Hal ini perlu, karena, apa yang sedang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini sangat variatif dan cukup panas. Bahkan sebenarnya sangat panas. Maka dari itu, dibutuhkan adanya penyegaran di atas panggung yang dapat membuat penonton dan masyarakat merasa 'tertolong'. Minimal tertolong dengan pemikiran dan saran-saran atau pendapat dari kedua pasangan calon (paslon) mengenai apa yang sedang terjadi di Indonesia saat ini.
Namun, apa yang terjadi di atas panggung debat puncak kemarin?
Kilas balik, perulangan, dan upaya untuk penegasan namun tidak tepat timingnya. Sehingga tampilan debat tadi malam (13/4) disebut monoton oleh beberapa penonton (termasuk penulis). Artinya, ada kebosanan. Itulah yang bisa dirasakan saat menonton debat kelima yang untungnya 'dipecahkan' dengan gemuruh para pendukung dari kedua paslon. Kegemuruhan itu setidaknya cukup memberikan pengaruh terhadap suasana debat yang secara kasat mata terlihat sama saja seperti debat pertama, kedua, dan keempat.
Namun, benarkah debat kelima itu membosankan?
Jika ditelisik dari awal, hal itu bisa terlihat demikian.
Karena, hal ini tak terlepas dari beberapa statement perulangan yang sudah diungkap pada debat-debat sebelumnya. khususnya untuk debat capres, yang mana pemikiran dan pendapat mereka tetap seperti itu sampai di separuh awal perjalanan debat kelima.
Hal ini ada bagusnya. Yaitu, adanya keteguhan dalam menjaga karakter dan pola pikir mereka dalam menghadapi segala peristiwa dan permasalahan di Indonesia. Artinya, kedua paslon tidak menunjukkan keplin-planan dalam bervisi-misi. Mereka tetap seperti yang sudah diperkenalkan di debat satu dan dua. Sehingga, masyarakat bisa tetap membedakan bagaimana pola pikir dan pola kerja di masing-masing paslon. Bahkan, masyarakat bisa semakin tahu apa perbedaan keduanya secara lebih gamblang di debat kelima ini.
Namun, di sisi lain, perulangan statement itu akan membuat keinginan masyarakat untuk mengetahui apa yang baru dari kedua paslon tidak terturuti. Salah satunya adalah bagaimana menanggapi atau setidaknya menyinggung tentang apa yang sedang (atau baru-baru ini) terjadi di Indonesia. Setidaknya, bagaimanakah keempat orang ini berpikir dan bertindak saat Indonesia memiliki permasalahan ataupun menyikapi adanya peristiwa-peristiwa yang beragam dan datang silih berganti.
Sebenarnya, jika diikuti secara lengkap sampai ke tahap akhir (sebelum sesi penutupan), kita bisa melihat upaya paslon nomor urut 01 untuk membawa diskusi ke arah yang lebih kekinian. Yaitu, membahas tentang e-Sport. Hal ini tak lepas dari pertanyaan paslon 01 ke paslon 02 tentang kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pengembangan e-Sport sebagai bagian dari perkembangan digital termasuk seperti yang disebut oleh Sandiaga sebagai bagian dari 'economy digital'.
Namun, yang disayangkan adalah ketidaksinambungan jawaban atau tanggapan dari paslon 02 terhadap pertanyaan itu, yang kemudian malah merujuk pada dunia pertanian. Secara logika orang dewasa ataupun orang tua, hal ini bisa dimaklumi dan bahkan disetujui. Namun, sebagai bagian dari upaya pengayoman terhadap kebutuhan orang muda (yang disebut kaum millenial), hal ini bisa disebut gagal total. Apalagi, jika melihat fakta zaman sekarang, bahwa orang muda adalah tonggak utama negara. Maka, sudah sepatutnya jika keberadaan kebijakan pemerintah terhadap kebutuhan masa kini dapat tercanangkan dan terwujudkan.
Pemikiran yang kontradiktif inilah yang membuat paslon 01 pada akhirnya memilih untuk menahan diri dalam membawakan pemikiran mereka terhadap apa yang sedang terjadi maupun apa yang akan terjadi nanti. Mereka memilih untuk mengimbangi pemikiran paslon 02 yang seperti berupaya untuk membangun ulang Indonesia.
Benarkah Indonesia harus dibangun ulang dan apalagi ditata ulang?
Apakah Indonesia begitu bobroknya sampai harus ada pengembalian misi ke arah sana?
Hal inilah yang sebenarnya menarik untuk diperhatikan. Bukan pada statements perulangan yang terjadi di debat tersebut. Namun, tentang penegasan pola pikir yang semakin terlihat jelas, bahwa ada perbedaan misi ke depan terhadap negara ini jika salah satunya resmi terpilih sebagai pangkal tombak negeri ini.
Antara Indonesia kian maju dengan memprioritaskan pengembangan segala sektor industri digital atau Indonesia kembali bergulat pada pencukupan hidup masyarakat berdasarkan melimpahnya sumber kebutuhan pokok.
Inilah yang sebenarnya bisa diambil dari debat final. Yaitu, penggambaran final yang semakin jelas, bahwa siapa yang bisa membawa kita melangkah maju ke depan, dan siapa yang akan membawa kita kembali ke rumah, membongkar perabotan, menyusun ulang, dan membuang barang-barang yang dianggap tidak/belum terpakai.
Bagaimana?
Sudah bisakah berpikir tentang itu?
Malang, 14-4-2019
Deddy Husein S.