Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen | Merayakan Hari Musik Nasional dengan Pamer Bojo

10 Maret 2020   20:48 Diperbarui: 10 Maret 2020   21:07 227 9
Namaku Joko. Bener, tahun 2020 ini sampeyan-sampeyan masih harus mendengar nama itu. Jangan kaget! Tapi, aku juga awalnya kaget. Karena saat masih TK, aku sudah jarang mendengar lagi nama-nama yang sering diceritakan oleh ibuku seperti Agung, Candra, Dwi, Eko, bahkan Ganjar.

Maaf, bukan Pak Ganjar Gubernur Jateng loh. Tapi...
"Joko Urip Santosa!"
"Eh! Iya bu, hadir!"

Ya, begitulah kebiasaanku kalau di kelas, melamun. Padahal baru saja badan ini menemukan tempat untuk duduk dan bersandar. Tapi karena aku selalu memilih tempat duduk di depan jadi tak ada kesempatan bagiku untuk tolah-toleh dan ngobrol bisik-bisik dengan teman.

Oya, tahun ini adalah tahun keduaku jadi arek mahasiswaan. Eh, nggak usah pakai -an, karena nanti dikira ibu, aku tidak niat kuliah. Aku sekarang sudah semester 4, jadi sudah mulai akrab dipanggil kak, bang, dan tentunya mas. Karena aku kalau bicara dengan bahasa nasional memang masih medok.

Lha bagaimana lagi? Aku memang tumplek-bleg di Jawa, karena ibu asli Jawa dan bapak ngakunya Sunda, dan aku belum pernah naik pesawat. Lhoh, tidak ada hubungannya!

Nah, setelah mengenal sedikit tentang jejakku di sisi akademik, mari ikuti perjalananku di bidang lain. Mu-sik!

Sebenarnya aku galau untuk mengungkapkan ini, tapi bagaimana lagi? Faktanya memang aku nyemplung di dunia musik, meski aku gak bisa main musik. Ya bisa sih, cuma genjreng-genjreng fals. Tapi karena kakak tingkat saat itu sedang butuh penggitar, ya aku lolos screening. Katanya, aku langsung bakalan nemenin kating yang diundang jadi ge-es di acara kampus.

Wah, keren dong! Aku kira bakalan jadi pengalaman pertama untuk ngeband. Namun, ndelalah! Justru main akustikan, dan cuma aku dengan si kating yang ternyata mbak-mbak cantik. Duh!

Sebenarnya aku tidak menolak kesempatan itu, apalagi kalau sampai dikaitkan dengan orientasi. Bisa-bisa ibuku malu kalau melihat anak tergantengnya ini ternyata nggak doyan lare estri. Bukan!

Tapi aku ini masih malu. Kualitas genjrenganku masih kalah dengan mas-mas di bus antar kota. Lha kok sekarang mau jadi pengiring nyanyian si mbak cantik, piye toh?

Akhirnya, suatu hari aku kembali bertemu dengan Mas Bayu. Dia sudah aku anggap sebagai teman berbagi cerita tentang musik. Memang, dirinya hanya musisi jalanan yang harus lompat dari satu bus ke bus lainnya, tapi aku menganggap dia punya banyak hal yang dapat kuserap. Termasuk obrolan sambil lalu kami sore itu.
 
"Saya pernah bilang kan, kalau musik adalah jiwa. Meski saya tidak mampu menjadi musisi beneran, tapi saya sangat menikmati. Dari bus ke bus, saya dapat melihat banyak tanggapan dari para penumpang saat mendengar genjrengan saya. Itulah gajian tetapku."

Ya, aku kalau sudah bertemu dengan Mas Bayu langsung fokus dengan segala patah katanya. Karena, memang jarang menemukan orang yang hidup di jalanan namun dapat berbicara sepertinya. Bisa jadi, para jubir intansi negara kalah luwes bicaranya dibandingkan Mas Bayu.

"Saya juga belajar, mas. Saya mengasah cara nggenjreng ini dengan melihat ekspresi mereka setiap hari dan setiap bus. Kalau mereka sedang galau, ya saya nyanyikan lagu-lagu mellow. ... Loh, kok sampeyan gak kaget?"
"Kan sampeyan udah biasa ngomong kemenggres kalau ketemu saya, mas."

Kami pun tertawa. Memang beginilah obrolan kami. Bisa saja orang lain tidak sadar bahwa kami sedang berbeda status sosial. Tetapi ketika sudah bertemu di atas meja yang bernama musik, tak ada sekat.

Ngobrol ngalor-ngidul, ngetan-ngulon, dan tak lupa dengan diksi-diksi Inggris yang terkadang kami tertawakan secara bergantian. Dari sanalah aku akhirnya memberanikan diri untuk datang ke latihan H-3 Acara itu dimulai.

Bahkan, sampai H-3 pun saya masih belum tahu apa nama acara itu. Apakah itu adalah malam inagurasi, peringatan ulangtahun kampus, atau malah jadi pengisi acara peresmian gedung festival di pusat kota?

"Jok! Sudah siap?" Suara Bang Edu sedikit membuyarkan lamunanku. Padahal aku sedang menghafalkan kisi-kisi yang diberikan Mas Bayu.

"Satu, dua, play!"

"Jreng...
Staying up 'til 3 am
We talked about the world we didn't care
And we were finding out was in trying
To escape this hell...
"

Aku lihat semua kating seperti puas dengan latihan perdana itu. Maksudnya, latihan perdanaku. Kata Bang Edu, kualitas genjrenganku tidak kalah dengan Mas Andrew. Sebenarnya Mas Andrew yang awalnya akan ngiringin nyanyian mbak cantik itu. Tapi karena kemarin dia sakit flu dan demam, jadi akhirnya para kating mencari langsung penggitar dari maba yang mendaftar di UKM Rumah Muzix.

"Hallo, Joko! Aku Chyntia. C-H-Y-N-T-I-A."
"Oh, iya mbak. Saya Joko."
"Ya, aku tau. Kan aku panggil namamu barusan."
"Oh, iya sih mbak. Hehe."
"Kamu dari FH, ya?"
"Eh, iya mbak. Kok tau?"
"Ya iyalah, kan aku katingmu."
"Oh, iya sih mbak. Hehe."
"Jawabanmu kok sama terus."
"Eh, iya mbak. Enak kalau copy-paste, biar nggak capek."
"Capek apanya?"
"Capek mikirnya, mbak. Hehe."
"Oh, emangnya nanggepin omonganku perlu mikir ya?"
"Iya mbak. Kan saya nganu... grogi."
"Alesan! Bilang aja kamu laper. Yuk makan!"
Loh! Kok dia tau ya? Wah, jangan-jangan dia ini cucunya mbah dukun.

Singkatnya, perjalananku sampai ke H-1 dari acara itu, aku dan Mbak Chyntia melakukan gladi kotor. Awalnya aku kira, kami sudah dapat menjajal panggung, namun ternyata belum. Meski begitu Bang Edu mengharap penampilanku dapat maksimal.

"...jreng
We're damsels, damsels, and juveniles
Jreng...
Always, running from pretty crimes
Jreng...
And with you, I don't feel alone anymore...
"

"jreng, jreng, jreng, jreng, jreng! Who we are..."

D-day!
Akhirnya aku tahu bahwa penampilan kami adalah untuk Dies Natalis kampus. Sebenarnya aku sangat gugup. Karena, ini adalah acara besar. Tapi, bagaimana lagi? Udah terlanjur latihan dan memberikan kepercayaan pada mereka bahwa aku bisa, walau masih maba.

Aku tidak bisa menggambarkan secara detil jalannya acara itu, yang terpenting aku sudah merasa melihat mereka seperti memahami pesan yang kami sampaikan melalui lagu Andrea Turk itu.

Meski awalnya mereka kurang familiar, tapi karena lagu itu memang sangat bagus, maka dengan segera terlihat respon positif dari tangan dan kepala mereka. Bahkan, beberapa orang terlihat sudah mulai mengikuti lirik dari apa yang dinyanyikan Mbak Chyntia.

Sejak itu, aku semakin menyukai setiap proses bermusik di Rumah Muzix. Memang beragam kisah terjadi selama setahun lebih. Tidak hanya karena Mbak Chyntia yang tetap ramah, juga ketika aku dapat belajar bermusik dengan Mas Andrew.

Sejak dirinya sembuh, aku dapat langsung bertemu dengannya. Ternyata dia sosok yang low profile dan mendorong aku untuk tak hanya mengikuti gaya yang dimiliki Rumah Muzix, namun juga dapat menunjukkan gaya yang kusukai.

"Buat dirimu nyaman dengan gaya bermusikmu, Jok. Rumah Muzix tidak mengekang selera bermusikmu kok. Kemarin mungkin kamu harus belajar musik-musik yang disukai Chyntia, tapi sekarang kamu harus bisa mengenalkan apa yang kamu sukai."

Sejak pertemuan itu, aku pun sudah nggak bisa lagi dikatakan santuy. Ya bagaimana bisa santuy, wong aku sudah harus bisa membuktikan bahwa aku tidak lagi hanya nggih-nggih kepanggih, tapi juga harus bisa warah-winarah ke orang lain.

"Tidak ada orang yang hanya jalan masbro. Pasti sampeyan ya pernah lari kan?"
"Iya sih mas, tapi saya kadang merasa belum sempurna."
"Sempurna itu bukan sampeyan yang ngerasain, tapi orang lain. Orang yang percaya kalau sampeyan itu bisa seperti yang dikatakan senior sampeyan itu."
"Lhawong saya aja belajar ke dia mas, masa dia nganggep saya sempurna?"
"Bukan sempurna ketika sampeyan saja yang berusaha mas. Tapi sempurna kalau orang di sekitar sampeyan juga berusaha."

Hm.., semakin hari aku merasa semua orang semakin berat kata-katanya termasuk Mas Bayu. Entah apa yang dimakan Mas Bayu akhir-akhir ini. Apakah dia mulai ingin menjadi motivator permusikan seperti para motivator creative writing yang semakin banyak itu?

Tapi, aku juga sepakat dengan kata-katanya. Itulah yang membuatku semakin giat mengenalkan musik yang aku suka. Campursari ala Didi Kempot.

Memang, aku selalu menyisipkan nama penyanyi idola ibuku itu, karena menurutku kaum muda sekarang mengenal musik atau lagu campursari ya karena lagu-lagu Didi Kempot. Tidak seperti jamannya ibuku yang masih pernah dengerin lagu campursari ala Manthous dan lagu campursari lainnya.

Lagipula aku berpikir bahwa generasi jaman sekarang ya harus dihibur dengan selera jaman sekarang. Apa guna teknologi yang semakin berkembang kalau tidak dibarengi dengan perkembangan selera, termasuk dalam hal dengerin musik, kan?

"Hey, Jok! Ngapain di sini?" Mbak Chyntia memang selalu hobi ngagetin aku. Tapi aku tetap suka melamun, karena itu hobi utamaku. Hehehe.

Waktu terus berjalan, bahkan sepertinya berlari demi aku dapat segera menuntaskan misi yang diberikan oleh Mas Andrew waktu itu. Akhirnya, sampailah di hari H, yaitu Dies Natalis Rumah Muzix ke-10. Ternyata perjalanan kami masih panjang termasuk ketika semua orang menantikan performance dari Mbak Chyntia. Namanya pun dielukan, seolah dirinya adalah bintang besar yang siap menerangi jiwa para pendengar musik.

Lagu pertama dan kedua sudah kami sajikan, sesuai dengan apa yang mereka sukai dari Mbak Chyntia. Malam pun semakin dingin, seolah ingin merayakan acara ini juga.

Mata kami bertatap, aku mengisyaratkan, "siap mbak?" dan Mbak Chyntia menyimbolkan "Ok!" dengan tangan kanannya.

"Jreng!" Semua instrumen musik pun secara bergilir muncul mengiringi intro pada lagu pamungkas yang berjudul Pamer Bojo.

Aku tau semua orang kaget mendengar lagu ini, karena Rumah Muzix memang tidak pernah mengadakan performance dengan genre musik ini. Namun, malam ini adalah pengecualian  atau mungkin pengistimewaan.

Mas Andrew yang sangat mahir bermain instrumen gitar kali ini mengisi lead-melody. Dia benar-benar menghayati alunan yang dia aransemen sedemikian rupa bersama Bang Edu untuk membuat semua orang bangkit dari tempat duduknya. Bahkan tamu undangan yang awalnya terlihat malu-malu akhirnya ikut meramaikan suasana.

Aku juga tau bahwa mereka sebenarnya merindukan nuansa ini. Keriangan dengan lagu yang kata Mbak Chyntia "so growned" itu memang pas untuk membuat malam Dies Natalis ini menjadi meriah dan gembira.

"Cidro janji tegane kowe ngapusi
Nganti seprene suwene aku ngenteni
Nangis batinku nggrenthes uripku
Teles kebes netes eluh,
(
Bang Edu) cendol dawet!"
Semua, "cendol dawet!"
"Cendol cendol, dawet dawet
Cendol cendol, dawet dawet
...
Piro? Limaratusan!
Opo? ra pake ketan!
Ji ro lu pat limo enem pitu wolu!
Takgintakgintak jos!

..."

Duarrrr! Akhirnya, malam Dies Natalis selesai, diiringi dengan ucapan terimakasih dan selamat hari musik nasional oleh Bang Edu yang juga disambut meriah oleh para hadirin.

"Jok, Selamat Hari Musik ya! Semoga kamu semakin cinta dengan musik." Lagi-lagi Mbak Chyntia membuyarkan lamunanku tentang Hari Musik yang seharusnya memang dirayakan oleh siapa saja, bahkan para musisi jalanan.

Itulah kenapa aku juga mengundang Mas Bayu di acara ini. Awalnya aku tidak yakin jika dirinya mau datang, tapi ternyata dia benar-benar hadir dengan membawa istrinya dan dua anaknya.

"Selamat Hari Musik, masbro! Baru kali ini, saya benar-benar merasakan Hari Musik Na-sio-nal. Oya, ngomong-ngomong, kalian berdua cocok loh. Ya kan dek?" Dia menoleh ke istrinya yang disambut dengan senyum dan anggukan.

Duh! Lagi-lagi musim perjodohan masih ada di kala Hari Musik terasa tak lagi bersekat. Tapi, mungkin benar. Kami cocok untuk membawakan semua lagu di masa depan, termasuk campursarian ala Om Didi Kempot.

Terimakasih, Om Didi, Mas Bayu, Mas Andrew, Bang Edu, dan tentunya ibu-bapak yang telah melahirkanku untuk mencintai musik. Semoga aku bisa mencintai musik selamanya seperti yang diucapkan Mbak Chyntia.

Selamat Hari Musik, slur!

Oya, cerita ini aku titipkan ke temanku yang bernama Deddy. Dia kabarnya suka musik dari berbagai genre dan negara walau keliatannya dia hanya seonggok manusia pengetik kata, dan sering bikin telingaku risih mendengar ketikannya yang cepet itu. Tapi, kali ini aku mendukungnya, karena dia mau menceritakan kisah keluguanku yang mungkin tidak asyik untuk dibaca banyak orang.

Salam untukmu, Ded, dan Selamat Hari Musik juga!



Malang, 10 Maret 2020
Deddy Husein S.

Tambahan:
Kisah ini hanya fiktif belaka. Jika ada nama dan tempat yang mirip, hanya sebagai bagian dari imajinasi penulis. Begitu pula dengan kata-kata (bahasa) yang campur-aduk yang memang disengaja untuk membuat kisah ini menjadi sedemikian rupa, dan mohon maaf jika tidak disertai terjemahannya.

Tim Mantan yang Malang:
Bu Anis Hidayatie
Pak Himam Miladi
Deddy Husein S.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun