Jauh dari tanah kelahiranku, namun ini juga bukanlah tempat yang asing bagiku. Karena tempat ini adalah tanah kelahiran ibuku, dan tanah ini dititipkan padaku untuk kutempati bersama adik perempuanku. Aku masih menikmati perjalanan baruku. Meski tanpamu.
Namun, aku setiap hari meneguhkan harapan jika kita akan kembali berjumpa dan bersatu kembali. Entah kapan. Apakah akhir tahun ini, tahun depan, atau harus menunggu kelulusanku dan adikku yang akan beranjak remaja. Aku belum tahu.
Setiap hari kulalui, dan sekelilingku terus menampakkan banyak hal untuk dapat kuperhatikan sampai ingin kumiliki. Namun, apa daya, aku tak tahu apakah aku dapat memilikinya. Entah kapan. Lagi-lagi, aku tidak tahu jawabannya.
Aku terus berjalan. Sampai tiba waktunya aku semakin berharap bahwa kita harus bertemu. Segera. Tidak tahun depan, tidak sampai adikku tumbuh menjadi gadis manis. Tidak sampai aku lulus dan tak sekolah lagi. Karena, aku ingin besok.
Ketika hari kemenangan bagi umat seagamaku berkumandang penuh riang. Ketika, hari penanda keberhasilanku menahan segalanya sebulan penuh tanpa perlu diatur siapapun. Aku merasa esok adalah saat yang tepat. Bahwa, kita harus bertemu.
Tanpamu, aku tidak yakin apakah ini adalah keberhasilanku untuk dapat menunjukkan diriku yang kuat menahan lapar dan dahaga. Karena, memang keadaan tak sanggup mengiming-imingi mataku dan kerongkonganku untuk menelan ludah penuh hasrat. Juga tak ada janji-janji manis untukku jika berhasil sebulan penuh tanpa bolong akan mendapatkan baju baru. Sungguh tak ada itu semua di pikiranku.
Karena, aku hanya menginginkanmu. Bagiku, kaulah simbol kemenanganku. Kaulah simbol kembalinya diriku menjadi suci. Laksana seonggok janin yang belum menggerus nafsu makan sang ibunya. Aku sungguh mengharapkan kepulanganmu. Agar aku dapat kembali memeluk pinggangmu dan menggelayut manja seperti dulu kala.
Aku ingin merayakan kemenangan yang kulalui dengan usaha dan yang kudidikkan kepada adikku. Aku ingin menunjukkan usahaku sebagai abang yang baik. Abang yang dapat menjadi panutan dan pelindung bagi adiknya. Itulah yang mengisi seluruh ruang mimpi di alam tidurku setiap malam, ketika aku ingin bercerita kepadamu.
Termasuk malam ini. Aku ingin kita bertemu keesokan hari, atau malam ini. Walau pada akhirnya dengan putus asa, kuucapkan beberapa patah kalimat padamu, "Pulanglah ibu, walau hanya di dalam mimpiku.
Aku ingin bertemu dan bertekuk lutut memohon maaf atas segala kenakalanku di masa lalu dan di masa depan.
Pulanglah, meski barang sebentar. Karena ini adalah hari terakhir kita berperang. Esok hari kita akan saling memaafkan dan berharap hidup kita lebih indah dari sebelumnya.
Pulanglah bersama takbir yang kulantunkan dalam kebisuanku. Tanpa ada yang perlu mendengarnya, tanpa ada yang perlu tahu pula jika aku menginginkanmu, lebih dari apapun. Aku ingin bersamamu, merayakan hari kemenangan ini. Kumohon!"
"Mas, ayo bangun!"
Aku terbangun berkat tangan kecil yang sudah wangi menepuk-nepuk pipiku. Dia tersenyum memandang wajahku yang entah sedang berupa seperti apa. Aku bergegas. Termasuk bergegas menyambut apa yang mereka sambut. Menyambut hari kemenangan meski tanpa ada rasa kemenangan sedikitpun di dalam pikiranku.
Aku tetap tersenyum dan mengangguk serta menjabat erat orang-orang yang berulur tangan padaku. Sesekali mataku sedikit berbinar ketika terdapat seamplop-dua amplop menyelip di tanganku. Namun, aku tak dapat larut di sana.
Tidak ada yang perlu kugembirakan ketika tidak ada dirimu, dan aku hanya terus berdoa bahwa kita akan segera bertemu, ibu. Di hari yang fitri suatu saat nanti. Bersama-sama, kita kembali berkumpul dalam satu atap yang sama, dalam lingkaran meja yang sama, dan dalam tawa-gurau yang sama.
Aku sungguh berharap kita dapat merayakan kemenangan kita yang tertunda selama bertahun-tahun sampai saat ini, 2019. 20 tahun aku menunggu dan bersama adik manisku yang sudah seperti gadis yang siap dipinang oleh laki-laki yang akan menjaganya sampai mati. Laki-laki itulah yang akan menggantikanku. Karena, diriku juga tak sanggup mengelak waktu.
Aku akan semakin menua. Namun, aku akan tetap berupaya mengejarmu melalui kereta mimpi yang selalu lewat tepat pukul 12.00 malam. Aku bergegas melompat naik. Masuk dan kemudian aku melihat ada di seberang gerbong. Aku melambaikan tangan, dan kau memilih tersenyum kepadaku.