Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Seandainya Indonesia Tanpa Listrik

5 Agustus 2019   12:54 Diperbarui: 6 Agustus 2019   02:30 70 6
Tulisan kali ini sebisa mungkin menjadi tulisan santai saya. Karena, kali ini saya ingin menanggapi fenomena pemadaman listrik (4/8) dan evaluasi pasca gempa Jawa Barat dan sekitarnya kemarin (2/8). Rasanya seperti dilema, di satu sisi saya tidak turut merasakan keduanya, namun di satu sisi, saya ingin turut berduka atas musibah itu yang menimpa masyarakat Indonesia khususnya bagian barat Pulau Jawa dan bagian selatan Pulau Sumatera. Semoga di sana segera recovery.

Saya akan membahas terlebih dahulu tentang mengapa saya sampai tidak merasakan keduanya (gempa hari Jumat dan pemadaman listrik hari Minggu). Di hari Jumat, lebih tepatnya di malam harinya saya sedang tidak berdiam diri. Memang, saya saat itu ada di dalam rumah, namun tidak dalam kondisi duduk/diam di satu titik. Beberapa kali saya mondar-mandir dari kamar ke ruang tengah dan dapur. Ada beberapa hal yang saya lakukan saat itu.

Perlu diketahui, bahwa saat itu saya juga sedang menyalakan tv -menonton tayangan sepakbola. Uniknya lagi, saya baru mengetahui kabar itu melalui info sekilas yang ditayangkan oleh tv yang sedang menayangkan siaran pertandingan sepakbola. Dari situ saya membuka ponsel saya dan memastikan kabar tersebut tanpa perlu memindahkan channel.

Seperti masyarakat Indonesia lainnya, saya juga mencari informasi melalui akun media sosial BMKG. Di sana terpampang jelas informasi itu dan sekilas saya juga membaca beberapa komentar masyarakat-net Indonesia bagian yang terkena dampak gempa tersebut. Semakin unik ketika saya mengetahui kabar jika getaran gempa itu terasa sampai ke tempat tinggal saya.

Hal ini diperkuat oleh pernyataan beberapa orang teman saya yang berada di sekitaran daerah tempat tinggal saya dan ini membuat saya bingung. Kenapa saya tadi tidak merasakannya, ya? Apakah orang yang terlalu sibuk itu bisa tidak merasakan gempa?

Lanjut ke mengapa saya juga tidak merasakan dampak pemadaman listrik pasca gempa. Perlu diketahui, bahwa saya bertempat tinggal di Provinsi Jawa Timur. Jika pembaca sering menjumpai "titimangsa" di akhir penulisan artikel saya, maka disitulah tempat tinggal saya sebenarnya -dan saat ini.

Itulah mengapa saya tidak turut merasakan dampak pemadaman listrik. Alasan lokasi ini pula yang membuat saya memaklumi diri saya sendiri ketika sebelumnya juga tidak merasakan gempa. Dari sinilah kemudian saya mulai berpikir keras tentang bagaimana jika tempat saya terjadi hal yang serupa? Bagaimana jika saya juga mengalami pemadaman listrik?

Sebenarnya pengalaman merasakan pemadaman listrik juga saya rasakan, bahkan masih sekitar awal atau pertengahan bulan Juli kemarin. Mungkin karena efek lama menunggu bayaran menulis, sehingga listrik tertunggak -hehehe... hanya becanda. Pastinya saya kurang tahu penyebab pemadaman listrik itu. Apalagi durasi pemadamannya juga tidak terlalu lama meski terjadi dalam 2-3 hari beruntun.

Di hari pertama, tentunya saya kaget dan bingung. Karena biaya listrik sudah terbayarkan di awal tahun, jadi akan terasa aneh jika PLN sengaja memutuskan aliran listrik ke rumah saya saja. Sehingga, saya berusaha positive thinking bahwa itu memang ada dari kebijakan daerah saya khususnya di blok tempat tinggal saya. Toh, setiap pukul 12.00 atau 13.00 WIB, listrik kembali menyala.

Saya pun akhirnya terbiasa ketika bangun di hari kedua dan ketiga tanpa "sumbangan" listrik. Memang, perbedaannya adalah tidak ada air "hangat" ketika mandi pagi, alih-alih membuat secangkir kopi. Sehingga, di hari-hari itu saya sedikit merubah jam beraktivitas saya termasuk menulis.

Tentunya saya harus menunggu sampai listrik menyala ketika ingin menulis. Begitu pula untuk membaca berita dan bercengkerama di ponsel. Harus saya kurangi agar daya baterai gadget saya bisa awet sampai siang.

Apa yang saya lakukan ini kemudian saya korelasikan dengan apa yang terjadi di wilayah pemadaman listrik kemarin (4/8). Memang terasa sulit, apalagi jika pemadaman itu berdurasi sangat panjang dan sampai malam hari. Namun, sebenarnya jika masyarakat Indonesia selalu membuka mata ke seluruh daerah Indonesia, maka, kita akan tahu bahwa di daerah-daerah lain juga pernah mengalami situasi yang serupa.

Salah satu contohnya adalah daerah Tanjung Palas di Kabupaten Bulungan, salah satu daerah di Provinsi Kalimantan Utara. Di sana sekitar tahun 2018 sampai awal-awal tahun ini sering diberlakukan pemadaman listrik. Bahkan, tidak hanya di kala pagi atau siang, namun juga sampai malam.

Kabarnya, hal ini terjadi karena kebijakan pemerintah daerah setempat dan (mungkin) langkah antisipatif maupun penghematan listrik secara massal dan paksa. Menurut orang yang tinggal di sana, hal ini terasa sangat mengganggu kegiatan sehari-hari. Apalagi bagi orang-orang yang berwirausaha. Biasanya, mereka sangat membutuhkan pasokan listrik yang stabil agar usahanya juga tidak terkendala.

Hal inilah yang membuat saya berpikir bahwa sebenarnya tidak hanya masyarakat daerah pasca gempa yang mengalami hal demikian. Masyarakat di daerah lain pun mengalaminya juga. Perbedaannya adalah standar kebutuhan kita dan jaringan kita yang terkadang berbeda.

Masyarakat Tanjung Palas yang mengalami pemadaman listrik itu tidak heboh -secara nasional. Mereka tetap dapat beraktivitas meski harus mampu mencari strategi agar tidak sampai mengambing-hitamkan listrik, apalagi PLN. Mereka juga tetap tenang meski pemadaman itu tergolong sangat sering dan di beberapa waktu dapat terasa sangat lama durasi pemadamannya.

Itulah yang membuat saya melihat bahwa masyarakat di daerah lain memiliki ketangguhan dalam menghadapi kendala tersebut. Padahal mereka sama seperti masyarakat di seluruh daerah; butuh listrik. Namun, mengapa mereka tidak viral dan tidak menyinggung kinerja PLN? Mengapa "masyarakat pasca gempa" justru mengeluh terhadap pemadaman listrik itu?

Ibu saya tadi malam sempat berkata bahwa, wajar jika listrik di sana padam. Karena di sana baru saja mengalami gempa (apalagi gempa tektonik). Inilah yang menggiring saya pada suatu fakta bahwa gempa tektonik itu memiliki potensi sangat besar dalam merusak Bumi. Tidak hanya berpotensi menghadirkan tsunami, namun juga mampu merusak pangkal listrik di Bumi -di daerah yang terkena gempa. Sehingga, apa yang terjadi di daerah pasca gempa itu sebenarnya adalah keniscayaan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun