Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Guru Sang Motivator

1 Oktober 2012   17:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:24 337 1
Akhir-akhir ini terjadi sejumlah kejadian memilukan terkait tawuran antar pelajar. Dalam waktu yang berdekatan, paling tidak dua korban meninggal dunia akibat tawuran tersebut. Satu korban dari siswa sebuah SMU di kawasan Blok M, sementara satu korban lagi seorang siswa SMK di Bekasi.

Sejumlah pakar pendidikan memberikan analisanya masing-masing terkait persoalan ini. Persoalan tawuran menjadi satu dari sekian persoalan karut marut dunia pendidikan di Indonesia. Saya ingin sekedar berbagi pendapat soal ini melalui satu tulisan saya yang pernah dimuat di situs www.penerang.com bulan Oktober 2010 lalu. Semoga masih relevan dan bermanfaat.

--------------

Menjadi seorang Guru bukanlah perkara mudah dan biasa saja. Sungguh terdapat tanggung jawab amat besar dan peran strategis di dalamnya dalam membentuk kepribadian seorang anak didik. Istri saya adalah seorang Guru. Saya sering mendengar keluh kesahnya menghadapi tingkah laku anak didik di sekolah. Banyak hal "ajaib" yang mampu dilakukan seorang anak didik. "Ajaib" dalam pengertian di luar perkiraan seorang Guru bahwa ada anak didiknya sanggup melakukan hal-hal tersebut. Sekali lagi, sungguh bukan suatu pekerjaan yang biasa karena membentuk sosok manusia itu pekerjaan luar biasa.

Seorang Guru dapat sangat menentukan masa depan seorang anak didik. Apalagi di zaman seperti ini, di mana interaksi antar orang tua dan anak di rumah sangat terbatas dikarenakan waktu orang tua lebih banyak dihabiskan untuk bekerja. Sementara itu, seorang anak bisa menghabiskan waktunya kurang lebih 7 - 8 jam di sekolah, Senin hingga Jumat, dan mungkin Sabtu jika ada kegiatan ektrakurikuler yang diikuti. Ini artinya interaksi seorang anak, terutama pada usia remaja SMP dan SMU, lebih banyak bersinggungan dengan Gurunya.

Lazimnya, pada usia remaja inilah mulai banyak persoalan yang muncul pada jiwa seorang remaja, baik itu berkaitan dengan persoalan pertumbuhan pribadi dan egonya, maupun persoalan social berkaitan dengan interaksinya dengan orang lain.

Guru yang baik, tidak merasa kewajibannya berhenti ketika ia telah menyampaikan materi pelajarannya kepada anak didik. Akan tetapi, seorang Guru yang baik, akan bertanya apakah materi yang disampaikannya dapat dipahami oleh anak didiknya atau tidak. Jika ada yang tidak dipahaminya, dimana letak permasalahannya, apakah karena bakat dan kecerdasannya tidak pada bidang tersebut, atau ada persoalan personal atau interaksi social yang menyebabkan anak didik tidak dapat memahami pelajaran tersebut.

Untuk ketiga persoalan yang umumnya menjadi permasalahan anak didik dalam menerima pelajaran yakni, bakat dan kecerdasannya, persoalan personal (keluarga), dan persoalan dalan interaksi social, seorang Guru memilik kekuatan untuk menjadi problem solver bagi anak didiknya.

Dalam khasanah pendidikan, kita akan menemui bahwa tiap anak memiliki bakat dan kecerdasan yang khas bagi dirinya masing-masing, seperti kecerdasan kognitif, kecerdasan social, dan kecerdasan psiko-motorik. Ada anak-anak yang cerdas dalam pengetahuan umum, ada yang cerdas dalam interaksi dengan lingkungan, dan ada anak-anak yang menyukai analisis numerical. Setiap mereka memiliki sisi-sisi yang menonjol dari tiap kecerdasan tersebut.

Namun, hal ini bukan sebuah harga mati. Artinya mereka yang tidak memiliki kecerdasan dalam pelajaran ilmu pasti belum tentu tidak dapat mengikuti pelajaran tersebut dengan baik. Hal tersebut sangat tergantung bagaimana seorang Guru memotivasi mereka yang tidak berbakat dalam ilmu pasti untuk dapat mengejar sedikit demi sedikit ketidakmengertiannya agar mencapat kepahaman terhadap pelajaran tersebut.

Saya ingat betul ketika saya duduk di bangku sebuah SMP swasta tidak terkenal di Ciputat. Saya bukan anak yang berbakat dalam ilmu pasti seperti Matematika, bahkan saya cenderung membencinya pada waktu itu. Namun, berkat motivasi yang tinggi dari seorang Guru Matematika, saya lambat laun mulai menyukai pelajaran ini. Cara penyampaian pelajaran yang interaktif dan tidak mendikte, kesabarannya membimbing ketika kita tidak paham, dan kesediannya memberikan penjelasan di luar jam pelajaran membuat Matematika menjadi hal biasa saja bagi saya waktu itu. Saya bersemangat sekali mengikuti pelajaran Matematika, bahkan saya mendapatkan nilai NEM (Nilai EBTANAS Murni) yang tidak jelek. Yang kemudian menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi kami murid-murin sang Guru Matematika tersebut adalah, beliau tidak saja memberikan motivasi yang tinggi dalam pelajaran Matematika, namun beliau menghantarkan kami anak didiknya masuk ke beberapa SMU Negeri di Jakarta. Semua urusan administrasi, beliau yang membantunya. Satu lagi motivasi yang saya ingat adalah, beliau mengatakan bangga dengan sedikit anak didiknya yang mampu masuk ke SMU Negeri. Sebuah pengakuan yang sangat menyenangkan bagi kami, murid sebuah SMP Swasta yang tidak terkenal di Ciputat.

Namun, sayang sekali motivasi-motivasi itu tidak saya dapatkan ketika saya menginjak SMU. Saya mendapati seorang Guru Fisika yang intimidatif. Beliau tidak pernah menanyakan apakah muridnya mengerti atau tidak pelajaran yang telah disampaikannya. Yang beliau tawarkan hanyalah sebuah les tambahan di luar jam pelajaran sekolah. Pada saat pelajaran Fisika tersebut, murid-murid yang mengikuti les tambahan dengan mudah menjawab soal-soal yang diberikan, karena mereka diberikan rumus khusus untuk mengerjakan soal tersebut. Sementara kami yang tidak mengikuti les tambahan dan mengikuti rumus panjang yang tertuang di buku teks akan kalah langkah dan kebingungan. Alhasil, pada Catur Wulan pertama tersebut, nilai yang saya dapat adalah merah membara. Saya benci betul Fisika pada saat itu. Dengan agak frustrasi, Cawu berikutnya saya sengaja ikut les tambahan yang diadakan. Saya tetap tidak mengerti dan tidak paham Fisikan yang diajarkan Guru saya, dan saya merasa tidak ada kemajuan bagi saya dalam pelajaran tersebut. Tapi ajaibnya, nilai Fisika saya langsung hitam pada Cawu tersebut. Sungguh saya merasa tidak layak mendapatkan nilai tersebut.

Tidak ada maksud untuk memuji Guru tertentu dan menghina Guru yang lain, ini semata untuk memberikan sedikit contoh bahwa motivasi yang diberikan seorang Guru bisa begitu dahsyat dampaknya bagi anak didik dalam soal bakat dan kecerdasan sekaligus kita bisa melihat bagaimana pendekatan yang dilakukan oleh Guru dalam menghadapi anak didiknya.

Seorang anak didik juga dapat bermasalah pada suatu pelajaran akibat persoalan personal (keluarga) dan interaksi social di lingkungannya. Tingkat kepercayaan diri setiap anak berbeda-beda. Secara umum, saya melihat anak-anak yang dibesarkan di dalam lingkungan yang berkecukupan secara materi, memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Namun, mereka yang datang dari keluarga tidak berada akan cenderung minder dan tidak menunjukan rasa percaya diri. Disinilah peran seorang Guru kembali diuji. Apakah Guru mampu berlaku adil dan menganggap sejajar anak didiknya tanpa memandang latar belakang ekonomi keluarga atau siapa orang tua muridnya? Apakah Guru juga mampu memberikan motivasi yang mampu meningkatkan rasa percaya diri anak didik yang minder karena kondisi keluarganya (keluarga miskin, orang tua bercerai, dll)? Seorang Guru juga harus mampu menjadikan standar nilai universal yang jelas bagi anak didiknya. Misalnya, Guru menghargai anak didiknya bukan berdasarkan latar belakang keluarganya, akan tetapi kecerdasan anak didik dan sikapnya yang menghargai orang lain di sekelilingnya.

Belum soal personal dan keluarga tuntas dibahas, seorang Guru juga harus memperhatikan permasalahan yang dihadapi anak didiknya terkait dengan interaksinya dengan teman sepergaulan (peer group) dan lingkungan masyarakat yang lebih luas, bahkan dunia maya (internet) juga harus menjadi perhatian seorang Guru. Penggunaan berbagai jejaring social semacam Facebook atau Twitter saat ini tidak dapat dibendung. Seiring dengan itu juga muncul berbagai persoalan. Belakangan kita banyak mendengar di media massa mengenai anak remaja yang diculik oleh "teman" facebook-nya. Hal ini perlu menjadi perhatian tersendiri. Seorang Guru sebaiknya memberikan pemahaman kepada anak didiknya mengenai penggunaan situs jejaring social dengan tujuan yang lebih bermanfaat, seperti memberikan nasihat atau motivasi di status pribadi sang Guru atau menulis di wall anak didiknya. Namun, harus diperhatikan, jangan ada kesan bahwa sang Guru sedang memata-matai muridnya. Karena jika begitu, akan muncul rasa ketidakpercayaan dari anak didiknya .

Dalam sebuah majelis ilmu, saya mencatat beberapa poin penting yang dijelaskan oleh Guru saya tentang tugas seorang Guru, diantaranya adalah; pertama, seorang Guru bertugas membacakan ayat-ayat Allah swt yang menjelaskan sifat-sifat Allah, menjelaskan berita masa lalu dan masa depan, serta menjelaskan perintah dan larangan Allah swt. Kedua, seorang Guru harus membersihkan dirinya sendiri dan murid-muridnya dari dosa-dosa akidah dan muamalah serta melakukan taubat. Ketiga, seorang Guru bertugas mengajarkan Al Quran serta mengajarkan hikmah yang terkandung di dalam Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Selain itu mengajarkan pengetahuan umum yang diperlukan bagi kehidupan anak muridnya.

Selain tugas di atas, seorang Guru juga memiliki sejumlah peran yang harus dimainkannya di hadapan anak didiknya, yakni; menjadi seorang ayah atau ibu dalam konteks hubungan emosional terutama ketika berinteraksi secara intens di sekolah, seorang Guru juga harus mampu menjadi Guru spiritual atau ustadz/ustadzah bagi anak didiknya, oleh karena itu pengetahuan agamanya harus lebih tinggi dari anak didiknya, dan yang terakhir seorang Guru juga harus berperan sebagai seorang pemimpin dalam konteks muamalah.

Akhirnya, kata orang menjadi seorang Guru adalah panggilan jiwa, seperti profesi mulia lainnya, namun perlu dicamkan bahwa tidak cukup hanya menjadi Guru saja, tetapi Guru juga harus menjadi Motivator ulung, yang mampu membangkitkan semangat anak didik melampaui apa yang pernah diharapkan oleh Gurunya sendiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun