Memang, puasanya bisa disebut insidental, terpaksa, dan tentu tanpa niat, alias sebenarnya tidak ikhlas. Berbeda dengan berpuasa kala Ramadan. Itu sudah berniat dan ikhlas, karena itu bagian dari ibadah, khususnya bagi kaum muslim.
Selain itu, bedanya berpuasa insidental ala anak kos adalah faktor ekonomi. Ketika anak kos (misalnya) tidak makan sehari, karena memang tidak ada uang cukup untuk makan di hari itu.
Sedangkan, kala Ramadan, justru cukup aneh melihat orang berpuasa dapat berbuka dengan makanan-makanan lezat. Di satu sisi itu ironi, di sisi lain itu juga berkah bagi anak kos. Misalnya, dengan bergabung ke momen ngabuburit di masjid/mushola, maka akan ada menu berbuka puasa yang jelas lebih lezat dari mi instan.
Lalu, bagaimana kalau sudah tiba bulan Ramadan, masih pandemi, dan itu harus dihadapi anak kos?
Secara pribadi, sejak Ramadan 2020, saya memilih tidak ngabuburit. Bahkan, di awal Ramadan 2021 juga belum terpikirkan untuk ngabuburit, seperti di masjid/mushola atau bersama teman.
Artinya, ada potensi untuk mengalami pengeluaran uang yang seadanya untuk tetap dapat mencukupi kebutuhan berbuka puasa dan bersahur. Tentu, ini perlu ada persiapan sejak sebelum datang Ramadan, agar kala Ramadan tidak sepenuhnya "berdarah-darah".
Cara sederhana yang saya lakukan adalah membiasakan diri untuk berbelanja dengan menyisakan uang yang dibawa. Berapa pun nominal yang dibawa, uang itu harus ada sisanya.
Contohnya, ketika saya membawa uang 20.000 rupiah, maka sebisa mungkin uang itu ada kembalian separuhnya atau minimal 10 persen dari nominal itu. Ini juga tetap berlaku dengan membawa uang lebih kecil, 10.000 hingga 5.000.
Semakin kecil tentu akan semakin kecil kembaliannya. Hanya ketika nominalnya memang sangat pas dengan target yang dibeli, itu baru tidak masalah jika memang tanpa kembalian.
Seperti ketika uang yang dibawa mentok di angka 5.000 dan harga yang ditebus memang senominal itu, maka tidak masalah kalau tanpa kembalian. Namun, hal ini baru dimaklumi kalau memang tidak ada uang lagi.
Kalau masih ada uang lebih dari itu, maka bawalah uang yang lebih dari harga yang akan ditebus. Artinya, saat melakukan ini, juga perlu untuk tahu estimasi harganya.
Alasan dari membiasakan membawa uang lebih dan juga mengharuskan ada kembalian, itu akan melatih diri untuk tetap mau menerima kembalian, tahu harga, dan tetap punya uang cadangan kalau sudah sangat "sekarat".
Memang, terkadang melihat uang di dalam dompet itu jarang. Tetapi, bisa saja di tiap-tiap kantong pakaian dan di atas meja, ada uang-uang darurat yang masih dapat digunakan untuk bertahan sedikit lagi sembari menunggu adanya pemasukan lagi.