Merebaknya virus Corona (COVID-19) menjadi hal yang sangat menggemparkan dunia, khususnya di Indonesia sendiri. Virus ini menyebar ke berbagai daerah di Indonesia dan menjadi suatu pandemi. Menurut KBBI, pandemi didefinisikan sebagai wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas.
Pandemi COVID-19 di Indonesia membawa dampak yang begitu signifikan di dalam aspek kehidupan seluruh masyarakat yang ada. Mulai dari para pelajar dan mahasiswa diharuskan untuk belajar di rumah, lalu berlanjut ke pekerja-pekerja kantoran, pabrik, restoran, dsb., terpaksa harus menghentikan aktivitas mereka dan kembali meneruskannya di rumah. Pertemuan-pertemuan publik mulai dikurangi atau di-postpone terlebih dahulu demi menghindari kerumunan orang yang dapat memicu penjalaran virus ini.Â
Tidak cukup sampai di situ, pemerintah pun mulai menetapkan berbagai instruksi demi menjaga penularan tidak semakin parah, baik itu diberlakukannya social distancing, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), larangan mudik sebelum hari Lebaran.
Limitasi dari berbagai kegiatan ini mengakibatkan banyak kerugian dalam beragam sektor, khususnya pada sektor sosial dan ekonomi. Pandemi ini berimbas pada perekonomian di Indonesia, salah satunya adalah tingkat pengangguran. Tidak dapat dimungkiri bahwa banyak tenaga kerja yang terpaksa harus kehilangan pekerjaannya.Â
Namun, tidak hanya tenaga kerja yang selama ini sudah menjabat sebagai seorang karyawan yang harus merelakan pekerjaannya terputus, tapi juga banyak dari lulusan sarjana yang ikut menjadi kesulitan dalam mendapat pekerjaan.
Dilansir dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2019 yang kemudian diperjelas melalui infografik oleh katadata.co.id, dikatakan bahwa jumlah pengangguran secara keseluruhan di Indonesia sebesar 5,01 persen atau sama dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada bulan itu berjumlah 6,82 juta orang.Â
Namun, apabila kita melihat dari sisi lulusan akademiknya, justru lulusan diploma dan universitas yang mengalami kenaikan dalam jumlah penganggurannya. Lulusan diploma (I/II/III) yang menganggur sebesar 6,89 persen dan mengalami peningkatan sebesar 8,5% (dihitung dari Februari 2017 hingga Februari 2019), sedangkan lulusan sarjana (S1) sebanyak 6,24 persen dinyatakan menganggur, sehingga tingkat penganggurannya sejak Februari 2017 pun sebesar 25%.
Beberapa bulan setelah itu, tepatnya pada Agustus 2019, BPS kembali memperbaharui data terkait dengan angka pengangguran di Indonesia, termasuk lulusan dari diploma maupun sarjana. TPT-nya bertambah menjadi 5,28 persen dari bulan Februari 2019, walaupun hal ini tetap dianggap baik, oleh karena terjadinya penurunan dibandingkan Agustus 2018.Â
Angka sebesar 5,99 persen dari lulusan diploma dan 5,67 persen dari lulusan sarjana diindikasikan menganggur. Penyajian data ini memiliki arti bahwa sekalipun jumlah pengangguran yang berasal dari lulusan diploma maupun sarjana dari Februari hingga Agustus 2019 mengalami penurunan, namun jumlahnya masih terbilang cukup tinggi.Â
Kita dapat memberikan gambaran sederhana, misalkan terdapat 1.000.000 orang lulus dari kuliah. Jika dikatakan sekitar 5 persen dari lulusan itu menganggur, maka hal itu berarti ada 50.000 orang tidak bekerja. Jadi, pada intinya, jumlah pengangguran dari segi lulusan perguruan tinggi masih tergolong cukup tinggi.
Kaitannya dengan pandemi yang terjadi pada masa ini adalah banyaknya orang yang kesulitan dalam mencari pekerjaan, bahkan PHK pun tidak dapat dihindarkan. Dilansir dari data yang diberikan oleh Kementerian Ketenagakerjaan, lebih dari 1,5 juta orang telah kehilangan pekerjaan akibat dari pandemi COVID-19 ini, sebanyak 10,6% (sekitar 160 ribu orang kehilangan pekerjaan karena di-PHK) dan sisanya (89,4%) dirumahkan.
