Rasa penasaran membawa gue akhirnya datang ke Nyokap pada suatu siang hari, berkata, "Bagi duit dong, Ma!"
"Buat apaan?" tanya Nyokap, menoleh. Tangannya sibuk menyetrika baju.
"Buat main pe'es. Murah, kok, Ma. Sejamnya cuma tiga rebu."
Mendengar kata murah, yang disandingkan dengan nominal tiga ribu, mata Nyokap melotot. Ia lalu dengan segera menyergah, "ITU MAHAL!"
"Tapi, itu udah tergolong murah kalo main di rental Bang Maman. Di rental lain malah ada yang empat rebu sejam."
"EH, ANAK TUYUL! LU DENGERIN, YE!" Nyokap meninggikan nada suaranya. Tangannya berkacak pinggang. "TIGA REBU ITU CUKUP BUAT JAJAN LU SELAMA TIGA HARI! TI-GA-HA-RI! SANA PERGI! MENDING MAEN YANG NGGAK PERLU NGELUARIN DUIT AJA!"
Sontak mendengar itu gue langsung ngacir kayak kucing garong yang bijinya diolesin balsem. Setahu gue, kalo dia sudah ngomong sama anaknya pake 'gue-elu', itu berarti amarahnya sudah meledak. Gue nggak mau, tuh, tetap cengo di sana saat doi sudah begitu. Bisa-bisa, besok, gue akan keluar dengan badan lebam-lebam dan tulang rusuk retak dikit (tapi nggak ngaruh).
Nggak dikasih duit buat main PS, membuat gue hanya bisa bengong setiap kali teman-teman cerita soal pengalamannya main PS 2. Seperti di sekolah misalnya, gue cuma bisa diam melongo acap kali mereka ngomongin tentang game PS 2. Momen itu membuat gue merasa seperti kambing congek: diam, celingak-celinguk nggak jelas, nggak tahu harus apa dan gimana. Itu membuat gue lalu jadi sering dicuekin ketika ngumpul dengan teman-teman di sekolah.
Namun, di antara teman sekelas yang ngomongin PS 2, ada satu teman yang gue tahu uang jajannya sedikit, tapi entah kenapa dia bisa fasih betul nyeritain pengalamannya main PS 2. Nama anak itu Surip. Dia adalah anak yang gue ketahui uang jajannya cuma seribu perak seperti gue.
"Lo dapet duit dari mana, Rip, buat main pe'es?" tanya gue ke Surip, suatu hari sepulang sekolah tanpa basa-basi. Surip ditanya begitu malah nyengir. "Yeee, ditanya bukannya jawab malah nyengir!"
"Gue maen pe'es nggak pernah bayar, De," ungkap Surip, akhirnya.
Gue lantas terkejut. "Kok, bisa? Bapak lo punya rental pe'es?"
"Boro-boro rental pe'es. Jadi tukang rental sendal jepit aja bapak gue belom tentu mampu!"
"Terus?"
"Gue setiap hari nongkrong di rental pe'es, De."
"Emang, kalo nongkrong di rental pe'es, bisa maen gratis gitu?"
"Ya, nggak. Tapi gue punya trik sendiri gimana caranya supaya gue bisa main pe'es gratis."
"Gimana caranya?"
Surip lalu menjelaskan kalo apa yang ia lakukan adalah nongkrong di rental PS, kemudian main dari sisa waktu orang lain. Jadi, ketika ada orang yang menyudahi permainannya di menit-menit terakhir, Surip akan beraksi untuk mengambil alih stick tersebut. Memang menurutnya cara ini untung-untungan. Dalam sehari, bisa saja Surip nggak mendapat kesempatan main PS. Namun menurutnya ini lebih mending dari pada nggak main PS sama sekali. Gue yang mulai tertarik dengan apa yang dilakukan Surip, bertanya, "Emang boleh nongkrong di rental pe'es tapi nggak maen?"
"Di rental deket rumah gue, sih, boleh. Tapi kayaknya semua rental pe'es sama aja dah."
Maka, keesokan harinya, untuk membuktikan apa yang dibilang Surip, jadilah gue datang ke rental PS dekat rumah. Gue perhatikan di sana, ada lima tv yang mana tv satu dan duanya dikerubungi banyak anak. Menurut Surip, ciri-ciri rental yang memperbolehkan anak yang nggak main untuk nongkrong, ya, yang kayak gini ini. Gue pun nimbrung dengan pede, mendaratkan pantat di ubin, kemudian dimulailah kebiasaan gue untuk nongkrong di rental PS berjam-jam, berharap bisa main dari sisa waktu orang lain. Hasilnya cukup memuaskan. Dari tiga hari nongkrong di sana, gue sudah enam kali berhasil main dari ngembat sisa waktu orang lain. Gue kini mulai nyambung ketika ngobrol di sekolah ngomongin tentang PS 2. Semua game yang kala itu sedang hits gue libas. Gue kini paham, ternyata berada di circle yang nyambung menyenangkan.
Rental tempat gue nongkrong berjam-jam adalah rental milik seseorang yang disapa Bang Maman. Bang Maman membuka usaha rental PS-nya berdampingan dengan usaha warung kelontong miliknya. Ia adalah bapak-bapak berperut buncit, rambutnya cepak, dan kumisnya lebat kayak ulat bulu nempel di bibir. Kadang saking lebatnya kumis Bang Maman, gue curiga, 'jangan-jangan kalo kumis itu dicukur, yang nampak langsung gigi dan gusi?' Jadi, di kepala gue yang kapasitas otaknya cuma 2 bit, gue membayangkan kalo Bang Maman nggak punya bibir atas. Kumis lebat itu hanyalah kedok untuk menyembunyikan wajahnya yang menyeramkan. Meski begitu, biar wajahnya setara pitbull, Bang Maman nyatanya adalah orang yang humoris. Ia kerap kali bercanda dengan anak-anak di rental PS. Salah satu candaan khasnya yang masih gue ingat, adalah kentut dengan suara menggelegar, kemudian menyalahkan yang lain sambil ngomong, "Buset! Abis makan orok lu, ye?" Kebiasaan kentut ini juga acap kali dilakukan Bang Maman bahkan saat dia sedang terlelap di lantai rental. Yang unik, suara kentutnya nggak pernah kalem. Kadang suaranya panjang diakhiri dengan bunyi yang menghentak, "Tiuuuuuuut ... BROT!!!" Kadang suaranya berupa rentetan panjang seperti peluru di medan perang, "PREPETPREPETPREPETPREPETPREPET!" Suara kentut itu menemani anak-anak yang senantiasa nongkrong di rental PS-nya. Jangan tanya baunya seperti apa. Tapi kalo kalian penasaran, baunya setara dengan bau bangkai komodo.
Sejak nongkrong di rental Bang Maman, gue jadi kenal dengan beberapa anak yang sering main di situ. Salah satu yang masih menempel di benak gue adalah Bang Heru. Dia adalah anak SMP yang sering bolos ke rental Bang Maman. Hampir setiap hari gue bisa menemukan Bang Heru main di tv pojok, menghabiskan waktunya dari jam dua belas siang hingga jam sekolah berakhir. Awalnya gue hanyalah bocah yang sering nontonin dia main. Berharap dari sana gue bisa main dari sisa waktunya. Karena terlalu sering nontonin inilah tiba-tiba suatu hari Bang Heru ngajakin gue main bareng. Itu lalu menjadi awal dari hari-hari selanjutnya, di mana Bang Heru selalu ngajakin gue join.
Namun, masa-masa indah gue bisa diajak Bang Heru main PS harus sirna ketika suatu hari dia ketahuan bolos sama bapaknya. Gue masih ingat, kala itu lagi seru-serunya main Down Hill Domination, muncul suara berat dari belakang yang tiba-tiba berkata, "BAGOOOOOS! PENCET TERUS, TUH, STICK! ENYOT KALO PERLU SEKALIAN KAYAK WAKTU LU NETEK AMA EMAK LU!"
"BAPAK?!" Bang Heru menoleh kaget. Kemudian, "PLAK!!!" Pipinya digampar.
Nggak butuh waktu lama untuk akhirnya dia digeret pulang sama bapaknya, lalu semenjak itu dia sudah nggak pernah lagi menunjukan batang hidungnya di rental PS.
Sialnya, kebiasaan diajak Bang Heru main membuat gue kurang puas ketika menjalani aksi lama. Gue jadi nggak sreg lagi buat nongkrong di rental PS, kemudian ngarep main dari sisa waktu orang lain. Gue kini sudah kecanduan PS seperti kebanyakan anak lain. Satu-satunya hal yang gue butuh, adalah dengan main PS minimal satu jam. Sekarang, pertanyaannya cuma satu: 'dari mana gue bisa dapat uang buat main PS?' Sempat terpikir untuk pergi ke bank terdekat, menyandera seseorang, kemudian mengancam, "SERAHKAN UANG KALIAN! ATAU SAYA BEKAP ORANG INI SAMPE MATI PAKE KOLOR BAPAK SAYA!" Tapi, rasanya, dengan wujud bocil dan badan kurus kerempeng, gue yakin nggak bakal ada yang takut sama ancaman gue barusan. Kalo pun nekat, yang ada pasti gue bakal di depak satpam bank, kemudian diusir, "PERGI LU! SONO PULANG NETEK SAMA EMAK LU!" Maka hal paling masuk akal satu-satunya adalah gue harus ngumpulin duit sendiri demi meredam hasrat bermain PS. Sekarang jadinya pertanyaan lain muncul: 'bisakah gue melakukannya?'
Dari pada nekat ngerampok bank yang bakal berujung diusir, gue lalu memilih nekat ngumpulin duit dari uang jajan gue sehari-hari. Gue tahan-tahanin nggak jajan, sehingga terkumpullah dalam seminggu semua uang gue enam ribu rupiah. Gue lalu bisa bermain PS selama dua jam. Meskipun waktu gue main ke rental Bang Maman jadi singkat dari yang tadinya setiap hari jadi seminggu sekali. Biarlah, gue pikir. Ini lebih baik dari pada nggak main PS sama sekali.
Sayangnya, hanya di minggu-minggu awal saja gue tahan untuk nggak jajan di sekolah. Pada Minggu berikutnya, pertahanan gue mulai goyah. Gue mulai kegoda acap kali ngelihat teman-teman di sekolah pada jajan. Padahal lucu juga bagaimana sebungkus cilok atau seplastik es teh bisa menggoyahkan iman gue dalam ngumpulin duit. Akhirnya, pada suatu hari saat jam bubar sekolah, raib sudah uang gue untuk gue belikan dua jajanan itu. Kini, nggak ada yang tersisa selain pupusnya harapan gue untuk bisa lagi merasakan nikmatnya bermain PS.
***
NGGAK bisa lagi bermain PS membuat gue ada di tengah permainan petak umpet anak-anak. Termasuk gue, ada sekitar sepuluh anak yang bermain di sana. Zaki, salah satu anak yang gue kenal, memperkenalkan Ardan, anak baru di tempat gue tinggal. Ardan memiliki badan yang nggak kalah kerempeng dibanding gue, rambutnya keriting mekar, dan kaca matanya teramat tebal. Wajahnya yang lugu membuat gue serasa seperti melihat Nobita versi dunia nyata saja. Sayangnya, Ardan nggak punya robot kucing bersuara serak yang dapat mengabulkan apapun keinginannya.
Permainan lalu berjalan seperti petak umpet pada umumnya. Anak yang jaga harus mencari keberadaan anak yang sembunyi. Semua terasa normal. Sampai tiba ketika giliran gue berjaga.
Kala itu, seusai menghitung sampai seratus, gue mulai bergerak untuk mencari keberadaan yang lain. Hampir setiap tempat yang sering dijadikan tempat sembunyi gue sambangi. Termasuk pula kos-kosan yang dihuni oleh banyak tukang roti. Gue bahkan sempat mendobrak salah satu pintu kamar di kos tersebut. Mendapati di dalamnya, salah seorang mamang roti sedang duduk nyender di tembok, asyik nyabutin jenggot pakai dua uang koinan yang dijepit. Gue bengong. Mamang roti juga ikutan bengong. Sesaat setelah hening yang agak canggung, akhirnya gue tutuplah pintu tersebut, kemudian pergi ke tempat lain mencari yang lain.
Langkah gue terhenti di sebuah gang tepat di sebelah bak sampah. Feeling gue berkata, 'ada kunyuk yang lagi ngumpet di bak sampah itu.' Benar saja, begitu gue buka tutup bak sampahnya, tampak Ardan sedang sembunyi, meringkuk bersama serpihan-serpihan sampah yang bau. Gue sontak berlari menuju ke tempat jaga sambil meneriaki namanya. Mau nggak mau Ardan keluar. Ia juga harus menerima nasib bahwa sehabis ini giliran dia yang jaga.
Sialnya, selang setengah jam sejak menemukan Ardan, gue nggak bisa menemukan yang lain selain dirinya. Bahkan ketika gue sudah pasrah duduk menunggu sekalipun, batang hidung mereka tetap nggak nongol. Gue lalu mikir, 'jangan-jangan mereka pulang ke rumah masing-masing?' Momen seperti ini bukan yang pertama kali gue alami. Gue hafal betul, kalo selama lebih dari lima belas menit nggak ada yang nongol, itu berarti mereka ngerjain gue dengan pulang ke rumah masing-masing. Akhirnya, jadilah gue duduk dengan bersungut-sungut di sebelah Ardan. Ia yang nggak paham dengan suasana hati gue dengan teganya ngomong, "Mereka jago-jago banget ya ngumpetnya?"
Gue lantas sewot. "Jago apaan?! Ini mah gue lagi dikerjain!"
"Dikerjain? Maksudnya?"
"Kalo udah lebih dari setengah jam nggak ada yang nongol, itu berarti mereka nggak ngumpet. Tapi pada pulang ke rumah masing-masing!"
"Lah, kok, gitu?"
"Emang gitu. Emangnya lo nggak pernah ada di situasi begini apa?"
Ardan menggeleng.
Sementara Matahari semakin pelit menampakan sinarnya, gue dan Ardan memilih pulang. Kami berjalan bareng ke rumah masing-masing, dan sesampainya di perempatan gang, Ardan memberi tahu gue rumahnya yang ternyata nggak jauh dari perempatan gang tersebut.
"Mau ke rumah gue nggak?" tawar Ardan.
"Laen kali aja, deh. Ini udah kesorean," jawab gue. Kami pun berpisah pulang.
Esoknya, sepulang mengaji rute pulang gue memang melewati depan rumah Ardan. Saat lewat di depan rumahnya, mata gue menangkap Ardan di halaman rumahnya, sibuk berkutat dengan seikat benang dan dua buah layangan. Gue yang paham Ardan sedang ingin menerbangkan layangan, kemudian menyapa, "Mao naekin layangan, Dan?"
Dia menoleh. "Eh, De! Iya, nih. Tapi susah banget nyambungin benangnya ke layangan."
"Maksud lo bikin tali kama? Sini sama gue! Gue tau caranya."
Seusai membuat tali kama, gue dan Ardan berunding soal di mana kami akan menerbangkan layangan. Ardan lalu mendapat ide untuk naik ke atap rumahnya melalui cabang pohon mangga yang menjalar. Pohon mangga itu berdiri kokoh di halaman rumahnya. Nggak butuh waktu lama untuk akhirnya kami tiba di atap genting, dan layangan itu kini terbang di langit, menari-nari ditiup angin.
"Gila! Tinggi bener layangannya!" Ardan kagum.
"Kalo benangnya lebih banyak, layangannya bisa terbang lebih tinggi dari ini!" jelas gue.
Lagi asyik-asyiknya nerbangin layangan, tiba-tiba muncul dari bawah seorang nenek-nenek yang tiba-tiba menegur, "Hei, siapa kamu?! Ngapain kamu ada di atap rumah saya?"
Ardan yang mengenali suara itu, berusaha menampakan sedikit kepalanya dari atas genting. "Nek, dia temen aku."
"ASTAGA! ARDAN!" Neneknya tiba-tiba panik. "NGAPAIN KAMU NAEK-NAEK?!"
"Tenang, Nek, tenang! Aku tau kok cara turunnya."
"Bukan gitu! Nanti kalo kamu jatoh gimana? Kepala kamu bisa kebentur, Nak! Nanti kamu jadi tolol seumur hidup!"
"Tanggung, Nek. Layangannya baru aja naek."
"TURUN SEKARANG! TURUN!"
Akhirnya, kami pun terpaksa turun. Setibanya di bawah, neneknya nggak henti-henti memberikan banyak petuah yang kalo gue dengerin kerasa lebay. Nggak lama nasihat itu berakhir dengan diberinya Ardan uang lima ribu oleh neneknya. Neneknya pun berpesan, "Sana jajan! Bagi dua sama temennya. Jangan naek-naek lagi ke atas genteng! Kayak beruk lepas kandang aja."
Kami berdua lalu ngacir ke warung untuk jajan es kenyot. Kemudian balik lagi duduk di teras rumah Ardan yang teduh.
"Maafin Nenek gue, ya!" ucap Ardan ke gue di sela-sela menghisap es kenyot.
"Santai," sahut gue. "Kayaknya semua nenek emang begitu, deh. Nggak pengen cucunya kenapa-napa. Ngomong-ngomong, lo tinggal berdua doang sama nenek lo? Bapak ibu lo mana?"
Ardan lalu menjawab panjang lebar soal keluarganya di rumah. Bapak ibunya kerja. Dia sehari-hari dititipkan ke neneknya di rumah. Di ujung obrolan itu, Ardan kemudian bertanya tentang permainan apa yang sekiranya sedang tren di sini. Gue lalu menjawabnya mantap, "Di sini anak-anak lagi keranjingan maen pe'es dua."
"Emang di sini ada rental pe'es dua?"
"Ada. Deket, kok. Dari sini tinggal lurus, terus belok kiri. Namanya rental Bang Maman."
"Wah, seru, tuh! Besok ke sana, yuk! Kita maen sejam."
"Mau aja, sih, gue. Tapi gue nggak punya duit."
"Gue bayarin!"
Sesaat mendengar kata 'gue bayarin', batin gue tersentak. Jarang-jarang ada anak di kampung ini yang mau bayarin gue main PS. Semenjak Bang Heru kegep bolos sama bapaknya, Ardan adalah orang kedua yang dengan sadar dan ikhlas mau ngajakin gue main PS.
"Serius? Gue nggak salah denger, kan?"
"Besok, jam setengah empat, dateng aja ke rumah gue! Nanti kita maen sejam."
Esoknya, pukul setengah empat saat gue sudah pulang ngaji dan berganti baju, gue datang ke rumah Ardan tuk menagih janjinya kemarin. Beberapa saat setelah gue meneriaki namanya empat kali, Ardan pun muncul. Ia muncul bersama dengan neneknya yang bermuka cemas. "Mau maen pe'es di mana?" tanya neneknya ke gue.
"Di pinggir jalan sana, Nek. Deket, kok. Dari sini lurus, belok kiri, terus sampe," jawab gue.
Neneknya Ardan lalu membolehkan cucunya pergi bersama gue. Ia lalu berpesan ke Ardan, "Selesai main langsung pulang, ya!"
"Iya, Nek," balas Ardan. Kami berdua lalu pamit.
Di rental Bang Maman, kami berdua main selama satu jam. Game yang pertama gue dan Ardan mainkan adalah GTA San Andreas. Di game itu, kami nggak menjalankan misi. Melainkan hanya keluyuran nggak jelas, bikin onar sana-sini, sambil mencoba beberapa cheat yang gue dan Ardan tahu. Semua itu kami lakukan atas dasar bersenang-senang. Itu lalu menjadi awal dari hari-hari selanjutnya di mana Ardan selalu ngebayarin gue main PS.
Suatu hari, karena selalu main game yang itu-itu terus, kami berdua dilanda bosan. Kami seenggaknya butuh game baru untuk dimainkan. Gue tadinya sempat nawarin Ardan beberapa game yang gue tahu, tapi dia menolak dengan alasan sudah pernah memainkan game tersebut dan katanya nggak seru. Lagi bingung-bingungnya mau main apa, mata Ardan tertuju ke seseorang yang bermain di tv pojok. Tampak di sana, seseorang sedang bermain sebuah game perang-perangan yang karakternya memakai senjata tradisional. Ardan lalu bertanya ke gue, "Eh, itu dia maen game apa, tuh?"
"Tanya aja, yuk!" ajak gue.
Kami lalu menghampiri orang tersebut. "Nama game-nya apaan, Bang?" tanya gue.
"Dynasty Warrior Lima," jawab orang itu tanpa menoleh.
Sontak, gue dan Ardan langsung memainkan game tersebut.
Ternyata mengejutkan. Game Dynasty Warrior 5 yang kami coba mainkan sangat seru. Grafisnya, karakternya, story game-nya, cukup untuk membuat hidung kami megar-megar kayak ikan koi kehabisan napas. Sejak itu, hampir setiap kali kala kami datang ke rental PS, kami selalu memainkan game tersebut. Awalnya kami hanya bermain Free mode. Lalu coba-coba bermain Mosou mode. Dari sana, muncul niat Ardan untuk menamatkan game tersebut. Ia lalu rela menebok celengannya untuk membeli sebuah memori card demi melancarkan niatnya itu.
Kesulitan terjadi saat kami memainkan game Dynasty Warrior 5. Ada satu karakter yang sulit sekali dikalahkan. Nama karakter itu: Lu Bu. Ia adalah karakter bersenjata tombak yang selalu membuat kami kewalahan. Masalahnya, hanya dalam beberapa serangan saja kami dikalahkan oleh Lu Bu. Belum lagi, darah tebal yang dimilikinya membuat kami makin sulit mengalahkan karakter tersebut. Lagi pusing-pusingnya menghadapi Lu Bu, beruntung ada seseorang di rental PS yang mau membagi pengalamannya mengalahkan karakter tersebut. Menurutnya, mengalahkan Lu Bu ada dua cara. Cara pertama, adalah dengan membiarkan darah kami sekarat, kemudian lari-lari menghindar sampai kolom jurus di bawah darah terisi penuh. Saat penuh, lancarkanlah serangan dengan menekan tombol 'O' bersamaan (jika bermain bersama teman). Lalu, ulang terus cara tersebut sampai darah Lu Bu nggak tersisa. Cara kedua lebih simpel, tapi agak sulit. Yaitu dengan mendapatkan item mosou rage, kemudian pakailah item tersebut untuk melawan Lu Bu dengan menekan R3. Sayangnya, kesulitan menemukan mosou rage membuat kami memakai cara pertama untuk mengalahkan Lu Bu. Meski begitu kami berhasil, dan Lu Bu akhirnya terkalahkan.
***
MASA di mana gue selalu ditraktir Ardan main PS adalah masa yang menyenangkan. Ya, gimana nggak menyenangkan coba? Orang dibayarin terus. Selama masa itu, hampir setiap jam setengah empat sore Ardan pasti nyamper gue ke rumah. Kalo gue belum pulang ngaji, dia pasti bakalan mondar-mandir ke rumah, nanya ke Nyokap berkali-kali, "Dean udah pulang belom, Tante?"
Kalo sudah begitu, Nyokap lah yang bakal pusing ngeladenin Ardan. Masalahnya, jarak antara dia datang dan kembali lagi itu cepat banget. Belum ada lima menit, Ardan pasti bakalan nongol lagi buat menanyakan hal yang sama. Nyokap lalu sebal. Ia pasti bakalan ngadu ke gue ketika gue sudah di rumah, "Dicariin, tuh, sama si Sarang Tawon!"
"Sarang Tawon? Siapa?" tanya gue, heran.
"Itu temen kamu yang suka ngajakin maen pe'es. Yang kaca matanya gede banget kayak kutang wewe gombel."
Gue langsung ngeh. "Oooh ... Ardan?"
"Ya, siapalah itu namanya. Eh, ngomong-ngomong, dia apa nggak mau cukur rambut?"
"Kenapa emang, Ma?"
"Itu rambut mekar banget kayak sarang tawon. Bawaanya, nih, ya, setiap dia ke sini, Mama pengen botakin aja, tuh, rambut mekarnya! Boleh nggak, ya? Kalo sekali-kali, pas dia dateng ke sini, Mama rejeng badannya, terus Mama jambak rambutnya sampe botak? Abis geregetan banget!"
Gue cengo.
Lalu ada kalanya ketika kami siap main PS, Ardan tiba-tiba disuruh neneknya untuk menyelesaikan PR-nya terlebih dulu. Gue, yang kelas lima, satu tingkat di atas Ardan yang masih kelas empat, kadang jadi ketumpuhan ngebantuin Ardan menyelesaikan PR-nya itu. Kalo PR-nya nggak susah-susah amat sih nggak masalah. Tapi kadang, ada satu hari di mana PR Ardan susah banget, dan itu jadi menyita waktu kami untuk main PS. Untung hari-hari seperti itu nggak terjadi setiap hari. Kalo iya, bisa habis waktu yang akan kami gunakan untuk main PS.
Namun bukan hidup namanya jika segala sesuatu selalu berjalan dengan baik-baik saja. Di saat gue dan Ardan lagi serius-seriusnya namatin Dynasty Warrior 5, kendala pun muncul. Ardan tiba-tiba nggak diperbolehkan lagi minta duit ke neneknya buat main PS. Hal itu terjadi karena nilai raport Ardan di semester pertama ini hancur parah. Orang tuanya marah. Mereka mengira anjloknya nilai Ardan terjadi karena dia keseringan main PS.
"Sampe kapan lo nggak dibolehin maen pe'es?" tanya gue ke Ardan, sore hari di depan pagar rumahnya.
"Kayaknya sampe UTS, deh. Sampe nilai gue bagus lagi."
"Masih lama dong?"
"Ya, gitu. Abis mao gimana?"
Belum sempat gue nanya-nanya lagi, tiba-tiba Bokapnya Ardan nongol dari balik pintu. Itu adalah pertama kali gue ngelihat Bokapnya Ardan secara langsung. Ternyata kepalanya botak kayak lampu taman. Ia juga memiliki kumis dan janggut tipis yang masing-masing tumbuh di atas bibir dan dagunya. Melihat itu gue heran, 'kok, bisa bapak dan anak punya model rambut berbeda?' Nggak lama Bokapnya Ardan bertanya geram ke Ardan, "MAU KE MANA KAMU?!"
"Nggak ke mana-mana, Yah," jawab Ardan. "Orang cuma ngobrol doang."
"MASUK!" perintah Bokapnya, tegas.
Ardan menurut.
Kini tersisa gue yang nggak tahu harus ngapain berhadapan dengan Bokapnya Ardan yang galak itu. Gue bengong. Bokapnya Ardan juga ikutan bengong. Sesaat setelah hening yang agak canggung, gue pun memilih ngacir dari sana sebelum dada gue disundul sama kepala Bokapnya yang mengilap itu. Gue pikir, pasti sakit rasanya kena hantaman benda tumpul.
Setibanya di rumah, soal Ardan yang sudah nggak dibolehin lagi main PS membuat gue melamun. Gue sedih, sekaligus kesal. Sedih karena nggak bisa lagi main PS bareng Ardan, kesal karena nggak punya uang buat gantian mentraktir dia main PS. Di tengah lamunan itu, muncul khayalan, andai saja gue punya banyak uang, mungkin momen seperti ini bukan masalah. Gue merasa seperti teman yang nggak berguna. Yang hanya bisa ditolong, tapi nggak mampu menolong balik.
***
HARI-HARI berlalu. Masa di mana gue nggak bisa lagi main PS, gue isi dengan banyak bengong. Gara-gara itu, Nyokap nyap-nyap tiap kali mendapati gue bengong. Ia bilang, "Jangan kebanyakan bengong! Ntar kamu kesurupan setan males!"
"Apaan, tuh, setan males?" tanya gue heran.
"Ya, setan yang males. Setan yang nggak mao ngapa-ngapain. Kerjaannya diem aja ngejogrok, kayak guci di rumah orang kaya."
"Nah, kalo kesurupan setan kaya raya ada nggak, Ma? Aku mau, tuh, kesurupan setan model begitu."
"Setan mana ada yang kaya raya. Orang kerjaannya cuma ngegoda manusia. Kalo mao, kamu mending kesurupan tuyul aja! Kan, lumayan, tuh, cuma keluyuran tiap malem bisa dapet duit! Ntar biar Mama yang jagain lilinnya."
"Yang pake acara jaga lilin bukannya babi ngepet?"
Nyokap diam sebentar, mikir, kemudian menampik, "Ah, perasaan tuyul, deh!"
Hening.
Esoknya hujan turun dengan lebat. Gemuruh petir sesekali menyambar, membuat akar pohon di langit, membuat sebagian orang mungkin akan menutup kuping ketika mendengar gelegarnya. Gue ada di ruang tamu. Duduk melamun menatap jalanan di luar jendela yang kini dihujam peluru rintik. Nggak lama Nyokap muncul. Ia berkata, "Dari pada bengong kayak uler nelen kodok, mending kamu beliin Mama sampo di warung, gih!"
"Tapi kan di luar hujan, Ma?" jawab gue beralasan.
"Ya, pake payung, lah. Alesan aja kamu! Gih, sana cepet! Beliin Mama sampo di warung!"
Dengan bersungut-sungut, jadilah gue ke warung untuk membelikan Nyokap sampo. Di jalan pulang, gue papasan dengan teman ngaji gue, Amar, yang kala itu basah kuyup. Ia hanya memakai kaus kutang dan celana pendek. Sebuah payung dijinjingnya di tangan kanan. Badannya yang gempal, kaus kutangnya yang sempit, membuat udel bodongnya yang setara diameter kubah masjid itu mencuat ke mana-mana, seolah menantang siapa pun yang melongoknya. Nggak lama gue menegurnya ketika kami sudah mendekat. "Lu abis mandi ujan di mana, Mar?"
"Gue abis ngojek payung," jawab Amar seraya mengangkat payung yang dijinjingnya di tangan kanan.
"Ngojek payung? Di mana?"
"Depan stasiun. Lumayan, De. Nih, hari ini aja gue dapet tujuh rebu!" Amar memperlihatkan uang hasil ngojek payungnya yang basah.
Gue sontak melotot. "Serius, Mar, sehari doang dapet tujuh rebu?"
"Kadang bisa lebih malah. Seminggu yang lalu aja gue dapet sampe dua belas rebu."
Mendengar itu, batin ini tergiur. Sontak gue langsung bilang ke Amar, "Kapan-kapan ajak gue dong, Mar!"
"Lo mao? Boleh aja. Tapi ada syaratnya!"
"Apaan syaratnya?"
"Selama tiga hari lo ngojek payung bareng gue, lo harus bayar tiap harinya serebu ke gue! Ya, anggep aja uang itu buat biaya ngelatih lo ngojek payung. Gue bakal bimbing lo jadi tukang ojek payung yang pro."
"Halah. Ini mah pemerasan namanya. Masa ngojek payung aja harus ada istilah pro segala?"
"Yeee, lo jangan ngeremehin profesi ojek payung! Profesi ini yang udah bikin gue kenyang setiap hari," Amar menepuk perut karungnya. "Mao nggak? Kalo nggak mao gue pegi, nih!"
"Eh, tunggu-tunggu!" gue menahan Amar. "Oke, deh, Mar. Gue mao. Tapi janji, ya, cuma bayar serebu selama tiga hari?"
"Sip," Amar mengacungkan jempol. "Besok, kalo hujan, dateng aja ke rumah gue! Nanti kita sama-sama berangkat ngojek payung ke stasiun."
"Kalo besok nggak ujan, Mar?"
"Ya, tunggu besoknya lagi kalo ujan. Ngapain lo nggak ujan ngojek payung? Kayak orang tolol aja."
Gue garuk-garuk kepala, nyengir, kemudian nggak lama kami berpisah.
Esoknya hujan turun lebih lebat. Gue langsung keingat punya janji sama Amar buat ngojek payung bareng. Dengan segera, gue sambar sebuah payung, gue ganti pakaian ke yang lebih jelek, lalu pamit ke Nyokap berkata bahwa gue pengin ngojek payung hari itu. Nyokap awalnya nggak setuju. Tapi dia luluh begitu gue bilang, gue ngojek payung buat dapetin uang jajan tambahan.
"Pergilah, Nak," ucap Nyokap di ambang pintu. "Cari pelanggan yang banyak. Kalo ada pelanggan yang nggak mau bayar jasa ojek payung kamu, getok aja lak-lak-annya pake gagang payung! Jangan ragu-ragu! Yang kenceng sekalian biar, tuh, orang tenggorokannya bolong!"
"Iya, Ma," jawab gue, kemudian gue ngacir ke rumah Amar.
Setibanya di rumah Amar, dia langsung memboyong gue ke depan stasiun. Akan ada banyak orang yang membutuhkan jasa ojek payung di sana, katanya. Di perjalanan, Amar memberikan sedikit tips dan triknya dalam mengojek payung. Katanya, untuk bisa menarik pelanggan yang banyak, kalo bisa kita si penyedia layanan ojek payung harus menunjukan muka yang semelas mungkin. Tujuannya satu: agar orang lain kasihan dan mau memakai jasa ojek payung kita. Demi mendapat muka melas yang natural, Amar berkata kalo dia sampai menahan lapar sedari pagi. Gue lalu ngeh kenapa hari itu muka Amar pucat banget kayak gembel belum makan pizza tiga hari. Dia sepertinya totalitas banget menjalani pekerjaan ngojek payung ini.
Singkat cerita, di hari pertama gue ngojek payung, uang yang gue dapat adalah enam ribu rupiah. Dengan tarif lima ratus rupiah sekali ojek payung, gue mendapat pelanggan hari itu sebanyak dua belas. Amar beda lagi. Dia yang lebih senior dalam dunia perojek-payungan mendapat sembilan ribu rupiah. Belum lagi ditambah biaya yang gue janjikan kemarin, uang Amar genap sepuluh ribu.
Dari uang hasil ngojek payung itu, esoknya gue datang ke rumah Ardan tuk mentraktirnya main PS. Ketika gue sampaikan maksud kedatangan gue hari itu, bukannya senang, Ardan justru melongo. Ia kemudian bertanya, "Emang lo punya duit?"
Gue agak tersinggung ditanya begitu. Ya, gue tahu, gue ini anak orang nggak punya. Jangankan buat main PS, buat makan sehari-hari aja udah kempat-kempot. Alih-alih marah dan nggak terima ditanyai begitu, gue lalu bilang ke Ardan, "Ntar gue kasih tau, dari mana gue bisa dapet uang buat main PS."
Ardan membenamkan rasa penasarannya sejenak. Ia beranjak mengambil sandal, kemudian pergi bersama gue ke rental PS. Di rental PS, ketika permainan berlangsung, gue cerita kalo uang yang gue dapat untuk mentraktirnya hari itu adalah dari ngojek payung. Mendengar kata 'ngojek payung' dahi Ardan mengernyit. "Apaan,tuh, ngojek payung?"
"Masa lo nggak tau ngojek payung?" gue bertanya balik, heran.
"Apa bedanya sama ojek motor?"
"Ya, beda lah, dodol. Ojek motor ngojeknya pake motor. Kalo ojek payung ya ngojeknya pake payung!"
Ardan tercenung. Mukanya kelihatan mikir. Nggak lama, apa yang terucap dari mulutnya cukup membuat gue tersentak. "Berarti, kalo ada orang yang make jasa ojek payung lo, orangnya bakal naek ke atas payung, gitu?"
"Astaga, Dan! Lo kenapa jadi dongo banget, sih? Mana kuat gue bawa badan orang pake payung?"
"Terus, kayak gimana dong?"
"Dan ... Dan ..." gue geleng-geleng. "Pantes nilai raport lo kemarin jeblok. Logika lo aja tumpul!"
"Ya, maap. Gue kan nggak tau."
Gue lalu menjelaskan bagaimana cara kerja ojek payung ke Ardan. Dia manggut-manggut. Sesaat setelah gue selesai menjelaskan, barulah dia nyengir kayak monyet kebanyakan nyemil lem aibon. Ia sadar, bahwa perkiraannya tadi itu ngaco banget. Agak malu dia bilang, "Gue pikir, ojek payung itu sama kayak ojek motor. Sama-sama naikin orang ke atasnya."
Esoknya, ketika hujan turun lebat, dan gue ingin berangkat ngojek payung, Ardan tiba-tiba nongol di depan rumah gue. Ia datang hari itu bukan untuk ngajakin gue main PS. Melainkan minta ikut dengan gue buat ngojek payung bareng.
"Lo serius, Dan, mau ikut gue ngojek payung?" tanya gue
"Serius. Makanya gue ke sini."
"Tapi, lo udah ijin sama nenek lo belom?"
"Hmmm ... gue ke sini bilangnya mau mandi ujan, sih."
"Lah, gimana? Ntar kalo nenek lo tau lo bo'ong gimana?"
"Makanya itu jangan sampe ketauan. Gue bo'ong, bilang mau mandi ujan bareng lo, biar gue bisa ikut lo ngojek payung. Please, De, jangan nolak! Gue juga butuh duit tambahan semenjak nggak dibolehin lagi minta sama Nenek."
Alhirnya, karena kasihan, gue izinkan Ardan buat ikut pergi ngojek payung bareng gue. Gue pinjamkan dia sebuah payung. Lalu dari rumah kami pergi bersama-sama menemui Amar. Amar, yang melihat ada anak baru selain gue yang ikut ngojek payung, lagi-lagi melancarkan aksinya untuk meminta upeti dari Ardan sebagai tanda jasa membimbing. Dia nggak keberatan. Lalu dimulailah sejak itu petulangan kami ngojek payung demi mendapatkan uang untuk main PS.
Semenjak gue dan Ardan ngojek payung, kami nggak khawatir lagi soal biaya main PS. Kami punya sistem ganti-gantian mentraktir. Kalo hari ini Ardan yang bayarin gue main PS, maka tugas gue adalah beliin camilan dan minuman untuk menemani kami main PS. Pola seperti ini berangsur berulang-ulang, berhari-hari, hingga sampai berminggu-minggu. Sampai nggak terasa sudah hampir tiga bulan saja kami menjalani aksi ngojek payung demi mendapat uang buat main PS. Semua terasa lancar. Sampai Ardan ketahuan bonyoknya ngojek payung.
"Lo mending cabut, deh! Soalnya Bokap gue marah banget pas tau gue ngojek payung," ungkap Ardan, sore hari di depan rumahnya ketika gue temui.
"Kok, bisa ketauan, si, Dan?" tanya gue.
"Ceritanya panjang. Jadi, intinya, salah satu pelanggan ojek payung gue kemarin, ternyata temen arisan Nyokap gue."
"Lah, kalo dia temen Nyokap lo, kenapa lo nggak ngumpet? Kenapa lo mao aja jadiin dia pelanggan lo?"
"Itu dia masalahnya! Gue awalnya nggak tau kalo dia temen Nyokap. Sekarang semuanya udah terlanjur."
"Aduh!" gue menepuk jidat. "Terus sekarang gimana?"
"Lo mending buru-buru cabut, deh! Soalnya lo lagi diincer sama Bokap gue!"
"Hah? Salah gue apaan?"
"Jadi, Bokap gue ngira, lo yang ngehasut gue buat ngojek payung. Dia nggak percaya biarpun gue udah jelasin kalo gue ngojek payung karena keinginan sendiri. Lo mending sekarang cabut, deh! Gue nggak mao lo kena tabok sama Bokap gue. Dia suka nabok orang soalnya!"
"Serius, Dan?" gue langsung jiper.
"Serius. Dulu, nih, ya, dia pernah nabok gue beberapa kali, nabok preman pasar gara-gara preman itu ngegoda Nyokap waktu muda, sama, yang terakhir, dia suka nabok ..."
"Tentara?" tembak gue, cepat, berpikir kalo Bokapnya Ardan suka nabok orang yang kebanyakan orang nggak berani tabok.
Ardan menggeleng. Ia lalu dengan cepat menjawab, "Nyamuk."
Hening.
Sejak itu, gue jadi nggak berani nunjukin batang hidung gue di rumah Ardan. Jangankan nongol buat nyamper dia, sekedar lewat di depan rumahnya aja gue nggak berani. Gue takut papasan sama Bokapnya Ardan yang botak galak itu. Kalo itu sampai kejadian, kemungkinannya ada dua: gue bakal ditabokin sampai gempor, atau dada gue bakal dibikin remuk sama kepala botaknya yang kayak ujung pukulan bedug. Sekali lagi, pasti sakit rasanya kena hantaman benda tumpul. Gue menjaga jarak dari Ardan sejak hari itu.
Nggak pernah nongolnya gue di rumah Ardan, membuat gue jadi sering main di rental PS sendirian. Awalnya gue masih happy aja main sendiri. Namun, lama kelamaan bosan juga. Gue pernah mengajak salah satu anak di sana buat main, namun semuanya nggak ada yang seasyik Ardan. Gue lalu banyak melamun. Pada momen itu gue sadar, kehilangan teman mungkin adalah hal paling mengenaskan di muka Bumi.
***
SEBULAN berlalu sejak terakhir kali gue dan Ardan ketemu, dia tiba-tiba nongol begitu saja di depan rumah gue. Kala itu hari Minggu. Jam menunjukan pukul sepuluh pagi. Gue awalnya nggak tahu Ardan nyamper. Sampai Nyokap datang ke kamar gue, kemudian ngomong, "Ada si Sarang Tawon, tuh, di depan!"
'Ardan?' gumam gue dalam hati. 'Ngapain?'
Gue lalu menemui Ardan di depan pintu. "Eh, Dan. Ada apaan?"
"Ke rumah gue, yuk! Ada yang pengen gue tunjukin ke elo."
"Apaan?"
"Udah ayo ke rumah gue dulu!"
"Nggak, ah. Ntar gue ditabok lagi sama bokap lo."
"Nggak, nggak. Dia udah jinak, kok."
"Yakin lo?"
"Yakin."
"Suer?"
"Suer. Tekewer-kewer malah."
Akhirnya, setelah ragu beberapa detik, jadilah gue ikut Ardan ke rumahnya. Setibanya di teras, gue lihat Bokapnya Ardan sedang duduk nyantai di sana, asyik sibuk membaca koran sambil menghisap kreteknya. Ia tampak cuek saja ketika kami datang. Sementara gue, yang masih takut akan bayang-bayang bokapnya yang suka nabok, refleks langsung memegangi kedua pipi.
"Kamu kenapa megangin pipi gitu? Lagi sakit gigi?" tanya Bokapnya Ardan setelah dia ngeh gue datang.
"Nggak, Om. Saya takut dita---"
"Takut pipinya luntur, Pa," jawab Ardan, cepat. Kakinya menginjak kaki gue.
Bokapnya Ardan mengernyitkan dahi. "Luntur? Itu pipi apa cat tembok?"
"Sekarang emang lagi musim, Pa, orang pipinya pada luntur. Udah, ya! Aku mau ajak Dean masuk dulu."
"Misi, Om," ucap gue seraya mengekori Ardan. Nggak lama gue masuk diiringi dengan tatapan heran Bokapnya Ardan yang masih bingung.
Hari itu, ternyata apa yang ingin Ardan tunjukan adalah sebuah konsol game PS 2 baru pemberian Bokapnya. Dia amat kegirangan. Wajahnya nggak beda seperti lutung panen pisang. Di momen itu, sambil memamerkan PS barunya, Ardan berkata, "Sekarang kita nggak perlu maen di rental pe'es lagi, De. Kalo mao maen tinggal ke rumah gue aja! Gue juga udah beli beberapa kaset, salah satunya ada ...," Ardan berusaha menunjukan salah satu kaset. Ia lalu memperlihatkannya ke gue. "JENG! JENG!"
"DYNASTY WARRIOR LIMA?!" gue terkejut.
"Sekarang, kita bisa namatin game ini dengan tenang," Ardan nyengir.
Momen itu membuat kami jadi nggak pernah lagi nongol di rental Bang Maman. Gue juga jadi meninggalkan profesi ojek payung sejak itu. Kegiatan kami bermain PS pindah ke rumahnya. Tujuan gue tercapai. Kini gue bisa main PS tanpa khawatir lagi soal dari mana gue bisa dapat uang untuk menyewanya.
Main PS di rumah Ardan jauh lebih nyaman ketimbang di rental. Nggak ada tuh bocil-bocil berisik yang sotoy ngasih tahu ini dan itu ketika kami main. Ardan juga dimanja oleh nenek dan ibunya di rumah. Setiap kami main PS, pasti selalu ada camilan yang disediakan nenek atau ibunya. Gue yang hampir setiap hari main ke rumah itu, jadi kecipratan enak atas jamuan yang diberikan. Ardan nyengir. Gue pun ikut-ikutan nyengir. Kami merasa sangat bahagia kala itu, sebab nggak perlu lagi repot-repot datang ke rental Bang Maman untuk main PS.
Bulan-bulan berlalu. Tiga hari menjelang libur kenaikan kelas, gue ada di rumah Ardan, main PS seperti biasa di kamarnya. Setelah main Dynasty Warrior selama dua jam, kami bermain GTA San Andreas untuk selingan. Kebiasaan kami masih sama: muter-muter keliling kota, bikin onar sana-sini, sambil nyoba beberapa cheat. Biasanya ketika melakukan itu, wajah kami ceria. Namun ada yang berbeda hari itu. Wajah Ardan datar. Ia seperti memikirkan sesuatu di luar game yang kami mainkan.
"Lo baik-baik aja, Dan?" tanya gue memecah keheningan.
Ardan diam saja. Gue lalu memutuskan untuk berhenti tanya-tanya. Beberapa menit setelah pertanyaan itu pecah, tiba-tiba Ardan menekan tombol start. Gue sontak menoleh.
"Seminggu lagi gue bakal pindah rumah, De."
"Pindah rumah?!" gue terkejut. "Ke mana?"
"Depok."
"Serius, Dan?"
Ia mengangguk.
"Terus kenapa? Bukannya enak ya pindah rumah? Gue aja, nih, ya, dari dulu pengen banget pindah ke rumah yang baru. Abis bosen gue tinggal di rumah itu mulu."
"Justru menurut gue pindah rumah itu nggak enak. Bayangin aja! Gue harus ada di lingkungan yang baru, sekolah yang baru, yang mana itu bakal ngebuat gue jadi mulai dari awal lagi. Pokoknya nggak seru, deh."
"Jadi, lo nggak setuju pindah rumah?"
Ardan menggeleng. "Gue udah betah tinggal di sini."
Suasana mendadak hening.
Keadaan berubah sejak itu. Ardan sepertinya nggak bersemangat lagi main PS. Dia, yang biasanya nongol nyamper gue di depan rumah, kini jadi nggak pernah nunjukin batang hidungnya lagi ke rumah gue. Keadaan juga jadi serba salah buat gue. Pengin datang ke rumahnya nggak enak. Menunggu pun nggak ada hasilnya. Akhirnya, selama beberapa hari ke depan, gue harus rela kehilangan kesempatan bermain PS.
"Mending kamu ke rumahnya aja! Ajak ngobrol. Siapa tau dia sedih karena mao pindah rumah," ucap Nyokap ketika gue curhat kepadanya.
"Tapi, kalo dia lagi nggak mao ketemu aku, gimana?"
"Coba dulu."
Akhirnya, atas saran Nyokap, gue pun pergi ke rumah Ardan. Ardan awalnya mengira kalo gue datang untuk bermain PS. Namun gue buru-buru menjelaskan kalo kedatangan gue hari itu hanya ingin mengajaknya mengobrol.
"Hari apa lo pindah, Dan?" tanya gue.
"Minggu. Tiga hari dari sekarang," jawab Ardan, datar.
"Gue paham, kok, rasanya ninggalin sesuatu yang udah ngebuat kita nyaman."
"Emangnya lo pernah pindah rumah? Bukannya waktu itu lo bilang, lo nggak pernah pindah rumah?"
"Ya, emang nggak. Tapi, dulu, sekitar umur lima tahun, gue pernah tinggal lama di kampung halaman. Waktu gue harus balik ke Jakarta, gue merasa nggak rela. Gue udah terlanjur nyaman sama kampung halaman tempat gue lahir. Suasananya, temen-temennya, kebiasaannya, pokoknya enak, deh. Tapi, ya, apa mau dikata. Gue harus balik ke Jakarta. Dan menjalani kehidupan gue di sini."
Ardan terdiam. Ia terlihat merenung. Nggak lama dia buka suara. "Apa yang bakal gue alami nanti, sama kayak game over dalam game nggak, sih?"
"Maksudnya?" tanya gue nggak ngerti.
"Ya, gue harus mulai dari nol lagi. Dari awal lagi. Kayak main game."
Gue mengangguk pelan. Omongan Ardan mungkin ada benarnya.
Esoknya gue datang lagi ke rumah Ardan yang hari itu sudah mulai ada aktifitas mengemas barang. Di teras, nampak teronggok dua buah lemari besar yang kosong melompong. Nyokapnya Ardan nggak lama keluar dan terlihat sibuk mengatur kuli-kuli angkut yang disewa keluarganya. Ia lalu nggak sengaja melihat gue di ambang pintu pagar. "Eh, Dean? Mao nyari Ardan, ya? Tapi, maaf, Ardan-nya nggak boleh main pe'es dulu. Dia harus kemas-kemas barangnya sendiri di kamar."
"Aku nggak mao maen pe'es, Tante. Aku mao bantuin Ardan beres-beres di kamarnya," jawab gue.
"Oh, gitu?" Nyokapnya Ardan terlihat antusias. "Ya, udah ayo masuk! Lumayan ada tambahan tenaga."
Gue lalu menemui Ardan di kamarnya. Setelah mengatakan maksud gue, kami pun beberes bareng.
"Semua komik ini punya lo, Dan?" tanya gue ke Ardan ketika melihat tumpukan komik yang menggunung di kamarnya.
"Iya. Kardus tempat gue naro semua komik ini udah ancur. Gue harus mindahin semua komik ini ke dus yang baru."
"Gila! Komik sebanyak ini kalo dikiloin ke tukang loak dapet berapa, ya?"
"Enak aja!" Ardan sewot. Ia sontak memeluk komik-komiknya dengan erat. "Ini nggak dijual! Nggak bakal!"
"Yaelah. Gue cuma ngomong doang kali, Dan."
Esoknya gue datang kembali ke rumah Ardan untuk bantu beres-beres. Itu adalah hari terakhir Ardan berada di rumahnya. Besok, tepat pukul delapan pagi, Ardan sudah harus pergi meninggalkan rumah lamanya. Selesai membantunya berkemas, gue dan Ardan lalu nyantai di depan teras, duduk sambil menikmati jus mangga segar, yang buahnya dipetik langsung dari pekarangan rumahnya.
"Besok gue bakal dateng lagi, Dan," ucap gue ke Ardan.
"Ngapain? Kan, gue udah pindah besok?"
"Iya, gue tau. Gue besok mao ngelepas lo pindah aja. Ya, sekedar ngucapin selamat tinggal. Boleh, kan?"
"Boleh. Tapi, kayak burung aja pake dilepas segala?"
Kami berdua terkekeh.
Namun esoknya di hari Minggu, gue malah terbangun pukul 09.20. Setelah ngulet dan diam sebentar buat ngumpulin nyawa, mata gue melotot begitu mendapati jam yang sudah menunjukan pukul sembilan lewat. Sontak gue langsung panik kayak maling kutang yang keciduk warga setempat. Gue turun dari atas kasur, ngacir ke kamar mandi buat cuci muka asal-asalan, lalu gue pergi ke rumah Ardan, berharap gue masih bisa ketemu dengannya untuk yang terakhir kali. Namun gue kecewa begitu sampai di rumahnya, ternyata rumah itu sudah kosong melompong. Gue pun bengong, kemudian balik ke rumah seraya larut dalam rasa kekecewaan.
"Kenapa kamu bangun tidur murung gitu? Abis mimpi buruk?" tanya Nyokap ketika mendapati gue duduk di ruang tamu, melipat muka sejelek mungkin.
"Aku telat ke rumah Ardan, Ma. Padahal kemaren janji mao ngucapin selamat tinggal buat yang terakhir kali."
"Ooooh ... si Sarang Tawon? Tadi dia ke sini, kok, jam setengah delapan pagi."
"Ardan ke sini?! Jam setengah lapan?"
"Iya, nyariin kamu. Tapi kamunya masih tidur."
"Kenapa Mama nggak bangunin aku?"
"Dia yang minta. Katanya nggak usah bangunin kamu."
"Terus, ngapain dia ke sini?"
"Pamitan. Sama ngasih kamu benda kecil item. Mama nggak tau itu apaan. Oh, iya! Dia juga ngasih kamu kertas. Tuh, semuanya Mama taro di samping tipi!"
Dengan segara gue langsung menyambar kedua benda tersebut. Ternyata, apa yang dikasih Ardan adalah sebuah memori card PS 2 miliknya yang sering kami gunakan. Ia juga menuliskan pesan di secarik kertas, 'tamatin game Dynasty Warrior-nya tanpa gue, ya, De! Gue pamit.'
Gue lalu menatap lama ke memori card pemeberian Ardan. Senyum tipis mengembang perlahan. Sesaat, segala momen kebersamaan kami terputar begitu saja dalam kepala layaknya iklan video yang nggak ingin gue skip. Gue ingat, kapan pertama kali gue dan dia ketemu di permainan petak umpet anak-anak. Gue juga ingat, pertama kali main ke rumahnya, nerbangin layangan yang kemudian diomelin neneknya. Lalu banyak momen menyusul secara berentet. Mulai dari selalu datang ke rental PS, ngojek payung bareng, sampai main PS di rumahnya sejak dia dibelikan PS 2 oleh bokapnya. Kini semua itu larut dalam pikiran. Canda tawa kami, raut bahagia kami, segala keseruan kami, gue nggak akan pernah lupa sama momen-momen tersebut. Sekarang, Ardan telah pergi untuk memulai kehidupan barunya di tempat lain. Ini sama seperti game over dalam game, seperti yang dia bilang ke gue waktu itu. Segalanya dimulai dari awal lagi, dari nol lagi. Lalu, di antara semua hal yang sudah terjadi, gue sadar bahwa kehilangan teman mungkin lebih menyakitkan dari pada kehilangan kesempatan main PS. Gue bisa bermain PS kapan pun. Tapi teman sebaik Ardan, belum tentu datang dalam sekali setahun.
***