Seperti kita ketahui Chat GPT memang mampu menjalankan perintah sesuai dengan keinginan penggunanya. Seperti mebuat artikel, karya ilmiah hingga menjawab informasi seputar umum.
Namun bagaimanapun, Chat GPT hanyalah chatbot, yang sebenarnya praktiknya tidak lebih seperti aplikasi chatting kencan.
Dahulu, pada tahun 2002 ISMaker meluncurkan sebuah aplikasi bernama SimiSimi. Aplikasi ini merupakan aplikasi chatting yang dikendalikan oleh robot, pengguna bisa berbincang dengannya untuk mengisi waktu luang. Terutama para jomblo.
Bedanya, Chat GPT diberi kelengkapan informasi yang mampu menjawab semua pertanyaan. Meskipun, terkadang chatbot seperti ini memang mengalami error atau memberikan kesalahan dalam informasi.
Jika dibandingkan, rasa-rasanya nyaris tidak ada bedanya. Baik SimiSimi maupun Chat GPT, sama-sama hanya berfungsi sebagai ruang ngobrol bagi pengguna. Pembedanya hanyalah tingkat kecerdasan pada robot itu sendiri.
Sebenarnya, bicara mengenai Chat GPT yang merupakan pengembangan dari Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dengan model chatbot bukanlah sebuah ancaman besar.
Sebab ada beberapa model pengembangan AI yang jauh lebih mengerikan lagi, hanya saja tidak booming seperti Chat GPT ini.
Beberapa perusahaan pengembangan AI seperti OpenAI juga mengembangkan yang dapat menghasilkan gambar-gambar yang realistis dan berkualitas tinggi berdasarkan deskripsi teks yang diberikan oleh pengguna.
Sebut saja seperti Midjourney, DALL-E dan CLIP menggunakan teknologi deep learning dan algoritma generatif untuk memahami konteks deskripsi teks dan menghasilkan gambar yang sesuai dengan deskripsi tersebut.
Pengembangan teknologi ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti dalam desain grafis, animasi, dan bahkan dalam pengembangan permainan video.
Untuk saat ini, layanan yang dikembangkan oleh OpenAI atau sejenisnya itu memang belum sempurna, dan memang tidak akan bisa sempurna. Karena itulah sisi kelemahan teknologi.
Tetapi bagimanapun pengembangan AI tetap menjadi ancaman bagi sejumlah profesi kreatif. Terutama bagi pemula dan yang baru memulainya.
Bagaimana tidak, pengembangan AI bisa membuat apapun dengan praktis. Hal ini tentu bisa berdampak negatif bagi manusia.
Misalkan, seseorang yang baru belajar menulis akan terbuai dengan kecerdasan buatan Chat GPT akan terus menerus mengandalkannya. Atau calon ilustrator yang tidak mau repot menggambar dan memilih AI untuk membuat sebuah karya.
Kemudian editor video, seperti situs bernama Pictory yang mampu membuat video hanya dengan diberikan sebuah narasi. Sekejap video yang diinginkan oleh editor langsung dapat diunduh.
Alhasil, AI membangun mental untuk mendapatkan hasil pekerjaan yang cepat namun meninggalkan etika dalam menghasilkan sebuah karya. Hadirnya AI ibarat seperti sebuah cekalan pada generasi baru yang baru ingin melangkahkan kakinya.
Karena faktanya, seni dan kreatifitas itu sangat dihargai. Sebagai bukti, situs penyedia layanan foto dan ilustrasi ternama seperti Getty Images dan Shutterstock menolak keras penggunaan AI di dalam situsnya.
Karena teknologi kecerdasan buatan memiliki tantangan dan risiko dalam penggunaannya, seperti masalah privasi dan etika yang perlu diperhatikan.
Hal seperti ini menjadi penegas bahwa seni dan kreatifitas memang tidak dapat diambil alih dengan robot. Sebab sifat asli dari seni dan kreatifitas itu didasari dengan sebuah rasa. Dan itulah yang menjadi pembeda robot dan manusia.