Ada empat kata yang terus berputar di otak saya setelah menyimak berita itu, DPRD, Rapat, Perda, Perawan. Saya berusaha secara keras untuk memahami keterkaitan empat kata kunci itu, menjadi suatu yang mampu saya serap secara nalar sehat, tapi tetap saja saya bingung.
Walaupun bingung, saya tetap mencoba untuk berpikir obyektif, dalam hati terlintas pikiran, mungkin saja tadi saya hanya menyimak sepotong berita itu, hingga tidak menangkap utuh pesan yang disampaikan.
Nukilan berita hasil wawancara media dengan sang pencetus ide ‘tes keparawanan’ ini, memperteguh keherhanan saya. Dalam wawancaranya, pak Bambang, anggota DPRD Provinsi Jambi, meyakinkan kita bahwa tes keperawanan ini perlu untuk melindungi moral anak-anak, dan untuk memberikan dampak peningkatan moral anak secara signifikan dan luas, terutama moral untuk menjaga wilayah keperawanan masing-masing, diperlukan instrument hukum berupa peraturan daerah atau perda, hingga nantinya, yang tidak lulus tes, alias tidak perawan, tidak bisa meneruskan sekolah. (berita terkait lihat disini)
Untuk urusan alasan penolakan secara ilmiah atas usulan ini, saya merasa sudah terwakili oleh komentar KPAI dan beberapa tokoh yang telah mengupasnya dari sisi HAM hingga sosial. Walaupun sudah merasa terwakili, tetap saja saya dan kawan saya cengengesan ketika membahas berita itu, namun saya yakin alasan cengengesan-nya saya dengan kawan saya tampaknya berbeda. “Bro….. kalo Perda itu bener-bener keluar, daku mau daftar jadi Satpol PP aja bro”, “Kenapa emang?” jawab saya. Sambil terus cengengesan dia menjawab “Daku membayangkan, sebagai Satpol PP, daku berwenang untuk merazia keperawanan gadis-gadis sekolah itu bro......ooooh” celetuknya sambil menyeringai.