Jujur saja, niatan untuk kembali ikut lomba puisi adalah ketika saya mulai mengikuti proyek buku antologi yang diadakan oleh Komalku Raya, yang mana di situ membuka peluang para anggotanya maupun non anggota untuk berkontribusi. Karya yang dapat disetorkan pun beragam. Ada yang non fiksi dan karya fiksi.
Paling banyak karya fiksi adalah puisi dan cerpen, sedangkan esai dan reportase menjadi pilihan tepat bagi para penulis non fiksi yang ingin terlibat. Di situ, saya lebih memilih menyetorkan karya puisi. Pertimbangannya, karena menulis esai akan terlihat sangat polos dan saya juga menyadari jika saya salah satu orang yang tulisannya susah direm. Jadi, agar situasi para pembaca nanti kondusif dan tidak membuat buku tersebut dijual lagi atau dibuang -karena tulisan saya, maka saya lebih memilih puisi.
Memang, ini bukan berarti karya puisi saya lebih baik daripada karya non fiksi saya. Tapi, dengan melalui puisi, uneg-uneg saya akan terlihat lebih berwarna dibandingkan melalui esai. Selain itu, pembaca juga (bagi saya) akan lebih bebas menilai kualitas puisi saya dibandingkan esai yang lebih banyak bersifat informatif saja. Bagi saya, reaksi pembaca saat membaca esai saya hanya akan mendesah, "o... begitu".
Tentunya, ini bukanlah suatu hal yang menarik. Apalagi mengingat tulisan non fiksi saya juga belum seberapa bagusnya dibandingkan essay writers yang sudah malang-melintang di mana-mana. Oya, satu hal yang membuat saya lebih memilih untuk berpuisi di buku antologi tersebut adalah karena temanya.