Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Demokrasiku Terkoyak (Lagi)

21 Januari 2012   07:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:37 179 0
Negara Demokrasi tak lain adalah negara yang menjamin setiap warga negaranya untuk memeluk dan menjalankan salah satu agama yang diyakininya. Demokrasi, menjamin kebebasan setiap warga negara untuk beribadah. Tapi apa yang terjadi apabila tempat beribadah pun "disegel" secara paksa oleh tangan-tangan jahil penyelenggara negaranya sendiri?

GKI Yasmin, contoh konkrit yang sering kita lihat di setiap headline di berbagai media di tanah air. Memilukan, niat ingin beribadah tapi terhalang masalah tempat. Kasus yang bergulir sejak 2008 ini, seakan didiamkan. GKI Taman Yasmin dipermasalahkan dalam hal izin mendirikan bangunannya. Masalah itu kemudian memunculkan larangan bagi jemaat GKI Yasmin untuk beribadah di bangunan yang berada di Jalan K.H. Abdullah bin Nuh, Bogor.

Kasus ini berawal dari dibekukannya IMB pendirian GKI Yasmin tahun 2008, yang terletak di Bogor, Jawa Barat. Sengketa pembangunan ini masuk ranah hukum terkait Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Lewat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung pada 4 September 2008, majelis hakim memenangkan gugatan panitia pembangunan Gereja Yasmin tentang Pembekuan IMB. Pemerintah Kota Bogor lalu mengajukan banding, dan akhirnya Pengadilan Tinggi TUN Jakarta mengeluarkan keputusan yang menguatkan keputusan PTUN Bandung. Atas keputusan PT TUN Jakarta, Pemerintah Kota Bogor mengajukan PK ke MA. Pada Desember 2010, MA tmengeluarkan keputusan yang pastinya menguatkan keputusan yang dikeluarkan PTUN Bandung dan PT TUN Jakarta yang menyatakan Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor untuk mencabut surat Pembekuan IMB GKI Yasmin. Pemerintahan Kota Bogor memang sempat menolak izin mendirikan bangunan gereja itu tapi dimentahkan oleh keputusan Mahkamah Agung dan Ombudsman RI. Meski sudah ada keputusan dari MA dan Ombudsman RI yang menjaminnya, sampai saat ini jemaat GKI Yasmin belum bebas beribadah karena penolakan dari warga masih kerap terjadi.

Persoalan ini sudah terlalu lama dan menyentuh akar persoalan kita yang utama, yaitu kebhinnekaan. Pemerintah dinilai lebih mendengarkan suara kelompok tertentu daripada mematuhi hukum dalam penyelesaian masalah Gereja Kristen Indonesia Taman Yasmin, Bogor. Pemerintah kota Bogor memang telah "memindahkan" GKI Yasmin ke tempat yang baru yakni Ruang pertemuan Harmonie di Yasmin Center sekitar 300 meter dari lokasi sebelumnya dengan menghabiskan dana sekitar 3,5 Miliar rupiah. Hal tersebut memang tidak efisien dan menghamburkan uang negara. Relokasi tempat bukan solusi yang tepat. Terkait keamanan, harusnya polisi menghalau kelompok-kelompok yang anti Pancasila dan UUD 1945 yang menentang orang untuk melakukan ibadah bukannya menghalang warga negara yang mau beribadah di tempat yang jelas sah secara hukum.

Kasus GKI Yasmin bukan persoalan antar Islam dan Kristen. Ini adalah persoalan bangsa, persoalan Pancasila, UUD 45, NKRI dan Kebhinnekaan, yang digerogoti tekanan-tekanan orang yang mengaku Islam adalah tidak mewakili Islam. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi hidup dalam kerukunan dan sikap saling menghargai. Tapi dengan sedikit modifikasi, oknum-oknum tertentu memelintir fakta untuk mengadu domba, dan sepertinya sejauh ini berhasil.

Kasus tersebut sebagai salah satu potret mini dari ancaman pada keberagaman Indonesia. Sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945, kita harus memelihara keberagaman Indonesia, tanpa diskriminasi atas dasar suku, agama, kepercayaan dan lain-lain, adalah sebuah tugas konstitusional setiap warga negara Indonesia. Kekuatan "Bhinneka Tunggal Ika" lah yang telah memerdekakan kita pada 17 Agustus 1945 yang lalu. Tapi mengapa sekarang ini justu kebhinnekaan dibuat sebagai alasan untuk memecahbelah? Kasus GKI Yasmin justru menjadi penentu apakah Indonesia adalah negara hukum atau negara kekuasaan yang disokong oleh kelompok tertentu. Jika kita lolos dari ujian ini, maka yang namanya supremasi hukum dapat diselamatkan.

Jika sampai sekarang belum adanya tindakan agresif Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan Walikota Bogor Diani Budiarto dalam penuntasan kasus GKI Yasmin ini, kemungkinan rakyat yang pro kebhinnekaan akan menganggap orang-orang yang duduk manis di pemerintahan sekarang telah melanggar hak dasar warga negaranya tentang kebebasan berkeyakinan, beragama, dan beribadah, sebagaimana yang dijamin dalam konstitusi negara (Pasal 29 UUD 45), serta dalam kovenan hak-hak sipil dan politik yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia.

Kebebasan beragama dan beribadah ialah hak dasar umat manusia, harus dijunjung tinggi setiap warga negara, termasuk walikota. Walikota yang notabene adalah pejabat lokal harus memberikan pengayoman kepada umat beragama. Selesai atau tidaknya persoalan GKI Yasmin ini akan menjadi yurispudensi oleh kehidupan beragama di masa depan.

Negara yang jelas-jelas menjamin setiap warga negaranya untuk bebas beribadah. Presiden pernah berkata bahwa di republik ini tidak ada hak hidup bagi yang anti-Pancasila. Tidak ada hak hidup yang tidak menghormati Merah Putih. Tapi itu semua hanya omong kosong belaka. Pemerintah juga telah tiga kali membatalkan rapat dalam membahas masalah tersebut. GKI YASMIN adalah contoh dari tidak pantasnya pemerintah untuk memerintah dan mengurusi rakyatnya. Siapa bilang masalah tersebut masalah yang rumit. Memang rumit, tapi rumit bagi mereka yang terdesak oleh kekuasaan kelompok tertentu penghina bulir-bulir Pancasila. Sebenarnya ketidakinginan dan ketidakmampuan pemerintah lah yang membuat masalah tersebut semakin berjamur. Dari sikap pemerintah ini kita dapat menerawang sifat dan karakter dari pemimpin kita yang pesimis dan lemah lembut terhadap konflik yang tumbuh subur di negeri ini.

Seiring dengan munculnya kasus ini, ada saja pihak yang memanfaatkan momen dengan mengadu domba. Kemarahan massa penolak yang meletup-letup terjadi karena adanya penyesatan fakta yang disebarkan secara sistematis, sehingga massa menjadi anarkis. Muncul pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari konflik dengan mengangkat kasus tersebut dengan tujuan ingin menghancurkan kehidupan berdemokrasi dalam tubuh ibu pertiwi. Sungguh tragis.

Kadang, saya sudah mulai bosan mendengar berita penggusuran para jemaat yang sedang dalam pelaksanaan ibadah. Kata orang kebanyakan, sewaktu ibadah itu ada "Yang Maha Esa" hadir disana. Tapi dengan kondisi ibadah yang mencekam seperti yang dirasakan jemaat-jemaat GKI Yasmin setiap minggunya, apakah memang Dia hadir disana?

Dari kasus tersebut sebaiknya kita bercermin dan intropeksi. Pasti ada jalan keluar dalam setiap kesulitan. Dengan syarat setiap orang mau terlibat dengan kejujuran di setiap nafasnya. Harapan kita, kasus dengan sensitifitas tinggi ini harus cepat diatasi. Yang kita takutkan tak lain dan tak bukan adalah munculnya masalah baru yang lebih besar dengan latar belakang masalah serupa. Yang pastinya akan terjadi suatu pertentangan yang menjurus kearah perpecahan yang sama sekali tidak kita inginkan. Mungkin hanya satu yang dibutuhkan negeri ini, bersatu. Itu cukup. Tapi kapan akan terwujud? secepatnya. Pasti.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun