Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Wanita dan Fenomena Langit-Langit Kaca

1 Mei 2013   09:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:19 798 0

Sumber : http://www.google.com

Dunia mengenal nama-nama seperti Indira Gandhi, Corazon Aquino, Benazir Bhutto, Golda Meir,Margaret Thatcher dan Hilary Clinton.Semuanya adalah perempuan yang berkecimpung di bidang politik, yang diakui banyak orang memiliki kharisma tersendiri karena mampu bersaing dengan para politikus laki-laki dan mendapatkan tempat tersendiri atas ke-khasan kepemimpinan yang mereka jalankan. Selain itu ada nama-nama lain yang cukup dikenal seperti CEO Meg Whitman, Avon’s CEO ( Andrea Jung), Secretary of state,Condoleezza Rice, The founder of teacher for America, Wendy Kopp, dan U.S. Army Lieutenant General Ann Dunwoody. Belum lagi nama-nama seperti Megawati Soekarno Putri, Martha Tilaar, Sri Mulyani, Mari Elka Pangestu yang cukup terkenal di Indonesia. Banyak orang berpendapat bahwa mereka adalah perempuan yang mampu menginspirasi banyak orang dengan kepiawaian mereka dalam memimpin, di dalam bidang bisnis, politik dan militer. Sejak dekade 1990-an jumlah perempuan yang bekerja di perusahaan- perusahaan maupun organisasi pemerintahan, baik di posisi managerial maupun non managerial mengalami kenaikan.

Keterlibatan perempuan dalam pelaksanaan pekerjaan (employement) mengisahkan dua sisi yang berbeda yakni good stories dan bad stories sebagaimana diungkap dalam tulisan Randy Albenda, yang berjudul Industrial relation Journal mengenai peningkatan peran perempuan dalam organisasi juga mampu menembus posisi manajerial, sekalipun dalam posisi yang sangat terbatas yang selama ini didominasi oleh kaum laki-laki. Namun ada pula kabar buruk yakni adanya perlakuan diskriminatif kebijakan manajemen organisasi/ perusahaan terhadap kaum perempuan.

Keterlibatan dan peningkatan karier perempuan dalam organisasi tidak hanya terjadi di negara benua Amerika, terutamadi Amerika Serikat dan Kanada serta di negara lainnya di Eropa, Negara Asia seperti Jepang, China, Hongkong, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, Thailand, dan bahkan Indonesia (Hess, 1997). Jumlah manager perempuan di negara-negara tersebut terus bertambah seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi secara kontras serta rata-rata tingkat pendidikan kaum perempuan yang mengalami peningkatan. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendidikan diyakini mampu membangun martabat dan kapasitas individu sehingga pada akhirnya kaum perempuan memiliki kemampuan untuk terlibat dalam proses yang terjadi di sektor publik yang lebih dahulu didominasi oleh laki-laki. Sekalipun demikian harus disadari bahwa kaum perempuan masih mengalami sejumlah diskriminasi dalam beberapa bidang. Dalam perusahaan-perusahaanperempuan masih mengalami berbagai perlakuan negatif terutama berkaitan dengan promosi karyawan, kelanjutan karier setelah berumah tangga, dan berbagai hal lainnya karena masih dianggap lebih pantas sebagai perempuan yang ada di rumah sebagai pengurus anak dan keluarga, berkaitan dengan peran kodrat alami sebagai perempuan sebagai pegurus rumah tangga.

Meskipun adanya data dan fakta mengenai perkembangan posisi kepemimpinan wanita, menerima perempuan sebagai seorang pemimpin bukanlah perkara yang mudah. Adanyakonstruksi sosial yang terbentuk dari sebuah realitas bahwa perempuan memiliki aspirasi untuk menjadi pemimpin di dalam sektor publik, bisnis, dan politik seringkali mengalami dan harus menerima kenyataan :’look like a lady’ versus ‘act like a man’. Ini mendukung asumsi adanya Glass ceiling bagi perempuan untuk meniti posisi kepemimpinan dalam manajemen sebuah organisasi.

Seorang wanita harus mampu menghancurkan glass ceiling, menembus konstruksi sosial, dan mematahkan mitos bahwa perempuan adalah mahluk yang lemah yang hanya berperan di sektor domestik yang cenderung puas sebagai penolong dan pengurus keluarga, namun punya potensi yang sama dengan laki-laki sebagai pemimpin dan mampu memimpin sesuai dengan cirinya (karakteristik dan ke-khasannya)serta tidak terjebak pada persfektif gender yang sudah terbangun di masyarakat.

Perempuan memiliki perilaku yang demokrastis dan partisipatif, seperti hormat pada orang lain, dan berbagi kekuasaan dan informasi terhadap orang lain. Bila menjadi pemimpin perempuan cenderung memimpin melalui pelibatan dan pemberdayaan dan mendasarkan pada kharisma, keahlian, kontak dan keahlian interpersonal dalam mempengaruhi orang lain. Dipengaruhi nature sebagai ibu, perempuan dipandang lebih memperhatikan manusia daripada memperhatikan prestasi dan kinerja karena wanita berkarakter emosional (lebih mengedepankan perasaan) dan cenderung menunjukkan karakter ini dalam bentuk yang lebih koorperatif dengan orang-orang disekitarnya. Pemimpin perempuan lebih mendengarkan, memotivasi dan memberikan dukungan bagi anak buahnya.Pemimin perempuan diangap dapat menggunakan negoisasi yang lebih baik, karena wanita cenderung kurang memfokuskan pada kemenangan untuk dirinya, kekalahan bagi kelompok lain, dan kompetisi. Kekuatan dalam berkomunikasi juga terjadi karena pemimpin perempuan menekankan pada membangun hubungan dan keakraban bagi bawahannya.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, masyarakat tidaklah mudah dalam menerima keberadaan wanita sebagai seorang pemimpin. Banyak isu gender yang berkembang yang tanpa sadar sudah membuat perempuan berada diurutan kedua setelah laki-laki. Wanita secara signifikan tidak mewakili kepemimpinan elite karena adanya fenomena the glass ceiling. The Glass ceiling adalah suatu batasan yang tidak terlihat (the invisible barrier) yang membuat wanita tidak atau sulit masuk dalamkepemimpinan elite atau atas .Wanita sudah banyak ditempatkan di bagian manajemen, namun masih di tataran posisi menengah saja, sulit untuk dapat menembus batas kepemimpinan atas (top manajeman).

Langit-langit kaca adalah sebuah fenomena global dimana wanita tidak proporsional terkonsentrasi di tingkat yang lebih rendah dan posisi kepemimpinan otoritas yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Meskipun langit-langit kaca umum dipahami sebagai penghalang terhadap perempuan, secara umum dapat juga dapat disimpulkan berkaitan dengan minoritas karena ras dan etnis juga. The Glass ceiling inilah yang menghalangi perempuan memiliki kesetaraan dengan laki-laki dalam kepemimpinan di sektor publik. (Diambil dari berbagai sumber-DFOS)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun