Penyalahgunaan menjadi kata yang tepat mewakili sederetan fakta terkait kasus ini, terutama menyangkut penggunaan dana operasional institusi untuk kepentingan pribadi, mulai dari biaya beli sana-sini, bayar kamu-dia, hingga cicil ini-itu. Namun di sini tidak akan mengulik lebih jauh sosok SYL, karena selain seisi negeri ini sudah familar dengan itu, juga bagian menariknya dari kasus ini justru pada titik di mana penggunaan anggaran yang notabene tercatat terealisasi sesuai program instansi, malah bisa dengan mudah "disulap" jadi biaya rekreasi.
Sederetan contoh penyalahgunaan itu kemudian yang menimbulkan pertanyaan di mata publik  - Pertama, apakah penggunaan anggaran negara sudah diawasi dengan semestinya atau seperti apa pelaporan pertanggungjawaban anggaran di lingkup instansi pemerintah. Kenapa terkesan mudah dimanipulasi, diotak-atik sana-sini, tetapi tercatat apik dan bahkan tak jarang mendengar dapat mencapai prestasi dalam pengelolaan anggaran tetapi kemudian ditangkap atas pelanggaran.
Tiba-tiba terbersit di kepala - apakah tanggung jawab pengelolaan keuangan negara hanya dilihat berdasarkan persentase anggaran yang dihabiskan dan bukan dari apa yang dihasilkan? "Oke itu hanya pemikiran, namanya juga terbersit," tegas isi kepala.
Yang gak kalah bikin mengusik, yakni kedua, soal penyalahgunaan anggaran untuk fasilitas pribadi. Dengan mencuatnya kasus ini, sederet asumsi memunculkan kekhawatiran bahwa jangan-jangan hampir seluruh kebutuhan pribadi bisa diakomodir asal tidak ketahuan. Lalu apakah kasus ini jadi satu-satunya contoh penyalahgunaan untuk kepentingan serupa? atau justru sebetulnya hal semacam ini sudah jadi "budaya" yang dinormalisasi, hanya saja kali ini mau gak mau muncul ke televisi.
Bayangkan kalau ternyata kejadian serupa sudah jadi hal yang lumrah, mungkin hanya bervariasi dari sisi nominalnya hingga cakupan kebutuhan pribadinya.