad mengulangi pertanyaannya. Kemudian ia terdiam sebentar dan melanjutkan, "Coba ayok, hapalkan surah Al - Ikhlas dan doa untuk orang tua. Hayo, siapa yang bisa?" Pak ustad melirik gerombolan anak-anak kecil. Mereka mengerenyit berpikir.

Aku yang kala itu juga ikut berpikir. "Doa yang seperti apa yang dimaksud?" Beragam doa silih dihapal kala itu. Namun aku tak mengerti jika itu surah yang dimaksud. Seseorang dari belakang bergegas lari. Terburu. Menabrak rekannya, "Aduh!". Dan tak tertinggal menabrak bahuku "Bruukk."

Usai Ramadhan tempo dulu.
***

Kini, masjid itu terlihat sepi. Tak ada aktivitas. Waktu telah dipenghujung kumandang Jum'at. Toa yang tegak berdiri pun tak berdesir. Catatan itu masih aku ingat. Mendengarkan sang khatib berkhutbah, kemudian menuliskannya.

Namun, kini masjid itu yang memberikan catatan. Sholat Jum'at untuk ditunda sementara waktu. Dan digantikan Sholat Zuhur di rumah.

Saya duduk di selasar anak tangga. Panas terik di ujung jidat. Membuat butiran keringat menetes, tak kurasa. Aku menahan haru dalam sepinya batin. Ditengah gersangnya spiritual yang aku rasa. Tepat di ujung ubun. Aku tak mampu menahan sedih, keringat pun tercampur oleh lelehan air mata.

"Pak ustad, bisa tidak aku duluan yang dapat tanda tangan? Aku siap hapalan," aku mengingat masa kecil yang ramai itu. Aku seka keringat bercampur air mata.

Seseorang di dalam masjid menyambut. Tak mencoba deru toa yang telah bertengger cukup lama di atas menara gagah itu. Sampai terlihat kilaunya diterpa panas. Ia terdiam sejenak, di depan mix yang juga sepi. Tak bervolume. Sesaat kemudian ia lantunkan suara adzan dalam kesepian. Tepat di pukul 12.15 WITA.

(Duh Gusti, Ngapunten. Bisa tidak Ramadhan kali ini diundur?) []

Samarinda. Jum'at, 10 April 2019.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun