Betapa terkejutnya saya ketika sampai di agen bis, mereka berkata tiket bis ke Pekalongan sudah habis. "Coba mas naik angkot ke terminal, barangkali di sana masih ada, di sana kan banyak pilihan" kata petugas di loket tiket. Setelah mempertimbangkan beberapa saat, saya pun mengikuti saran itu.
Di angkutan, saya tidak sendiri. Beberapa orang yang memiliki tujuan yang sama, duduk berdempetan di angkutan untuk pulang kampung. Pasangan yang sudah cukup berumur yang duduk di pojok angkutan, mereka pun tidak mengira bis akan sepenuh ini.
"Kami mau mencoblos di kampung" kata mereka, sambil menuturkan bahwa selain mereka tidak sempat mengurus form C5, juga memanfaatkan kesempatan hari libur Jumat ini supaya agak lama tinggal di kampungnya.
Mereka pulang dengan sebuah niat untuk tidak menyia-nyiakan suara yang mereka miliki. Saya tersentuh mendengarnya.
Mereka mungkin tidak akrab dengan Facebook, apalagi bikin tagar di Twitter, atau berhaha-hihi di grup WA. HP bagi mereka sekedar alat komunikasi, tapi semangat dan niat baik untuk negeri menyala dalam hati mereka.
Kehebohan dunia maya tidak mempengaruhi mereka. Film Sexy Killers yang konon menaikkan jumlah pemilih golput pun tidak menyentuh mereka. Mereka hanya punya niat baik dan doa tulus, lalu diwujudkan dalam tindakan untuk memilih pemimpin yang amanah.
"Sayang dua suara juga kalau tidak digunakan, mas" kata mereka sambil tersenyum. Senyum yang dalam pandangan saya merupakan fajar harapan bagi perbaikan negeri. Ya, melalui sentuhan niat tulus dan doa mereka lah, Tuhan yang Maha Kuasa menurunkan pertolongan-Nya. Saya yakini itu.
Satu atau dua suara dari mereka yang disebut sebagai "silent majority". Jumlah mereka adalah yang paling banyak. Mereka rakyat Indonesia yang tidak suka teriak-teriak sekedar untuk mengumpulkan massa dan mencari perhatian. Hidup mereka mungkin jauh dari hiruk pikuk klaim kebenaran yang diyakini sebagian orang.