Tidak sedikit orang yang setiap hari mendedikasikan waktunya untuk menulis selembar-dua lembar kertas, atau minimal sebaris-dua baris kalimat mulai berangan tentang menghasilkan buku. Entah kapan, tapi harapan itu sewaktu-waktu dapat muncul. Apalagi, jika intensitas menulis kian meningkat. Maka, orang tersebut akan semakin besar menaruh harapan jika suatu saat nanti akan melahirkan buku yang menampakkan namanya.
Awalnya, situasi semacam ini hanya menjadi simpanan setiap orang yang bahkan masih ragu untuk menyebut dirinya sebagai penulis. Wajar saja, karena menjadi seorang penulis, orang tersebut juga perlu membuktikan dirinya telah memiliki banyak tulisan. Selain itu, bukti terbaik untuk menunjukkan eksistensi sebagai penulis adalah keberadaan buku yang dihasilkan.
Memiliki buku adalah patokan yang paling prestisius hingga menjadi patokan dasar bagi penulis. Karena, dengan keberadaan buku yang dihasilkan, maka secara kualitas kepenulisan akan dapat dipertanggungjawabkan -bersama editor dari penerbit. Situasi ini awalnya sangat diperhatikan di masa sebelum abad 21 berjalan. Karena, saat itu media cetak masih menjadi satu-satunya media untuk menulis paling tepat bagi penulis.
Terbukti, media massa cetak seperti koran dan majalah masih menggelora di masyarakat. Setiap penulis yang berhasil menembuskan karya tulisnya di situ juga pasti akan tergelorakan namanya. Hingga tahap upgrading dari penulis-penulis tersebut adalah buku. Ketika penulis memiliki buku, maka elektabilitas dari penulis tersebut sudah tak perlu diragukan lagi.
Apalagi, saat itu, media publisher buku juga tidak sebanyak sekarang. Maka, secara kualitas editorial terhadap karya-karya tulis patut diacungi jempol. Sistem kurasi yang ketat juga melahirkan dorongan kepada para penulis untuk semakin giat dalam menaikkan standar tulisannya. Ini membuat penulis-penulis saat itu dapat dikatakan abadi.
Baik secara karya, maupun filosofi menulisnya. Sehingga, tidak mengherankan jika penulis-penulis lama masih lebih diperhitungkan dan selalu menjadi sasaran tembak sebagai pembicara oleh pihak penyelenggara seminar dan workshop kepenulisan.
Namun, seiring berjalannya waktu, dunia kepenulisan semakin berkembang. Hal ini dapat ditandai dengan banyaknya buku yang dicetak dan juga keberadaan penerbit buku kelas minor yang menjamur di setiap daerah -tidak lagi memusat. Semakin terlihat jelas pula, ketika semakin banyak orang yang ingin menjadi penulis di masa kini.
Terbukti, di sebuah komunitas menulis di Malang, kita dapat melihat di satu daerah saja ternyata terdapat banyak orang yang memiliki keinginan untuk melahirkan karya-karya tulis. Melalui KOMALKU Raya -nama komunitasnya- orang-orang yang menjadi anggotanya memiliki peluang untuk eksis sebagai penulis. Tidak tanggung-tanggung, media eksistensi tersebut adalah buku. Wow!
Semangat menulis dan menjadikan media buku adalah ranah yang harus disentuh oleh para penulis di Komalku Raya tersebut. Hal ini tidak lepas dari peran seorang perempuan asal Pujon yang bernama Anis Hidayatie. Beliau juga merupakan guru yang kemudian diketahui telah memiliki buku. Salah satu bukunya berjudul Salikah.