Atau, ada kaitannya dengan prinsip?
Untuk pertanyaan ketiga, membuat saya sangat pusing untuk memikirkannya. Karena, prinsip ini bisa saja karena jenis kelamin atau juga karena ada faktor karakter.
Misalnya, saya akan meminta maaf kalau langsung bertemu. Atau, misalnya, saya akan meminta maaf karena saya lelaki. Dan, perempuan mungkin ada yang berpikir kalau sebagai perempuan tidak harus meminta maaf.
Entah, ini ada kaitannya dengan kebiasaan dalam pola menjalin hubungan dengan lawan jenis, atau faktor prinsip berdasarkan karakter. Atau juga, karena meniru orang lain yang mungkin telah melakukannya, dan ia terinspirasi.
Terkadang, saya seperti terjebak di lingkaran itu. Terkadang saya seperti merasa menunggu orang lain menghubungi saya terlebih dahulu. Terkadang pula, saya seperti sudah terbiasa untuk menghubungi dulu karena beberapa faktor.
Faktor pertama, karena usia. Biasanya, saya akan menghubungi orang yang lebih tua dari saya. Itu juga kalau saya berhasil mengingat orang-orang tersebut dalam satu hari yang sama.
Faktor kedua, karena pertemanan. Dalam konteks ini, saya lebih "terbantu" oleh keakraban atau juga karena adanya kontak. Bisa langsung maupun tidak langsung.
Faktor ketiga, karena merasa memang punya salah, yang sengaja atau tidak sengaja. Saat seperti itu, usia dan keakraban terkadang bisa dikesampingkan.
Biasanya, faktor ketiga ini hadir karena merasa memang harus menghubungi terlebih dahulu. Terkadang, ada rasa seperti tidak enak dengan seseorang yang mungkin malah sebenarnya tidak terlalu sering bersinggungan (langsung/tidak langsung).
Dalam praktik meminta maaf, kemudian, (ternyata) juga berjalan bersama dengan rasa ingin dihubungi terlebih dahulu. Bisa karena usia, atau juga karena nahasnya pernah mendengar desas-desus terkait orang tersebut yang pernah merasa tidak suka atau berseberangan dengan saya.
Atau, bisa saja, karena saya merasa apa yang orang tersebut lakukan sebenarnya salah. Cuma, saya secara pribadi tidak pernah menegur atau memberi tahu secara langsung apa letak kesalahannya dalam kacamata saya.
Hal semacam ini, kemudian, tidak jarang membuat saya seperti merasa kurang tuntas untuk menjalankan praktik maaf-memaafkan. Seperti masih ada "pecahan-pecahan" arogan, atau malah sebenarnya saya kurang percaya diri untuk menghubungi orang yang bersangkutan terlebih dahulu.
Atau, kalau misalnya dalam praktik langsung, alias mengunjungi, terkadang saya seperti sudah khawatir terlebih dahulu sebelum berkunjung. Terkadang, saya seperti minder untuk berkunjung ke tempat/lingkungan tertentu, atau saat momen berkumpulnya orang tersebut dengan keluarganya.
Itu yang kemudian tidak jarang membatalkan niat saya untuk berkunjung atau bahkan menghubungi orang tersebut. Namun terkadang, kalau saya ingat dengan keharusan untuk saling memaafkan biasanya akan dilakukan di luar konteks Idul Fitri.
Hanya saja, saya menjadi berpikir, apakah berarti momen Idul Fitri saya selama ini tidak pernah sepenuhnya menjembatani tindakan saling memaafkan?
Atau, sebenarnya saling memaafkan saat Idul Fitri seperti momen mengungkapkan perasaan sayang dan cinta seperti saat Valentine? Yang artinya, masih sangat terbatas.
Atau, kegusaran saya ini terjadi karena saya terlampau overthinking, bahkan dalam konteks saling memaafkan. Ini yang kemudian menjadi kerisauan saya terkait momen memaafkan.
Jangan-jangan, saya masih terjebak pada konteks usia, jenis kelamin, gender (peran), hingga overthinkingĀ terhadap apa yang dilakukan orang lain dalam menilai bagaimana praktik saling memaafkan itu dapat dimulai.
Apakah yang muda harus selalu memulai? Apakah yang salah harus selalu memulai? Atau, malah karena lelaki, maka harus memulai dulu untuk meminta maaf?
Malang, 13 Mei 2021
Deddy Husein S.