Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Artikel Utama

Dari Pelosok Nusantara, Guru Menulis

20 Mei 2015   11:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:47 112 0


Peluncuran dua buku tersebut mendapat apresiasi dari banyak pihak. Tak kurang dari Sekda Lanny Jaya  Christian Sohilait yang paling berbahagia karena buku tersebut memuat fakta-fakta empiris tentang mirisnya pendidikan di kabupaten tempatnya mengabdi. "Persoalan kami, masih seputar bagaimana agar anak-anak bisa baca-tulis dan berhitung," katanya.

Maka kehadiran buku tersebut diharapkannya makin memotivasi banyak guru-guru muda di Nusantara untuk mau menjenguk Papua dengan datang sebagai guru. Papua, katanya, benar-benar masih minim mutu guru meski tersedia 380 guru namun hanya 70 persen yang aktif, dikarenakan mereka tak menjadikan guru sebagai profesi melainkan hanya kerja sampingan. Banyak guru lebih memilih usaha dan bisnis lain ketimbang mengajar di kelas.

Kehadiran dua buku tersebut juga memukau Agus Susilo Hadi, Koordinator SM3T dari Kemristek Dikti RI. Ia terpukau dengan keberanian guru SM3T unimed yang meluncurkan dua buku sekaligus. "Saya temukan banyak guru yang bisa menulis dan menerbitkan karya, tapi yang berani membedahnya baru Unimed. Bagaimanapun bagusnya karya-karya itu, kalau tidak ditulis tidak ada faedahnya bagi orang lain. Dan SM3T Unimed melakukannya dengan luar biasa," katanya.

Ke depan Kemristek bahkan akan menggelar pameran buku dan foto karya-karya guru dari seluruh Indonesia. Mengingat banyaknya guru-guru yang rajin menulis dan memotret tentang pendidikan dari seluruh belahan Nusantara.

Menanggapi pujian itu, Rektor Unimed Ibnu Hajar Damanik, mengatakan nun jauh di Timur Nusantara, para guru dari program SM3T bekerja penuh dedikasi demi menolong anak-anak Papua bisa baca-tulis-hitung. Guru-guru SM3T menjadi hero alias pahlawan masa kini, sekaligus pejuang kemanusiaan.  Apa yang mereka kerjakan, bahkan melampaui efek triple down affect.

Selain mendidik penuh dedikasi, mereka bahkan menjulang sebagai laskar-laskar pelopor gerakan menulis. Mereka menjungkir-balikkan paradigma tentang guru yang tidak bisa menulis, mereka melawan budaya lisan dan menggesernya dengan budaya menulis buku, sehingga pengalaman mereka meretas ilmu pengetahuan di Papua lebih awet dan lebih tahan lama.

Sekda Kabupaten Lanny, Christian Sohilait juga sempat mengupas kompleksitas persoalan pendidikan di Lanny Jaya. Mulai dari mutu gurunya, lalu kondisi geografisnya yang berada di antara tanah berbukit dan lembah serta medan tempuh dari pemukiman penduduk ke sekolah yang sangat sulit dan jarak tempuh yang jauh. Faktor budaya atau adat istiadat yang sebagian tidak mendukung pada proses peningkatan mutu pembelajaran hingga problem yang muncul dari masih minimnya infrastruktur serta perhatian pemerintah terhadap pendidikan.

Dengan populasi 110.000 jiwa yang dominan bermata pencaharian sebagai petani, penduduk Lanny Jaya masih diliputi problem buta aksara. Di sana memang sudah berdiri 142 unit TK PAUD dengan murid 770 orang, 60 sekolah dasar, 23 sekolah menengah pertama, 5 SMA dan satu SMK namun buta aksara amat kentara.

Minimnya guru yang aktif bekerja, terang Christian, akibat banyak dari mereka yang menganggap rendah pekerjaan guru. Tak sedikit pula yang memandang profesi guru hanya sebagai pekerjaan kelas dua. Tak heran jika lebih 310 guru doyan 'keluyuran' saat jam pembelajaran berlangsung. Beberapa guru ada yang masuk anggota partai politik, lainnya tergabung dalam partai Operasi Pembebasan Militer (OPM), sisanya bikin usaha seperti bisnis taksi, beternak babi dan buka kios kelontong.

Parahnya, ada juga guru yang hobi poligami. Selain itu, perhatian Bupati dan wakil rakyat terhadap nasib pendidikan anak-anak Lanny Jaya juga rendah. Namun yang paling ektrem, peran serta masyarakat dalam membantu meningkatkan mutu pendidikan juga hampir tidak ada. Hal-hal inilah yang menyebabkan mutu pendidikan di Lanny Jaya terpuruk.

Christian juga sempat memaparkan bagaimana impian terbesar pendidikan Papua yang sungguh memiriskan hati. Ada empat mimpi besar Lanny Jaya, katanya, yaitu anak-anak bisa baca-tulis, sekolah bisa beroperasi dengan baik, sarana-prasaranya tersedia dan ketika ujian, anak-anak tidak dibantu guru.

Christian mengungkap bagaimana seringkali, dibuka kelas majemuk di sana demi meretas buta aksara. Di kelas majemuk semua anak-anak buta aksara digabung lalu ramai-ramai diajari. Guru-guru berjuang membantu anak mengenal huruf-huruf, mengenal aksara, lalu belajar menyusunnya menjadi kata dan kalimat. Serta belajar memaknainya dengan baik. Di kota, hal ini mungkin jarang terjadi dan hampir tidak ada, tetapi di Papua potret ini jamak terjadi.

Apa yang dilakukan SM3T, terang Ibnu, adalah mengimplikasikan hakikat pendidikan yang bukan sekadar mencerdaskan orang tetapi juga membebaskan anak-anak dari berbagai belenggu, sepasti disebut Paulo Freire, tokoh pendidikan dalam bukunya "Pendidikan Kaum Tertindas."

Tantangan Papua, kini, sambung Ibnu, adalah bagaimana provinsi cendrawasih ini mampu membebaskan dirinya dari situasi dan kondisi ekonomi-sosial dan politik yang membelenggu mereka hari ini. Juga bagaimana  mereka menguatkan dirinya dalam menghadapi belenggu-belenggu itu dan berusaha terbuka untuk menyerap energi dan perubahan dari luar lingkungannga.

"Betapa pun Papua mengalami multidimensi problem, yang kalau diibaratkan seperti kanker stadium empat, akan tetapi jika punya niat yang besar untuk merubah diri dan mengerjakan niat itu, tak mustahil jika kelak ia mampu menjulang sebagai pemenang," pungkas Ibnu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun