Bukan tanpa alasan, penulis memilih untuk tidak memanfaatkan peluang tersebut. Pertama, karena penulis melihat sistem keamanan di bandara Indonesia tidak semuanya berada di performa yang bagus. Jika bagus, jelas, kita tidak akan mendapati adanya kabar tentang kunjungan dan transit turis asing di bandara Bali yang ternyata turis tersebut telah terkena virus Corona, dan baru terdeteksi di negara asalnya.
Mengetahui kabar semacam itu, tentu penulis sudah khawatir dengan situasi di sana. Karena lagi-lagi penulis tekankan bahwa mata kita tidak bisa mendeteksi keberadaan virus tersebut---gejalanya. Jadi bagaimana bisa kita tetap selow?
Bukan karena penulis paranoid, namun ini adalah langkah kepedulian dan pencegahan. Penulis tentu peduli---walau tidak tahu bagaimana perwujudannya---dengan kesehatan masyarakat Bali yangmana wilayahnya menjadi destinasi utama wisatawan domestik dan mancanegara. Jangan sampai masyarakat Bali terkena virus tersebut ketika mereka tentu tidak bisa asal menolak kedatangan turis mancanegara, bukan?
Inilah yang kemudian membuat penulis berpikir tentang alasan kedua, yaitu menginginkan Indonesia untuk sementara melepaskan diri dari hiruk-pikuk pariwisata global---dan selanjutnya nasional. Memang sangat merugikan secara finansial, namun untuk apa kita tetap memutar roda bisnis pariwisata jika mempertaruhkan kesehatan nasional?
Mana yang lebih penting, ekonomi sosial atau kesehatan sosial?
Saat berupaya menentukan pilihan sulit tersebut, kita harus bersedia mengacu pada apa yang dilakukan oleh negara-negara lain. Jika negara maju seperti Italia saja keteteran dalam menghadapi virus Corona, bahkan China saja juga sulit mencegah adanya penularan meski berhasil membangun rumah sakit pengisolasi pasien Corona dalam waktu singkat. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
KEMBALI KE ARTIKEL