Dalam keadaan panik, pemilik atau karyawan hotel yang dirazia biasanya lepas kendali. Tak berani memukul polisi, wartawanlah yang dianiaya. Lalu wartawan mengadu ke kawannya agar menangkap itu pemukul. Kawannya, si polisi, dengan senang hati. Kasus adalah (calon) uang. Pemimpin organisasi wartawan biasanya tetap membela kawan seprofesi tanpa reserve. Pemimpin pengusaha perhotelan, jika peduli, memilih jalan lobi. Ini memuakkan.
Atas nama peraturan karet, polisi bisa sewaktu-waktu merazia hotel tertentu dan bisa membiarkan hotel yang lain. Wartawan penempel polisi macam begini juga jauh lebih memuakkan. Atas nama hak publik untuk tahu, yang entah dari mana hak itu disematkan, wartawan mengurusi hal-hal sepele bahkan dengan tingkah arogan.
Petentang-petenteng dengan kameranya, mereka main sorot saja pada tamu hotel. Pikiran bawah maupun atas sadar mereka sudah meyakini, orang menginap di hotel pastilah mesum. Pada saat tertentu, bisa saja pemilik hotel menyuap polisi dan wartawan agar kasus tak diproses, dan peristiwa razia tak disiarkan. Undang-undang dan kamera cukup membawa 'berkah' buat polisi dan wartawan.
Negeri yang sialan memang seringkali tak memberi kepastian hukum. Jika mau berbenah, cantumkan saja dalam pasal-pasal, misalnya: bagi pemilik hotel yang setor minimal Rp 100 juta per tahun ke Polri, dijamin tidak dirazia. Dalam Undang-undang Pers cantumkan juga, misalnya: Bagi pemilik hotel yang pasang iklan minimal Rp 50 juta per tahun, dijamin tidak diganggu bisnisnya. Polisi perazia hotel dan wartawan pengekor polisi macam begini bejibun, yang telaten mengawasi korupsi pada tiarap.
#Setelah jengah baca ini>http://m.tempointeraktif.com/detail.php?rid=1&id=2&rubrik=HEADLINE