Dari pemaparan data di atas, kita dapat asumsikan bahwa data ini pasti mengalami perubahan, karena kita dapat melihat dari dampak yang menimpa perusahaan dan nasib dari para pekerja. Selain itu, lulusan perguruan tinggi pun akan semakin sulit dalam mencari pekerjaan, karena perusahaan sendiri terdampak dari pandemi ini, misalnya terjadi pengurangan atau bahkan pemberhentian proses produksi. Tentu hal ini akan berdampak pada pendapatan, baik itu bagi perusahaan maupun karyawan.Â
Para pekerja harus diberi upah, padahal kondisi keuangan dari perusahaan itu sedang mengalami penurunan, maka pilihannya adalah dengan mengurangi upah karyawan atau justru memutus hubungan kerja mereka. Persaingan untuk mendapat kerja pun semakin ketat dengan bertambahnya lulusan perguruan tinggi pada tahun 2020.
Bagaimana permasalahan ini dapat dicari jalan keluarnya? Tindakan apa yang hendaknya dilakukan oleh para lulusan perguruan tinggi, karyawan yang dirumahkan dan di-PHK? Pemerintah memberikan solusi dengan dikeluarkannya Kartu Prakerja. Kartu Prakerja merupakan bantuan biaya untuk mengikuti pelatihan guna meningkatkan keterampilan di dalam diri masing-masing individu. Kartu ini dapat dipakai oleh para pencari kerja, buruh, karyawan, pegawai, bahkan fresh graduate sekalipun. Pada intinya, masyarakat yang berusia di atas 18 tahun dan tidak sedang bersekolah atau berkuliah, dapat mengikuti program ini, meskipun memang lebih diutamakan bagi masyarakat yang pekerjaannya terdampak pada masa pandemi ini.
Kehadiran Kartu Prakerja ini memang terlihat memberikan harapan bagi para pencari kerja, termasuk para lulusan universitas dan mereka yang sedang mempersiapkan diri untuk bekerja, bukan? Namun, perlu kita ketahui bahwa eksistensi dari kartu ini sebenarnya lebih mengarah kepada menyediakan pelatihan yang nantinya meningkatkan keterampilan di dalam diri peserta pelatihan. Hal ini berarti keberadaan Kartu Prakerja harus dipandang sebagai persiapan untuk bekerja, bukan hanya untuk memberikan upah sementara bagi jumlah pengangguran yang ada.
Nah, bagaimana cara agar masyarakat paham bahwa kartu ini lebih mengedepankan pelatihan sebagai tujuan utama dari pembentukan program ini? Lalu, bagaimana dengan hanya mendapat tunjangan sebesar Rp3.550.000,00 dari pemerintah, masyarakat tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya? Pertanyaan-pertanyaan ini dapat dibantu penyelesaiannya dengan adanya peran dari pekerja sosial. Para pekerja sosial dapat menjadi sosok yang mengedukasi masyarakat agar mereka memahami secara betul fungsi dari kegiatan ini. Pekerja sosial memberikan penyuluhan kepada mereka untuk tidak bergantung kepada bantuan dari pemerintah saja, namun mereka juga harus bisa mandiri untuk berjuang demi kelangsungan hidup mereka. Misal, pekerja sosial bisa membantu masyarakat untuk dapat membuka usaha baru dengan keterampilan yang telah didapatkan lewat adanya Kartu Prakerja. Jika ada bagian dari masyarakat yang belum mendaftar, alangkah baiknya jika pekerja sosial menyosialisasikannya kepada mereka. Selain itu, pekerja sosial dapat menjadi ‘jembatan’ yang mengoneksikan antara sekelompok masyarakat yang sebenarnya memiliki keahlian dengan para pemilik modal yang peduli dan berniat untuk membantu para pencari kerja yang ingin membuka usaha kecil dan menengah yang segera bisa menghasilkan produk dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dengan demikian, pekerja sosial harus bersifat proaktif dalam memberikan informasi kepada kedua belah pihak yang membutuhkan bantuan, baik itu dari sisi masyarakat maupun sang pemilik modal.