Hal pertama, membiasakan diri untuk mengucap doa saat mengawali sesuatu. Permulaannya, saya dikenalkan dengan sebuah buku yang memuat banyak kumpulan doa untuk mengawali dan mengakhiri berbagai aktivitas.
Menariknya, dalam proses ini saya tidak diuji secara langsung tentang kehafalan saya terhadap doa-doa tersebut. Yang dilakukan ibu adalah mencoba mendorong secara implisit hafalan saya ketika ada pelafalan doa yang biasanya terdengar di radio.
Saat itu dan saat Ramadan, biasanya ada sesi-sesi tertentu yang menghadirkan pembacaan doa.
Contohnya, ketika di luar Ramadan dan saat siang hari selepas azan Zuhur, ada "anak kecil" (penyiar bersuara karakter anak kecil) yang membaca doa 'sebelum makan' dan 'seusai makan' yang merujuk pada aktivitas makan siang.
Saat Ramadan juga begitu. Ketika sudah azan Magrib, ada pembacaan doa 'berbuka puasa'.
Ketika itu terdengar, ibu saya ikut melafalkannya yang kemudian mendorong saya untuk mengikutinya. Setelah itu, saya menjadi terbiasa ikut melafalkannya meski ibu saya sudah tidak peduli dengan aktivitas tersebut.
Artinya, setelah memberi contoh, anak diberikan kepercayaan untuk istikamah secara mandiri terhadap apa yang sudah dilakukan. Anak tidak perlu terus dikawal dalam melakukan kebaikan.
Ketidakpedulian itu secara implisit juga mengajarkan saya untuk mengucapkan doa tanpa harus terlihat berdoa. Praktik ini juga dapat dilakukan ketika memasuki rumah yang biasanya diawali dengan mengucap salam tanpa harus terdengar, yaitu ketika rumah sedang sepi.
Atau, memang tidak mengharuskan untuk mengucapkan salam secara verbal. Contohnya, ketika memasuki sebuah ruang umum seperti kafe, atau memasuki kos teman yang kebetulan teman tersebut adalah nonmuslim.
Hal kedua, memberikan contoh rutinitas beribadah salat sejak dini. Permulaannya, saya setiap hari sejak sudah berada dalam fase sadar, yang artinya ketika kecil saya sudah bisa mengingat beberapa kejadian, di situlah muncul momen saya melihat ibu beribadah salat.
Saya yang masih kecil memang tidak pernah diajak salat. Tetapi, saya selalu menyaksikan ibu beribadah sembari saya tetap berada di atas ranjang dengan terkadang masih ada kelambu tipis transparan yang tidak sepenuhnya dibuka.
Artinya, dalam mengajarkan ibadah kepada anak, orang tua tidak harus langsung mengajak anak untuk berpraktik. Orang tua bisa membangun keinginan anak untuk beribadah lewat cara memberikan contoh.
Satu lubang peristiwa yang mungkin dipertanyakan adalah mengapa bisa demikian?
Sebenarnya, saya tidak pernah bertanya langsung tentang mengapa saya dulu tidak pernah diajak salat ketika kecil. Tetapi, saya pikir ini adalah hasil dari masa lalu ibu saya ketika mengenal Islam.
Dulu, ibu saya mengenal Islam lewat pencarian jati diri, bukan lewat warisan pengetahuan dari orang tua. Ini dikarenakan ada interpretasi ibu saya terkait bagaimana ajaran Islam rupanya tidak sepenuhnya selalu dicerminkan oleh penganutnya.
Itu yang membuat ibu mencari kebenarannya. Pintu utamanya adalah dengan mengenal kisah-kisah tentang Nabi Muhammad saw yang diceritakan oleh guru agamanya di kelas. Sejak itulah, ibu meyakini Islam.
Apa yang dipraktikkan pun kemudian lebih mengarah pada hasil literasinya, bukan karena warisan orang tua. Hal ini yang sepertinya juga diterapkan ke saya.