Baru disitulah, si orang yang pernah berutang tersebut wajib malu jika rahasianya terbongkar. Apalagi jika nominal utangnya tidak akan mengurangi jumlah kekayaannya jika harus dilunasi. Jadi, kenapa tidak untuk segera ditebus?
Apalagi kita harus sadar bahwa di Indonesia, segala macam rahasia atau aib, seringkali menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Mereka kebanyakan akan sibuk membicarakannya tanpa pernah mempertimbangkan plus-minus terhadap subjek dan objek yang melandasi rahasia/aib tersebut.
Karena, berasumsi berdasarkan ranah subjektif itu mudah. Kita tinggal menyatakan versi masing-masing hanya berdasarkan prinsip masing-masing. Sedangkan, berasumsi secara objektif itu sangat sulit.
Bagaimana mungkin kita dengan ikhlas menyetujui langkah seorang pejabat atau tokoh masyarakat yang berutang dengan nilai yang mungkin seharusnya dapat dilunasi namun tidak segera dilakukan?
Pasti kebanyakan dari kita akan mengatakan itu tindakan buruk, abai, dan lain sebagainya. Kita tidak bisa berpikir lain, misalnya, mungkin orang itu masih memiliki prioritas lain dalam kehidupannya dan disitulah dia masih fokus menyalurkan hasil pendapatannya.
Kita susah mencari itu, apalagi memaklumi kesalahan orang, dan kebiasaan itu kemudian juga membentuk sikap bagi orang-orang yang dianggap salah, termasuk orang-orang yang memiliki utang.
Padahal tidak semua orang yang berutang dapat abai terhadap utang-utangnya. Bisa saja, ada orang-orang yang sangat bertanggungjawab terhadap utangnya dan dirinya juga dengan berani mengakui utang-utangnya karena dia merasa mampu untuk melunasinya -entah kapan.
Jadi, jika ada orang yang masih malu karena dia pernah berutang, kita sekarang sudah tahu apa alasannya. Hehehe.