Seperti yang sering penulis sebutkan di artikel maupun di pembicaraan bebas, bahwa, manusia itu bernaluri untuk bersaing. Faktor utamanya adalah tidak adanya kepuasan dalam menyukupi keinginan. Karena, seiring berjalannya waktu, keinginan akan menjadi kebutuhan, dan kebutuhan menjadi kebiasaan. Kebiasaan itu yang kemudian bisa menjadi budaya.
Namun, di sini penulis tidak menyebutkan tentang perundungan adalah budaya, ataupun korupsi adalah budaya. Melainkan kebiasaan yang kemudian ditiru secara masif. Karena, budaya itu seharusnya sesuatu yang dapat dilakukan berdasarkan nilai positifnya, bukan negatifnya. Tetapi, kebudayaan negatif itu sebenarnya ada, hanya kemudian diseret ke ranah perspektif. Maksudnya adalah atas sudut pandang, apa, siapa, dan mana, kebudayaan itu dinilai negatif?
Begitu pula dengan perundungan. Perundungan bisa menjadi biasa saja, jika hal ini terjadi karena ada pemicunya. Artinya, tidak akan ada asap, jika tidak ada api. Entah apinya kecil, maupun besar. Begitu pula di dalam kasus Audrey yang menjadi korban perundungan dan penyiksaan/pelecehan. Bisa jadi, ada penyebab yang terjadi dan melibatkan Audrey, sehingga membuat Audrey menjadi sasaran amuk para gadis penuh semangat (baca: gairah) itu. Hehehe...
Berbicara soal perundungan, kasus Audrey bukanlah yang pertama, bahkan bisa jadi akan ada kasus-kasus lainnya yang serupa. Kenapa?
Karena, manusia itu penuh persaingan. Titik.